Penulis: Afifah Fayza – UKI
Sinta anak yang suka menyendiri daripada nongkrong. Tapi akhir-akhir ini dia mulai ngeliat jejak kaki yang suka muncul tiap dia sendirian di sekolah. Pas dicari asalnya, malah ketemu cewek yang bilang dia belum bisa “pulang.”
Sunyi yang Nyaman
Sinta adalah siswi yang tak begitu merasa nyaman berada di tengah keramaian. Teman-teman sekelasnya sering menganggapnya aneh karena ia jarang ikut nongkrong di kantin. Baginya, suara tawa dan obrolan hanyalah riuh yang membuat kepalanya pusing.
Setiap jam istirahat, Sinta lebih suka bersembunyi di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang: pojok perpustakaan lama dengan rak-rak berdebu, atau rooftop sekolah yang tinggi dengan pagar berkarat. Dari sana, ia bisa melihat langit kota kecil yang mendung hampir setiap sore.
Namun sejak beberapa waktu terakhir, kesendiriannya terganggu oleh kehadiran seorang gadis. Gadis yang suka muncul tanpa suara, selalu di tempat-tempat yang sama dengan Sinta. Rambutnya panjang dan hitam, wajahnya tampak normal seperti teman-teman nya yang lain, tapi entah kenapa meski tak banyak bicara, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Sinta tak bisa berhenti memperhatikan.
Kadang mereka hanya duduk bersebelahan dalam diam. Kadang gadis itu berbicara pelan, seolah menyelam ke dalam pikiran Sinta.
Hari itu, di rooftop dengan semilir angin sore, gadis itu berkata sambil menatap Sinta “Padahal gambar kamu bagus, kenapa kamu selalu sembunyiin di tas kamu?”
Sinta terkejut. Ia refleks mengambil tasnya dan melihat buku gambar nya seolah sedang ketahuan melakukan sesuatu. Tak seorang pun tahu tentang buku gambar itu, bahkan sahabat kecilnya sekalipun. Ia selalu menyimpannya rapat, takut dicemooh teman-teman.
“…Kamu kok bisa tahu?” suara Sinta bergetar.
Gadis itu hanya tersenyum samar, lalu memalingkan wajah ke arah langit. Tidak menjawab.
Sejak saat itu, Sinta memperhatikan sesuatu yang aneh. Setiap kali gadis itu muncul, selalu ada jejak kaki basah di lantai. Jejak yang entah bermula dari mana, lalu menghilang begitu saja. Kadang jejaknya muncul di lorong, kadang di tangga menuju rooftop.
Sinta pernah berusaha menelusuri jejak itu, tapi setiap kali ia ikuti, langkah-langkah basah itu berhenti di depan aula lama yang sudah bertahun-tahun terkunci.

Suatu sore yang beranjak malam, Sinta terlalu asik dengan buku gambar nya di rooftop. Ketika ia sadar, langit sudah gelap dan sekolah tampak lengang. Dari ketinggian, ia melihat halaman sekolah kosong, hanya diterangi lampu redup di dekat gerbang.
“Kok udah sepi banget ya, biasanya masih ada yang suka nongkrong di lapangan” katanya sembari merapikan barangnya dan bergegas turun.
Ketika ia bersiap turun, suara langkah pelan terdengar. Bukan langkah kering, tapi plak… plak… seperti kaki basah
Gadis itu berdiri tak jauh darinya. Namun kali ini berbeda. Seragamnya kusut, ada noda yang tak jelas menempel. Rambutnya basah menempel di pipi, wajahnya lebih pucat dari biasanya, dan matanya… kosong.
“Aku dulu juga senang menyendiri kaya kamu,” katanya lirih. “Tapi aku… nggak bisa pulang sampai sekarang Sinta..”
Sinta merasa tubuhnya membeku. Ia terkejut karena Gadis itu tahu nama nya.
Gadis itu mendekat perlahan
“Kamu tahu ga rasanya… ditinggal sendirian di sekolah ini?” bisiknya sambil tersenyum kecil.
Keesokan paginya, kelas berjalan seperti biasa. Namun bangku Sinta kosong.“Bu, Sinta kok nggak masuk?” tanya seorang teman.
Guru itu berhenti menulis di papan, menoleh sebentar lalu tersenyum singkat.
“Bukannya kemarin dia pulang lebih cepat? Ibu ketemu dia di gerbang depan sendirian.”
Teman-temannya saling pandang. Mereka ingat jelas, kemarin sore Sinta masih ada di rooftop. Tapi tak ada yang berani membantah.
Hari-hari berikutnya, bangku Sinta tetap kosong. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Tidak ada kabar dari orang tuanya, tidak ada pengumuman dari sekolah. Seolah-olah Sinta memang sudah “pulang lebih cepat.”
Sejak saat itu, lorong menuju aula lama, perpustakaan, dan rooftop menjadi tempat yang semakin dihindari siswa. Setiap sore, setelah jam sekolah usai, dua pasang jejak basah selalu terlihat berhenti di depan pintu aula yang terkunci rapat.
Beberapa siswa bersumpah mendengar bisikan samar di sana, suara dua gadis yang bercakap-cakap pelan, lalu hilang ditelan senyap.
Bangku kosong Sinta di kelas tetap dibiarkan, seakan menunggu seseorang kembali mendudukinya. Tapi tidak ada yang datang.
Tak sekali dua kali, ada beberapa siswa yang pernah melihat Sinta entah di perpustakaan, atau tempat favoritnya rooftop, hanya berdiam diri dan bergumam sendiri.
Dan setiap kali hujan turun, air yang merembes di lorong membuat jejak itu terlihat lebih jelas… seakan-akan Sinta masih berjalan bersama seseorang, di tempat yang tidak bisa dijelaskan.

*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
