Majalah Sunday

Rahasia di Balik Mahalnya Warna Ungu

Melkisedek Raffles – UKI

Tahukah kalian, dulu warna ungu bukan sekadar pilihan gaya, melainkan simbol kekuasaan? Di masa Romawi kuno, ungu Tyrian begitu mahal hingga hanya kaisar, senator, dan pejabat tinggi yang boleh mengenakannya. Saking eksklusifnya, ada hukum yang melarang rakyat biasa memakai jubah ungu. Warna legenda ini juga dinobatkan benda paling diburu dan berharga dibandingkan emas dan perak.

Yuk kita Berhitung Bersama!

Adapun catatan sejarawan Romawi, Pliny the Elder (23-79 M) yang mengatakan 1 pon kain berwarna ungu Tyrian bisa seharga 20.000 denari atau setara dengan gaji prajurit selama puluhan tahun. Mari kita kalkulasi Bersama. Jika pada masa tahta Julius Caesar, Romawi kuno, seorang legioner digaji sekitar 225 Denarii per tahun dan meningkat menjadi 300-900 Denarii per tahun pada tahun ke-1 atau Masehi. Jadi 20.000 Denarii setara dengan 20-70 tahun gaji seorang prajurit biasa. Jika dikonversikan ke mata uang modern agak sulit, tapi bisa diperkirakan 1 Denarius seharga 20-30 USD atau Rp. 300-400 ribu, kalian bisa menjumlahnya sendiri. Sangat mencengangkan bukan?

Tahukah kalian, dulu warna ungu bukan sekadar pilihan gaya, melainkan simbol kekuasaan? Pahami selengkapnya lewat artikel ini

Hewan Mungil yang Berharga.

Warna ini berasal dari cairan kecil yang diekstrak dari sejenis siput laut yang Bernama murex. Bayangkan, untuk mewarnai sehelai kain saja dibutuhkan ribuan siput, setidaknya perlu mengumpulkan 10.000 ekor siput untuk membuat 1 gram bubuk warna ungu. Prosesnya pun panjang: siput direbus, cairannya diolah, dan lambat laun berubah warna menjadi ungu pekat yang tidak mudah pudar. Tak heran harga kain ungu bisa setara dengan emas. Di Mediterania, terutama di kota Tirus yang sekarang berada di Lebanon, industri pewarna ini berkembang pesat. Dari situlah istilah ungu Tyrian lahir, yakni ungu kebesaran yang abadi.

Namun, seiring runtuhnya Romawi dan menipisnya populasi siput murex, warna ungu alami perlahan menghilang. Selama berabad-abad, hanya segelintir kerajaan yang masih bisa memproduksinya dalam jumlah terbatas. Ungu tetap menjadi lambang eksklusif, bahkan ketika Eropa memasuki abad pertengahan.

Kerang pigmen ungu

Revolusi di Botol Kimia.

Semuanya berubah pada tahun 1856. Seorang remaja kimiawan Inggris bernama William Henry Perkin secara tidak sengaja menemukan pewarna sintetis ketika mencoba membuat obat malaria. Dari percobaan itu lahirlah mauveine, ungu sintetis pertama di dunia. Tidak lagi perlu ribuan siput, cukup laboratorium kecil dan bahan kimia untuk menghasilkan warna ungu cerah. Revolusi ini membuat warna yang dahulu hanya milik kaisar, kini bisa dipakai siapa saja—mulai dari bangsawan Eropa hingga masyarakat kelas menengah.

Kain Asia Timur

Hari ini, kita bisa dengan mudah menemukan ungu di mana-mana: di cat, di baju, bahkan di lampu neon. Namun di balik ketersediaannya yang murah, ada kisah panjang tentang darah siput, monopoli kerajaan, hingga terobosan sains yang mengubah dunia fesyen. Warna ungu bukan lagi milik para raja. Ia kini milik semua orang. Tapi rahasianya tetap sama: ungu adalah warna sejarah, warna revolusi, dan warna yang pernah menentukan siapa yang berkuasa.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 12