Dadaku sakit.
Leherku nyeri.
Aku kedinginan.
Panas. Panas. Panas.
“Badai Puan telah berlalu
Salahkah ‘ku menuntut mesra?
Tiap taufan menyerang
Kau di sampingku
Kau aman ada bersamaku..”
Suaranya yang paling indah. Dekapannya yang paling nyaman. Pandangannya yang paling meneduhkan. Begitulah dia setiap malam. Selalu menyanyikanku lagu cinta kami berdua. Lantunan favoritku dari Banda Neira. Lagu yang juga ia bawakan saat memohon balasan cinta dariku di ruang rawat. Menemani wanita manja ini yang selalu takut tidur sendirian. Menggenggam erat kedua tanganku kala mimpi buruk singgah. Dia ada disana. Dia selalu ada di sana, di sisiku.
“Selamanya.. “
“Sampai kita tua.. “
“Sampai jadi debu.. “
” Ku di liang yang satu”
” Ku di sebelahmu..”
*****
Akhirnya selesai juga. Aku sengaja buru-buru menyelesaikan kelas hari ini. Ini sudah, itu sudah, evaluasi sudah…hmm piano ini bagaimana ya,
“Diko, bisa bantu kakak pindahkan piano ini ke ruang musik?”
“Iya kak, biar saya aja. ”
Aku kembali sungkan menahan senyuman. Aku tau dia murid yang bisa diandalkan.
“Kakak kayaknya lagi buru-buru, mau ketemu pacar ya kak..?”
Ah seperti biasa dia suka sekali menggoda tutornya ini. Dasar anak nakal.
“Iya, pacar kakak mau jemput ini, kita mau nonton hehehe, duluan ya!”
“Hati-hati Kak. ”
Diko tersenyum seraya melambaikan tangannya beberapa seruan. Langit sepertinya agak mendung, aku harus bergegas. Kulewati koridor kampus yang masih setengah ramai dengan langkah gaduh. Ada beberapa anak yang menyapaku, ada juga yang sekedar heran lalu kembali mengalihkan pandangan mereka. Niko tidak boleh menunggu lama. Tidak, aku yang tidak sabar menunggu.
“Lin!”
Itu dia.
“Kamu udah nunggu lama? Aku baru banget selesai ini, aku… ”
Sebelum sempat ku menyelesaikan penjelasan, jari telunjuknya sudah menyanggah tepat di halaman bibirku.
“Iya gapapa Lina. Aku juga baru dateng kok.”
Syukurlah. Niko ternyata hanya mampir sebentar untuk memberi kabar. Dia takut kesalahpahaman akan terjadi kalau memberitahuku melalui telepon.
Dia ada urusan mendadak di rumah sakit. Dokter baru saja memberi instruksi pada beberapa perawat termasuk Niko, kalau operasi kecil yang seharusnya dilakukan besok dipercepat jadi sore ini. Niko bilang, dia tidak akan lama. Akan ada perawat lain yang mengisi posisinya setelah tiga puluh menit. Dia juga menjelaskan dengan rinci bahwa rekan yang akan mengambil alih jam kerjanya tidak bisa menggantikan posisinya lebih awal karena urusan pribadi.
Dia membawakanku kopi vanilla late di kepalan tangannya yang sebelah kiri. Dia minta maaf karena kopinya sudah tidak hangat lagi. Dia benar-benar tidak ingin ingkar janji untuk rencana kita hari ini. Dia sudah pesan tiket dan akan menjemputku segera setelah tugasnya selesai. Tangannya kini menggenggam miliku. Matanya menemui mataku yang melirik ke atas saat mensejajarkan pandangan kami.
“Aku jemput nanti malam. Aku janji pasti dateng Lin, jangan sampe ketiduran ya. Sampai jumpa nanti, dada ”
Niko mengakhiri ucapannya dengan sebuah kecupan di kening. Dia tersenyum seraya menjauh menuju rumah sakit. Seluruh tubuhku rasanya mendidih. Pipiku sampai nyeri sebab sulit berhenti tersenyum seperti orang bodoh. Kamu mungkin sudah gila ya, Lina.
Menelpon ibu adalah salah satu cara untuk menghabiskan waktu. Sembari bicara dengan ibu, tangan-tanganku sibuk menyiapkan makan malam untuku dan Niko. Aku ingin setidaknya Niko makan dulu sebelum kami pergi berkencan. Dia pasti lelah sehabis bertugas membantu dokter menjalankan prosedur operasi. Itu melelahkan, aku tahu pasti perutnya butuh asupan segera.
Aku tidak terlalu suka menunggu. Aku hanya akan berakhir dengan sejuta kerinduan pada keluargaku di pulau sebrang. Mengejar mimpi memang tidak mudah, aku masih harus berusaha sedikit lagi untuk membahagiakan orang tuaku.
Aku sering merasa kesepian di hari yang dingin. mimpi buruk sering berkunjung saat jiwaku tidak tenang. Beruntungnya aku punya Niko. Perawat baik hati yang merwatku dengan tulus ketika aku masuk rawat inap. Sampai hubungan kami terus berlanjut hingga kini. Mimpi-mimpi buruk itu undur diri ketika kami bersama.
“Maaf Lin,”
Oh sudah datang rupanya. Niko tergesa-gesa saat masuk ke dapurku. Wajahnya sedikit berkeringat dan lelah.
