Orang-orang beranggapan bahwa aku berhalusinasi terlalu tinggi. Lebih ekspilisitnya lagi, mereka berkata kalau aku seperti itu karena memakan magic mushroom, jamur yang tumbuh di atas kotoran sapi. Seseorang yang telah menyantap magic mushroom akan berhalusinasi. Jangan coba-coba memakannya, itu berbahaya! Efeknya sama seperti menggunakan narkoba. Tidak pernah aku mau memakannya, walaupun dijadikan jamur goreng renyah atau disiram saus tiram. Lagipula, kau tidak mau akan jadi bahan tertawaan orang lain karena halusinasi yang aneh, semisal dikejar-kejar oleh genderuwa. Perihal genderuwa, aku memiliki pengalaman yang bisa disebut mengerikan dan juga unik. Inilah yang membuat aku dicurigai berhalusinasi.
Suatu hari di sekolah, aku pernah diberikan tugas oleh guru untuk membuat cerita mengenai mitos yang beredar di Indonesia. Negara ini memiliki mitos yang beragam, ngeri, dan terkadang tak masuk akal. Ku tulis saja apa yang pernah aku rasakan kalau aku pernah bercakap-cakap dengan genderuwa.
“Siapa yang mau maju ke depan?” tanya Pak Guru. Aku yang senang berbagi cerita tak keberatan untuk mengajukan diri. Ku acungkan tanganku, dan setelah itu aku maju ke depan kelas. Saat aku dewasa nanti, mungkin aku akan menjadi pendongeng unggul.
Aku memulai ceritaku. Ini berkaitan dengan presipitasi, yang biasa juga disebut hujan. Kalau kau belajar geografi di SMA, pasti tahu tentang siklus air di bagian tentang hidrosfer. Dari air yang berkondensasi lalu menumpuk di langit menjadi gumpalan kapas putih yang tebal namun ringan. Kalau awan sedang bersedih dan warnanya berubah menjadi gelap, dia pun menangis. Turunlah hujan. Kalau secara ilmiah begitu.
Mitos berkaitan dengan hujan banyak. Salah satunya melibatkan sapi. Mitos ini banyak diyakini karena sudah beberapa kali akurat. Ayahku percnah bercerita, suatu hari sapinya hanya berbaring lama. Tak berapa lama, bulir-bulir air turun. Ini dipercaya karena sapi berdiri kalau suhu tubuhnya sedang naik. Kalau mereka merasa suhu tubuhnya turun karena mau hujan, mereka akan berbaring untuk menghangatkan badan.
Lain lagi dengan diriku. Di sebuah artikel, tertulis bahwa hujan di siang yang begitu terik tandanya ada genderuwa yang sedang melahirkan. Keringat dan air ketubannya jatuh membasahi langit.
Waktu itu, aku habis dari warung Bu Warjo untuk membeli sekantung kacang hijau. Langit belum lagi menjadi lembayung. Sangat biru. Indah memang, namun begitu terik karena raksasa cahaya terus mengeluarkan sinarnya yang kuat. Karena lelah, ku rehatkan badanku di bawah sebuah pohon yang ada di lapangan. Saat ingin memejamkan mata sebentar, air turun secara tiba-tiba.
“Ah, hujan! Kenapa di siang terik begini? Apa ada orang meninggal?” gumamku. Bukannya apa-apa, mitos tentang hujan orang meninggal melekat sekali dengan orang Indonesia. Aku jadi berpikir seperti itu juga. Ku tengok ke atas langit. Ada sesosok manusia yang badannya begitu besar, tapi menyerupai kera. Awalnya samar, namun lama-kelamaan dia jadi kasat mata. Jelas sekali. Saat kusadarai, dia adalah hantu!
“G..gen..deru..waa!” teriakku sekencang mungkin. Nihil, tak ada yang membantuku. Aku sendirian di lapangan.
Ya, dedemit itu! Aku tak percaya dengan hal-hal yang seperti itu, sampai aku sendiri melihatnya. Dedemit berbadan gergasi yang menyerupai kera itu duduk di dekat pohon yang berada di lapangan luas. Tidak ada orang saat itu. Hanya aku, badanku yang mematung, indra penglihatan yang ku tutup rapat karena visual di depanku, dan aku yang hampir buang air kecil di celana karena takut.
“Sssttt!” ucapnya dari atas langit. “Jangan berisik, wahai manusia..”
