Majalah Sunday

Social Media Validation: Kenapa Kita Butuh Pengakuan Online?

Penulis: Keira Santoso – SISNEJ

Di era digital, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi remaja. Mulai dari berbagi foto, menulis caption, hingga menunggu jumlah “suka” bertambah. Kini, semua itu terasa seperti bagian dari rutinitas. Rasa bahagia muncul ketika unggahan kita disukai banyak orang. Namun di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan penting: mengapa kita merasa perlu validasi daring?

Mengapa Kita Mencari Pengakuan Online?

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar untuk diterima dan dihargai. Dulu, pengakuan ini datang dari keluarga, teman, atau lingkungan sekitar. Sekarang, bentuknya berubah menjadi angka dan simbol di layar seperti jumlah likes, komentar, dan followers. Bagi banyak remaja, hal-hal itu menjadi cerminan nilai diri. Ketika unggahan mendapat banyak perhatian, ada perasaan bahagia dan percaya diri. Tapi ketika responsnya sepi, timbul rasa kecewa, malu, atau bahkan rendah diri.

Kebutuhan akan validasi ini tidak selalu salah. Masalahnya muncul ketika penghargaan diri hanya bergantung pada dunia digital, bukan dari dalam diri sendiri.

Kamu sering ngecek likes tiap posting? Bisa jadi kamu terjebak social media validation! Cari tahu gimana cara lepas dari validasi online ini.

Dampak Negatif dari Ketergantungan Digital

Mengejar pengakuan online bisa mengubah cara kita memandang diri sendiri. Banyak remaja mulai menyesuaikan gaya hidup, cara berpakaian, bahkan perilaku mereka agar terlihat “menarik” di media sosial. Akibatnya, mereka kehilangan keaslian diri dan mulai hidup untuk ekspektasi orang lain.

Tidak hanya itu, saat postingan tidak mendapat banyak perhatian, muncul perasaan gagal dan cemas. Ini bisa memicu perbandingan sosial seperti melihat hidup orang lain yang tampak sempurna lalu merasa hidup sendiri tidak cukup baik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, bahkan depresi ringan.

Sisi Positif Media Sosial (Jika Digunakan dengan Bijak)

Meski begitu, media sosial tidak selalu buruk. Ketika digunakan dengan seimbang, platform ini bisa menjadi ruang positif untuk berbagi pengalaman, mengekspresikan diri, dan membangun koneksi. Validasi dari orang lain bisa memberi semangat dan motivasi, selama tidak menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan.

Kuncinya adalah kesadaran. Remaja perlu belajar bahwa apresiasi digital tidak menentukan nilai diri. Pengakuan sejati datang dari kemampuan untuk menghargai diri sendiri, bahkan tanpa penonton.

Menuju Digital Mindfulness

Salah satu cara untuk keluar dari lingkaran validasi online adalah dengan menerapkan digital mindfulness. Artinya, sadar akan cara kita menggunakan media sosial dan dampaknya terhadap perasaan kita.
Mulailah dengan langkah-langkah kecil:

  • Batasi waktu menggunakan media sosial setiap hari.

  • Hindari membandingkan diri dengan orang lain.

  • Fokus pada hal-hal yang membuatmu bahagia di dunia nyata.

  • Rayakan pencapaian pribadi tanpa harus mempublikasikannya.

Mencari pengakuan itu manusiawi, tapi menggantungkan nilai diri pada dunia maya bukanlah solusi jangka panjang. Dunia digital bisa mendukungmu, tapi tidak bisa menentukan siapa kamu sebenarnya.

Mulailah tantangan sederhana: satu hari tanpa mengecek likes atau komentar. Rasakan perbedaannya. Belajar menikmati momen tanpa harus membagikannya. Karena pada akhirnya, kamu tidak butuh validasi online untuk merasa berharga. Kamu sudah cukup, dengan apa adanya.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 43