Annora membawa kakinya yang dibalut sepatu boot menuju stasiun King’s Cross.
Sudah hampir petang, ia mempercepat langkahnya. Mantel yang melekat di tubuhnya ia rapatkan setiap kali angin musim dingin menerpa. Ada salju yang menutupi sisi jalanan, tidak jauh dari sana ada petugas sosial dengan sekopnya yang siap sedia. Orang-orang ramai berlalu-lalang, beberapa mungkin baru akan pulang ke rumah setelah berkutat dengan layar komputer seharian.
Annora akan pergi ke Bradford mengunjungi bibinya. Esok adalah hari pembukaan toko roti sang bibi. Annora berniat untuk membantu tenaga barang sedikit. Toh, esok ia tidak memiliki kelas yang wajib dihadiri.
London saat penghujung tahun ada di urutan pertama pada daftar kesukaan Annora. Tidak ada alasan yang spesial, hanya suasananya yang menurut Annora hangat, meski pada kenyataannya salju turun dengan deras beberapa hari belakangan.
Entah apa yang membuat hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya, tapi Annora yakin delapan puluh persen kalau stasiun King’s Cross lebih ramai dari biasanya. Ada pasangan paruh baya yang menggenggam tangan satu sama lain di bawah plang bertuliskan peron enam. Salju yang turun seakan enggan mendekati mereka. Mungkin mereka malu, atau malah menaruh rasa iri pada mereka yang masih diberikan rasa untuk saling mengasihi meski sudah tiba di hari tua.
Ada Ibu dan kedua anaknya yang memiliki wajah serupa, merengek entah meminta apa. Tangan mungil kedua bocah itu menarik-narik bagian samping mantel yang dikenakan oleh sang Ibu. Salah satu bocah yang berambut ikal kecoklatan menunjuk kios jajanan manis di seberang. Annora berjalan sedikit menjauh dari mereka. Tidak tahan mendengar rengekan anak kecil terlalu lama, kepalanya bisa sakit semalaman.
Lalu ada seorang paman tua dengan pakaiannya yang bisa dibilang cukup berantakan. Berdirinya tidak tegak. Annora mencium bau alkohol yang menguar dari tubuh si paman tua. Annora mengumpat dalam hatinya. Tidak habis pikir mengapa ada orang yang mabuk saat gelap belum menyelimuti langit sepenuhnya.
Adalah laki-laki dengan perawakan tinggi yang membawa easel kecil–kayu penyangga kanvas, beserta kanvasnya dengan sketsa setengah jadi yang tertangkap oleh mata Annora. Mungkin mahasiswa seni, atau malah sudah menjadi pelukis ulung yang membuka lapak di pinggir jalan. Ia cukup tampan, pikir Annora. Ketika mata mereka bertemu, Annora cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke rel kereta yang ada di bawahnya.
Kereta tiba pukul enam lewat lima. Terlambat dua menit dari jadwal biasanya. Annora buru-buru masuk. Tidak tahan dengan angin dingin yang terus menerus menerpanya. Sesuai dengan yang tertulis pada tiket di tangannya, Annora duduk dekat jendela, di kursi bernomor tujuh. Ia sudah merencanakan untuk tidur sepanjang perjalanan sebelum laki-laki dengan easel kecil tadi duduk di sebelahnya dan melempar senyum. “Bradford?”
“Iya, kau?” Annora balas memberi senyum dan melemparkan tanya balik untuk sedikit
berbasa-basi.
“Aku akan turun di Leeds.” Si laki-laki tadi membenarkan posisi easel kecil yang ia bawa. Kali ini Annora dapat melihat sketsa yang melekat pada easel dengan jelas.
Annora hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon atas jawaban laki-laki dengan
hidung bangir di sebelahnya.
“Aku melihatmu saat kereta belum tiba.” Lagi, Annora hanya menganggukkan kepalanya, “Kau menjauh dari mereka.” Tangan laki-laki itu menunjuk secara gamblang ke dua kursi di depan mereka. Ada Ibu dan kedua bocah kembar yang sempat ia perhatikan saat menunggu kereta.
Annora menurunkan tangan laki-laki itu supaya tidak lagi mengangkat di udara. “mhm, aku tidak suka anak kecil yang merengek.”
“Tergambar dari raut wajahmu.” Laki-laki itu terkekeh pelan. “Aku juga melihatmu memperhatikan mereka yang duduk tepat di depan kita.”
Annora mengerutkan dahinya, “Siapa?”
“Pasangan tua, Tuan dan Nyonya Johnson.”
“Kau mengenal mereka?”
“Aku sempat berkenalan dengan mereka beberapa minggu lalu…”
“Oh…”
“Aku tebak… kau pasti memaki-maki dalam hati saat melihat Tuan Peter.”
“Aku tidak tahu siapa itu Tuan Peter.”
Laki-laki dengan surai panjang itu menunjuk dengan dagunya pada paman tua yang baru saja masuk ke gerbong yang mereka tempati. Jalannya sempoyongan.
“Kau ini penguntit ya?!”
“Jangan salah paham, aku ini pengamat hebat. Aku hampir setiap hari melihat mereka karena aku bolak-balik dari Leeds ke London setiap harinya.”
Ada rasa lega yang muncul di hati Annora. Sempat panik waktu laki-laki yang memiliki pupil berwarna kecoklatan mengetahui setiap gerak-geriknya.
“Aku juga melihatmu memperhatikanku.”
“Itu tidak sengaja.” Annora menjawab cepat.
“Raut wajahmu berbeda dengan saat kau menatap Tuan dan Nyonya Johnson dan Ibu serta kedua anaknya, juga saat kau melihat Tuan Peter… apa yang kau pikirkan waktu melihatku?”
“Aku bilang aku tidak sengaja melihatmu. Tidak ada pikiran apapun.”
“Aku suka matamu waktu itu.”
Annora tidak menggubris ucapan laki-laki itu, kupingnya ia sumpal dengan earphone. Matanya menyalang ke luar jendela. Ia merapalkan dalam hati, semoga saja pipinya tidak berubah warna menjadi merah seperti baju yang dikenakan oleh para Queen’s Guard di Istana Buckingham Palace.
Dari kaca Annora melihat Laki-laki di sebelahnya menyunggingkan senyum. Waktu kereta tiba di stasiun Leeds, mereka turun. Annora harus berganti kereta dan si laki-laki yang duduk di sebelahnya sudah melangkah cepat ke arah pintu keluar. Tidak ada salam perpisahan. Mungkin ia buru-buru, atau merasa salam perpisahan tidak perlu, Annora tidak tahu.
***
Di benak Annora, stasiun selalu menjadi ajang tempat bagi manusia untuk berpisah, entah untuk sementara ataupun selamanya. Annora lupa kalau sebuah stasiun pun bisa menjadi ajang untuk bersua setelah sekian purnama.
Di awal tahun berikutnya, kali ini di Stasiun Pancras, tepat di depan patung The Meeting Place yang sangat terkenal, Annora bersua lagi dengan laki-laki yang ditemuinya tempo hari. Kali ini mereka bertukar nama.
“Annora.”
“Keenan.”
Tidak ada lagi suara rengekan anak kecil dan aroma alkoholnya Paman Peter.
Salju pun tidak lagi turun menyelimuti mereka.
Ditulis oleh: Siti Hutami Mahmudah, Universitas Negeri Jakarta