Suaranya begitu lemah, tidak menakutkan seperti kata orang-orang. Namun, tetap saja suaranya terdengar olehku. Hujan terus turun. Wajahnya menahan sakit yang amat sangat. Perutnya besar. Tangan raksasanya terus membelai perutnya. Dengan kaki yang gemetar, aku ingin melempar kacang hijau yang aku beli agar hilang, sama seperti kartun yang ku tonton saat dia melihat sesosok tuyul. Jangan dibayangkan. Tidak akan terjadi. Genderuwa itu di atas langit yang tidak bisa aku raih. Aku memberanikan diri untuk melihatnya dengan intens. Erangan yang kencang terdengar. Aku heran, kenapa orang-orang tidak ke sini? Apa tidak ada yang mendengar?
“Sakit sekali!” Teriakannya yang begitu kencang memekakkan telinga. Keringatnya turun dan membuat tanah di sekitarku basah dan lembab. Air juga mengalir dari rahimnya. Situasinya seperti ibuku saat mau melahirkan adikku. Air ketubannya keluar dan merembes. Genderuwa seram, tapi melihatnya seperti ini ada setengah rasa kasihan juga. Dia menahan sakit saat melahirkan. Manusia dibantu bidan saat melahirkan. Sedangkan dedemit itu melahirkan sendiri.
Rasanya ingin ku panggil bidan dekat rumah. Hujan semakin deras ketika dia di puncak persalinannya. Keringatnya semakin banyak yang jatuh. Bayinya akan keluar sebentar lagi. Dengan terus mengejan, akhirnya anaknya bisa keluar. Air matanya jatuh. Dia terlihat bahagia ketika melihat anaknya. Tak lama, genderuwa beserta buah hatinya menghilang. Mungkin mereka menuju hutan, tempat tinggal yang sesuai untuk mereka. Lembab dan gelap.
Air hujan berhenti turun. Tinggal aku yang berdiri dengan wajah terdiam dan mulut yang menganga. Kakiku bergegas melangkah pulang. Membawa badanku yang setengah kaku. Untung saja aku sampai di rumah, bukan di rumah tetangga. Ibu menghampiriku.
“Hei, ke mana saja kau? Beli kacang hijau saja lama sekali.”
Aku terduduk lemas. Aku bertanya pada ibuku dengan wajah kosong.
“Bu, apa ibu pernah melihat genderuwa melahirkan?”
Ibu mengernyitkan dahinya, kemudian tertawa sambil menepuk bahuku. “Ada-ada saja kau. Mana pernah ibu melihat hal seperti itu.”
“Di sini tadi hujan, Bu?”
“Benar. Tadi hujan. Cukup deras juga. Ibu kira kamu akan pulang sambil hujan-hujanan. Walaupun sudah SMA, hobimu seperti bocah SD.”
“Tadi aku melihat genderuwa melahirkan, Bu. Kukira keringat dan air ketubannya yang merembes lah yang membuat desa kita diguyur hujan tadi.”
Ibu semakin tidak percaya padaku. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menuduhku telah makan jamur kotoran sapi tadi.
“Itu cuma mitos yang berkembang di daerah kita. Sudah ah, Ibu mau masak bubur kacang hijau dulu. Kalau sampai Ibu melihatmu memakan jamur itu lagi, jangan tidur di rumah.” ujarnya.
Sungguh, itu benar-benar nyata. Aku melihatnya sendiri! Aku tidak berbohong. Mitos itu terjadi sekali dengan nyata. Dari banyaknya orang, kenapa harus aku yang ditakdirkan untuk melihat genderuwa melahirkan? Kenapa cuma aku yang mendengar erangan itu? Semalaman aku tidak bisa tidur. Keesokan harinya, badanku panas tinggi karena syok. Saat aku terbangun dari tidur di siang hari, ibu-ibu sedang mengobrol di teras rumahku. Aku mendengarkannya dari depan pintu rumah. Mereka menceritakan perempuan hamil yang pernah bunuh diri di lapangan. Apa mungkin yang kulihat kemarin adalah perempuan itu? Aku pernah membaca mengenai mitos genderuwa. Genderuwa berasal dari arwah orang yang meninggal secara sempurna, salah satunya karena bunuh diri.
Mendengar itu, aku pingsan. Kata ibu, aku dibawa ke rumah sakit saat itu juga.
Ketika cerita mengenai mitos yang kualami ini selesai, Pak Guru dan teman-temanku hanya terdiam. Setelahnya, aku berharap bahwa mereka tidak mengiraku telah memakan magic mushroom. Tapi nyatanya, mereka menuduhku dengan hal yang sama yang dilontarkan ibu padaku.
Dewi Amalia Fadzilah, Universitas Negeri Jakarta