Majalah Sunday

00:00

Dyah Pramesti Purbowati – Universitas Negeri Jakarta

Baraga menyadari kekurangannya dalam mata pelajaran matematika. Kini, kekurangannya itu berhasil menjadi momok runtuhnya impian yang ia genggam sejak lama. Baraga ingin untuk berkuliah di universitas negeri bergengsi yang terkenal akan fasilitas dan juga lulusannya. Ia bahkan dapat menjamin kehidupannya akan lancar dan berjaya jika ia berhasil menjadi lulusan dari universitas itu. Hanya saja, realita menariknya ke jurang terdalam. Matematika menghancurkan mimpinya. Kini, ia tak dapat menginjakkan kaki di universitas impiannya hanya karena nilai matematika miliknya yang tidak memenuhi standar.

Baraga hanya dapat terduduk di pojok ruangan. Ia berulang kali mengusak rambutnya yang pendek itu demi menyalurkan rasa frustrasinya. Hanya saja, realitas tak akan berubah hanya karena ia merasa jengah dan frustrasi sendirian. Tepat di pukul 12 malam, ia bangkit dari duduknya dan berjalan gontai ke arah kasur di kamarnya. Namun, entah mengapa ia melihat suatu lingkaran hitam asing berada di tempat ia duduk tadi. Baraga mengucek matanya tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. 

“Ini hanya imajinasi, bukan?” Tanyanya dalam hati. Akan tetapi kakinya tetap melangkah takut-takut ke arah lubang hitam yang kini mulai membesar seukuran dirinya.

Baraga melihat ke dalam lubang itu dengan rasa penasaran yang tinggi. Hanya saja, rasa penasarannya tak juga terpuaskan kala yang dapat ia lihat hanya sebuah warna hitam tanpa ada hal lain yang mengisi lubang itu. Baraga diam, berbalik arah berniat untuk kembali menuju kasurnya yang seakan sudah memanggilnya dan menyuruh tubuh lelahnya berbaring. Namun, semesta berkata lain, dirinya tersedot masuk ke lubang tersebut membuatnya sontak berteriak kencang sebagai ekspresi kaget dan ketakutannya. Rasionalitasnya kembali dengan cepat menghampiri otaknya yang masih memanas. Rasa kantuk yang tadinya sudah menumpuk dalam kelopak matanya, kini hilang seakan tak pernah muncul. Kini, yang bisa ia lakukan hanya berdoa.

*****

Gambaran Baraga di Kamarnya

Tubuh Baraga sudah terkulai di atas lantai yang dingin. Baraga memberanikan diri untuk membuka matanya dengan pelan, takut-takut jika di depannya merupakan sesuatu yang menyeramkan. Akan tetapi, justru yang ia dapatkan ialah sebuah pemandangan yang sangat familiar. Itu adalah kamarnya sendiri.

“Gue enggak gila, kan?” tanya Baraga dalam dengan pelan. Rasa takut yang baru saja menghampirinya bukanlah sebuah imajinasi, ia benar-benar sadar bahwa itu memang nyata. Akan tetapi, dirinya masih di tempat yang sama, lalu bagaimana cara menjelaskannya?

“Hei, kamu siapa?” tanya seseorang dari belakang Baraga. Sontak dengan secepat kilat, orang yang ditanya langsung menoleh ke sumber suara. Ketika empat mata itu saling bertatapan, mereka diam sejenak dan kemudian berteriak.

Pagi menyingsing. Kini mereka berdua baru tersadar setelah pingsan semalaman. Menatap wajah yang mirip—atau dapat dikatakan sama—itu masih ada di tempat yang semula membuat mereka berdua lagi dan lagi berteriak dengan lantang. Tentu tidak ada yang keberatan dengan suara teriakan mereka yang menggelegar, sebab mereka tinggal sendirian.

Setelah beberapa menit berselang, keduanya sama-sama telah pulih dari rasa kaget yang sempat hinggap. Hingga salah satu dari mereka memulai percakapan.

“Nama lo siapa? Lo dateng dari mana? Kenapa bisa ada di kamar gue? Gue liat lo muncul tiba-tiba dari langit-langit kamar gue, lo paparazi? Terus kenapa kita punya muka yang sama? Enggak mungkin kan kalau lo adek gue? Atau lo kakak gue?” Baraga langsung dihadiahi oleh pertanyaan beruntun dari pihak lawan, membuat dirinya yang sudah pusing, kini semakin pusing.