“Iya gapapa, masih lama juga kan filmnya. ”
Tangan hangatnya mengacaukan rambutku yang baru saja setelah selesai mandi tadi kurapikan. Dia tersenyum bukan karena menyesal ketika melihat wajahku murung akibat keusilannya barusan, tapi dia bangga. Dia tahu aku mana bisa marah padanya. Dan dia benar-benar memanfaatkan hak istimewa itu dengan sesuka hati.
“Ini dipotong 6 kan?”
Tanya Niko sembari memposisikan satu ekor ayam negeri yang masih tersegel itu di atas talenan. Dia membuka segelnya lalu mulai memotong dengan tegas. Dia pria yang peka akan situasi. Niko tahu apa yang harus dilakukan tanpa perlu menunggu arahan dariku. Dia menggulung kaus lengan panjangnya yang menganggu, dan kembali lanjut memotong ayam yang sudah sempat terbagi jadi 3 bagian itu.
“Niko sini cobain kuahnya!”
Panggilku pada pria yang baru saja magang sebentar jadi tukang potong ayam. Dia melesat dengan cepat seperti anak kecil yang tak sabar disuapi saat mulutnya sudah kosong.
“Mana aaaaaa”
Niko membuka mulut sambil bertingkah imut. Mata imutnya berubah tajam seketika aku menyuapinya dengan sayur sup racikanku. Dia mengulum sendoknya lebih dari semenit. Mata kami bertemu lebih dari sekedar saling bersapaan. Mereka mengobrol lama tentang topik-topik yang sulit diselesaikan. Tangan kirinya mengelus pipiku yang tidak tahu lagi sudah semerah apa warnanya. Dia mengelusnya pelan dengan punggung jari sambil melepaskan sendok yang kusuguhan dengan perlahan.
“Enak, Lina.”
Katanya dengan suara rendah mekenan batas kewarasanku. Dan tatapan itu berubah lagi. Dengan punggung jari yang masih membuat pipiku kesemutan, bibirnya mulai melantunkan bisikan-bisikan yang telingaku tidak tahu. Aku sedikit memejamkan mata. Dari perutku seperti ada seribu kupu-kupu yang memberontak ingin terbang bebas sekarang juga. Semakin dekat, aku merasakan nafasnya yang stabil. Satu tangannya meraih pinggangku dan ruang sela semakin menyempit. Terus menyempit.
Aku ragu menatap wajahnya sekarang, tetapi kecurangan mataku tidak bisa dihentikan. Aku seperti melihat sesuatu yang besar dan mengkilap berada di kepalan tangan kanan Niko. Mataku hanya mampu terbuka sedikit, aku tidak melihatnya dengan jelas. Penghilatanku dipenuhi kunang-kunang. Kupu-kupu terbang terlalu jauh. Dengan cepat tangannya tiba-tiba menekan leherku dengan sekuat tenaga. Aku kesulitan bernafas. Aku tidak bisa bergerak.
“Haa…’ ”
Wajahnya dipenuhi oleh cipratan darah. Semakin aku berusaha mengambil nafas, semakin deras darah yang menembus. Aku tidak mengerti. Kenapa aku berdarah?
Niko menumpahiku cairan bening berbau keras. Membiarkan darah kental pekatku terus menyembur-nyembur begitu saja. Dari bibirnya aku melihat senyum simpul. Aku melihat wajahnya amat bahagia. Aku ingin melihat wajah itu dalam waktu yang lama, tapi cahaya terang semakin berkerumunan di sekitar dirinya. Cahaya ini semakin berkobar sampai menyilaukan pandangan mataku. Dia masih disana. Aku masih mendengarnya bernyanyi untukku. Lantunan lagu cinta kami.
“Sampai jadi debu.. “
“Sampai jadi debu.. “
*****
Dadaku sakit.
Leherku nyeri.
Aku kedinginan.
Panas. Panas. Panas.
Itukah wajah bahagia Niko yang sebenarnya? Menatap bangga gadis cantik di pangkuannya itu mengenakan kalung sapphire biru laut milikku. Dia sangat cocok dengan kalung itu. Dia lebih cocok mengenakannya daripada aku. Matanya yang indah memancarkan kehangatan setiap ia berkedip, aku iri.
“Kamu yakin ini akan baik-baik saja Nik?”
Gadis itu bertanya dengan anggun.
“Tentu saja. Aku sudah membereskan semuanya dengan (r)api. Kamu tidak perlu khawatir sayang, dia hanya butiran debu sekarang.”
Benar. Lagipula aku menyukai pisau daging ini. Mengkilap cerah menghiasi area dadaku. Aku tidak ingin mencabutnya. Aku ingin pisau ini selalu tertancap di dadaku. Tidak akan kubiarkan lukanya menutup. Aku ingin selalu menyentuh luka ini ketika aku rindu sentuhannya. Hanya luka ini yang selalu mengingatkanku kalau dia bukan sekedar mimpi. Niko mempersembahkannya untukku seorang.
Aku mencintaimu Niko. Aku sudah jadi debu. Kita di liang yang satu. Aku selalu di sebelahmu. Selamanya. Sampai kamu tua. Sampai kamu juga jadi debu.
Maharani Laksmi Dewi
Universitas Negeri Jakarta