Penulis: Nurul Annisa Aprianti- UNJ
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (AI) makin sering digunakan oleh pelajar dalam kegiatan belajar sehari-hari. Mulai dari bikin ringkasan materi, nyusun ide dan kerangka tulisan, sampai bantu merapikan tulisan, semua bisa dilakukan lebih cepat dan praktis dengan bantuan AI. Sudah tidak heran kalau AI jadi salah satu “teman belajar” favorit saat ini. Meskipun sangat membantu, penting banget buat paham bahwa AI bukanlah pengganti kemampuan berpikir kita. Di sinilah pentingnya etika penggunaan AI dalam penulisan akademik dan tugas sekolah. Jangan sampai karena kemudahan ini, kita jadi tergoda buat menyerahkan semua pada mesin, tanpa tahu batasannya. Artikel ini bakal bahas bagaimana seharusnya kita memanfaatkan AI secara bijak, tetap jujur, dan nggak kehilangan orisinalitas saat berkarya.
Meskipun AI menawarkan banyak kemudahan dalam dunia pendidikan, kita juga perlu sadar bahwa ada sejumlah tantangan etis yang nggak bisa diabaikan begitu saja. Kalau kita terlalu fokus pada manfaatnya tanpa mempertimbangkan dampaknya, bisa-bisa justru merugikan diri sendiri maupun sistem pendidikan secara keseluruhan. Berikut beberapa isu penting yang perlu kita pahami bersama.
Dengan hadirnya berbagai alat berbasis AI seperti ChatGPT, Grammarly, atau Copilot, siapa pun kini bisa membuat tulisan yang tampak rapi dan meyakinkan hanya dengan beberapa klik. Jika semua dikerjakan oleh mesin, lalu di mana letak proses belajar kita sebagai pelajar atau mahasiswa?
Penggunaan AI yang berlebihan bisa mengaburkan batas antara bantuan dan kecurangan atau pelanggaran akademik seperti plagiarisme. Bukan berarti AI dilarang total, ya. Justru, penting untuk tahu kapan dan bagaimana kita menggunakannya secara tepat agar tetap menjunjung nilai orisinalitas dan kejujuran.
Sayangnya, tidak semua pelajar punya akses yang sama terhadap teknologi AI. Masih banyak sekolah atau daerah yang kesulitan mendapatkan perangkat memadai, koneksi internet stabil, atau bahkan pengetahuan dasar tentang cara menggunakan teknologi ini.
Ketimpangan ini bisa memperlebar jurang antara yang “melek teknologi” dan yang tidak, menciptakan ketidakadilan dalam proses belajar. Jadi, bicara soal pemanfaatan AI juga berarti bicara tentang pemerataan akses dan literasi digital.
Ketika AI bisa dengan cepat merumuskan ide, membuat paragraf, bahkan menyelesaikan tugas, ada risiko bahwa pelajar jadi malas berpikir kritis. Padahal, proses menyusun argumen, mencari sumber, dan menyusun kalimat adalah bagian penting dari pembelajaran itu sendiri.
Kalau kita terlalu bergantung, kemampuan menulis dan berpikir mandiri bisa tumpul. AI seharusnya jadi alat bantu, bukan pengganti proses intelektual yang kita butuhkan untuk berkembang.
Mengandalkan AI untuk setiap tugas bisa jadi kebiasaan yang sulit dihentikan. Akibatnya, kita jadi kurang percaya diri, kehilangan inisiatif, bahkan merasa “nggak bisa apa-apa” tanpa bantuan teknologi. Ketergantungan seperti ini tentu bertolak belakang dengan tujuan pendidikan: membentuk individu yang mandiri dan mampu berpikir secara kritis.
Oleh karena itu, penting untuk mengatur batas penggunaan AI dan membangun kesadaran bahwa kecerdasan buatan hanya pelengkap, bukan pengganti dari proses belajar kita yang sesungguhnya.
Di tengah derasnya arus teknologi, pelajar dan mahasiswa saat ini dituntut bukan hanya cerdas dalam memanfaatkan AI, tetapi juga bijak dan bertanggung jawab. Penggunaan AI dalam dunia pendidikan bukan sekadar soal kecepatan menyelesaikan tugas, tapi juga tentang menjaga nilai-nilai akademik yang mendasar seperti kejujuran, orisinalitas, dan pemikiran kritis.
Menurut Kumala & Muftihah, (2024) dalam penelitian yang berjudul “ Etika Pemanfaatan Teknologi Artificial Intelligence dalam Penyusunan Tugas Sekolah” beberapa etika penting yang harus diterapkan antara lain:
Menggunakan AI bukan berarti kita bisa menyerahkan semua tugas ke mesin. Etika akademik menuntut kita untuk tetap jujur dan bertanggung jawab atas hasil karya kita sendiri. Jadi, jangan jadikan AI sebagai jalan pintas untuk menyalin jawaban atau menghasilkan tulisan instan tanpa pemahaman. Gunakan AI sebagai alat bantu untuk mengembangkan ide dan menyempurnakan tulisan, bukan sebagai pengganti usaha belajar yang sesungguhnya.
Apa yang dikatakan AI belum tentu sepenuhnya benar. Pelajar dan mahasiswa tetap perlu menelaah, mengecek ulang, dan membandingkan informasi dari AI dengan sumber-sumber terpercaya. Ini penting agar tulisan kita tetap akurat dan sesuai dengan konteks akademik yang benar. Sikap kritis terhadap hasil AI harus selalu dijaga.
AI memang canggih, tapi bukan berarti bisa digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan etika, seperti memanipulasi data, mencontek, atau memalsukan hasil karya. Praktik seperti ini bukan hanya merugikan diri sendiri dalam jangka panjang, tapi juga bisa mencederai nilai-nilai kejujuran dan kepercayaan dalam dunia pendidikan.
AI sebaiknya dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti sumber belajar utama. Guru, dosen, buku, dan diskusi tetap penting untuk membentuk pemahaman yang utuh. Kalau hanya mengandalkan satu sumber, apalagi dari AI yang bisa saja bias atau tidak lengkap, hasil belajar kita bisa jadi dangkal dan kurang berkembang.
AI memang bisa bantu menyusun struktur tulisan atau memberikan inspirasi, tapi proses berpikir tetap harus datang dari kita sendiri. Melatih kemampuan berpikir kritis dan kreatif sangat penting agar karya kita punya nilai orisinalitas. Di sinilah peran aktif pelajar dan mahasiswa diuji, karena pembelajaran sejati lahir dari proses berpikir, bukan sekadar hasil akhir.
AI memang menawarkan kemudahan luar biasa dalam proses menulis, mulai dari menyusun ide, memperbaiki tata bahasa, hingga membuat draft awal. Tapi, biar hasil tulisan tetap jujur, asli, dan bermutu, kita perlu tahu strategi yang tepat agar penggunaannya tetap etis. Berikut ini beberapa rekomendasi yang bisa kamu terapkan:
Sebagai pelajar dan mahasiswa di era digital, memanfaatkan AI dalam penulisan akademik bisa jadi langkah cerdas, asal dilakukan secara etis dan bertanggung jawab. AI seharusnya menjadi alat bantu untuk mengasah ide dan menyempurnakan tulisan, bukan pengganti proses berpikir kritis dan orisinalitas. Dengan memahami isu etika serta menerapkan strategi penggunaan yang bijak, kita bisa tetap menjaga integritas akademik sambil memanfaatkan teknologi secara optimal.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.