“Satu-satu, oke? Nama gue Baraga, gue dateng dari mana? Enggak tau! Kenapa bisa ada di kamar lo? Gue juga enggak tau! Kenapa kita punya muka yang sama? Itu pun gue enggak tau! Gue lagi mau tidur di kamar, terus tiba-tiba ada black hole dan boom! Gue ada di sini. Terserah lo mau percaya atau enggak, tapi itu kenyataannya,” Jawab Baraga membuat sang penanya hanya menatapnya dengan aneh. Mungkin lawannya berpikir bahwa dirinya gila. 

“Gue juga Baraga dan lo bisa panggil gue Raga,” Jawab si penanya mencoba mempercayai cerita orang yang mirip dengannya. Di lihat dari matanya yang terlihat seperti panda, ada rasa kasihan di benak Raga. Ini mungkin gambaran dirinya ketika mengalami stres berat.

“Oke, kalau gitu lo bisa panggil gue Bara,” jawab Bara dengan singkat. Matanya langsung melihat ke arah langit-langit sekitar kamar. Tidak ada lagi lubang hitam yang dibicarakan Raga sebelumnya. Lalu bagaimana cara ia pulang?

Tak butuh waktu lama untuk Bara mengalihkan pandangannya ke arah sebuah almamater kuning impiannya. Ia menatap almamater itu dan kemudian ke orang yang ada di sebelahnya. Lama ia menatap keduanya secara bergantian membuat orang yang ditatap merasa kebingungan.

“Kenapa? ” Tanyanya membuat Raga mengalihkan pandangannya.

“Itu, punya lo?” Tanya Bara dengan menunjuk almamater kuning itu dengan dagunya.

“Iya. kampus impian gue,” Jawab Raga dengan singkat. Walaupun begitu, masih ada nada kebanggaan di dalamnya. Sontak Bara tersenyum kecut dan menundukkan pandangannya. Raga yang melihat tindakan tersebut langsung menatapnya bingung.

Keheningkan menyapa mereka sebentar. Keduanya enggan mengucapkan sepatah kata pun untuk mencairkan suasana. “Itu juga kampus impian gue, tapi gue gagal,” Ucap Bara dengan suara yang sedikit bergetar. Raga yang ada di sampingnya masih memilih bungkam, tak tahu harus menanggapinya seperti apa. 

“Ngeliat diri gue yang lain bisa dapet kampus impian gue, gue iri. Gimana rasanya, Ga?” Tanya Bara tanpa berani menatap mata Raga.

“Biasa aja, Bar. Bener-bener biasa aja,” Jawab Raga tanpa ada kebohongan di dalamnya. 

“Kalau gitu, buat gue aja, Ga,” Ucap Bara kini mulai berani menatap mata milik Raga.

“Walaupun gue kasih ke lo, selamanya tetep bakal jadi punya gue, Bar. Selamanya bakal tetep jadi pencapaian gue dan selamanya lo bakal hidup di bawah bayang-bayang gue,” Jawab Raga dengan santai. “Gue itu diri lo yang lain. Kalau gue bisa, lo pasti bisa!” Lanjutnya sambil bangkit dan berjalan menuju lemari tua yang asing di mata Bara.

“Lo lemah di matematika kan? Ini! Gue kasih buku yang bikin gue paham konsep Matematika. Selama lo ada di sini, ayo kita belajar bareng,” Ajak Raga dengan ramah. Kini yang tersisa hanya Bara dengan rasa malu dan rendah dirinya. Akan tetapi jika boleh sedikit tidak tahu malu lagi, ia dengan senang hati menerima ajakan dirinya yang lain. 

*****

Sudah tiga bulan Bara dan Raga tinggal bersama. Keduanya dengan mudah akrab karena memiliki kepribadian, wajah, cara bicara, dan juga kebiasaan yang sama. Bara menyembuhkan rasa stresnya dengan kembali berjuang dibantu oleh dirinya yang lain, sedangkan Raga kehilangan rasa kesepiannya karena kehadiran Bara. Keduanya saling berterima kasih dalam diam. Hingga suatu malam, pada pukul 12 malam, sebuah lubang hitam yang tak asing itu kembali menyapa. Kini mereka berdua sama-sama tahu bahwasanya telah tiba waktunya untuk berpisah.

“Terima kasih, Raga,” ucap Bara dengan senyuman tulus. Tidak lupa pula ia membawa semua buku catatan dan latihan milik Raga untuk ia kembali pelajari di rumahnya nanti.

“Selamat berjuang untuk tahun depan, Bara,” ucap Raga menyambut kepergian dirinya yang lain.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 77