Majalah Sunday

Takdir

Bangun pagi, mandi, sarapan dan berangkat sekolah. Ya, rutinitas klasik yang biasa dilakukan oleh pelajar. Begitu pula yang dilakukan oleh Vita.

“Pagi, Bu.”

“Sarapan dulu, Vit.”

“Aku udah telat Bu, aku udah siapin bekal kok. Nanti aku makan di sekolah saja ya.”

Setelah berpamitan, Vita langsung mengeluarkan sepeda nya dan menggowesnya dengan kecepatan penuh. Tidak biasanya Vita telat bangun seperti pagi ini. Dan mungkin baru kali ini dalam hidupnya Vita akan telat masuk sekolah.

“Pak Soni, tolong bukain gerbangnya dong.”

“Neng Vita, tumben kamu telat.” Pak Soni, selaku satpam di SMA Garuda, yang sudah cukup akrab dengan Vita, sedang asyik menyeruput kopinya dan langsung membuka gerbang sekolah dengan tergesa-gesa.

“Makasih banyak ya, Pak. Vita ke kelas dulu ya…,” setelah memarkirkan sepedanya, Vita lari terburu-buru menuju kelas XI IPA-4 yang berada di lantai 2.

Tetapi, hari ini adalah hari tersial bagi Vita. Karena belum juga sampai di kelas, ada suara yang sangat ditakuti oleh semua siswa SMA Garuda yang memergokinya.

“Hey, mau kemana kamu? Sini dulu.”

Dengan berat hati, Vita berbalik dan berjalan menuju Bu Fitri, guru BK yang selalu berkeliling sekolah untuk mencari “mangsa” nya.

“Siapa nama kamu?”

“V…Vit…a”, Vita sangat gugup karena belum pernah ia berhadapan langsung dengan guru BK di sekolahnya.

Bu Fitri melepaskan kacamata nya, sambil mengernyitkan dahi nya. “Vita? Anak baru? Saya belum pernah kayanya ketemu muka kamu ini.”

“Eng…enggak kok, Bu. Saya bukan anak baru.”

Dengan meletakkan kembali kacamata di kedua matanya, “Owalah, ya sudah. Kamu tetap melanggar peraturan. Dan semua siswa yang melanggar tidak akan bebas dari hukuman bagi saya. Sekarang, kamu pergi ke gudang penyimpanan alat-alat olahraga, dan kamu rapikan. Kalau nanti jam pelajaran kedua, Ibu kesana belum rapih, awas ya.”

“Baik, Bu,” dengan langkah kaki yang berat, Vita berjalan melewati kelasnya, dan malah menuju lorong pojok di lantai 3.

Benar saja yang dikatakan Bu Fitri. Sekolah elite seperti ini ternyata masih ada ruangan yang seperti kapal pecah. “Ya ampun, ini nggak pernah dibersihin apa gimana ya? Kok berantakan banget.”

Vita menaruh tas ransel nya di dekat pintu, dan mulai mengambil berbagai jenis bola yang berserakan di lantai. Karena sudah terbiasa membersihkan banyak barang, Vita tidak kesusahan menjalani hukumannya kali ini.

Disaat Vita sedang menumpukkan matras, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Refleks, Vita langsung memalingkan pandangannya ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.

“Kenapa coba Pak Toni yang nyuruh kita buat ambil bola basket. Udah tahu gue males bang..”

“Heh, siapa lo? Tukang bersih-bersih baru bukan? Hahahaha…”

Sania, Dara, dan Meli. Ketiga cewek “hits” di sekolah ini yang sangat Vita tidak suka. Mungkin mereka tidak menyadari adanya Vita di sekolah ini. Tetapi mereka selalu menjadi bahan pembicaraan seantero sekolah.

“San, kebetulan banget ada nih orang. Kita suruh aja dia yang bawa bola basketnya. Jadi tangan kita gak bakalan kotor. Iya, kan?”

“Tumben banget lo pinter, Mel. Heh, sekarang lo bawain 5 bola basket itu ke lapangan ya. SE..KA..RANG.”

“T…tapi aku b..bu…,”

“Lo tahu siapa Sania, kan? Lo berani tolak perintah dia?” Dara langsung memotong omongan Vita.

Jika bukan karena Sania adalah anak dari pemilik yayasan sekolah ini, Vita ingin sekali rasanya menolak. Tetapi, Vita juga harus sadar akan kenyataan. Bisa saja beasiswa yang ia dapatkan dicabut jika berurusan dengan anak pemilik yayasan.

“I..iya, aku bawain kok.”

Vita dengan susah payah membawa kelima bola basket di tangan mungilnya itu. Ia mendekap semua bola basket dalam pelukannya. Berbeda dengan tiga sejoli yang berjalan di depannya. Mereka malah asyik mengobrol dan tertawa.

Saat menuruni anak tangga, Vita hampir saja menjatuhkan kelima bola basket karena pandangannya terhalang. Tetapi dewi fortuna sedang ada di pihaknya kali ini.

Sesampainya di lapangan indoor, suara kebisingan mulai terdengar jelas. Ternyata kelas XII IPS-2 sedang kelas olahraga. Tetapi Sania, Dara, dan Meli tidak memakai baju olahraga.

“Oh, pasti mereka dihukum karena gak bawa baju olahraga deh,” pikir Vita.

“Heh, bola nya kasih gih ke Pak Toni,” suruh Sania dengan angkuhnya.

Sebenarnya dalam hatinya, Vita ingin sekali memberontak. Tapi ia tak punya keberanian yang cukup untuk melawannya. Karena pandangannya terhalang oleh bola basket, tiba-tiba ia menabrak seseorang dan alhasil, seluruh bola basket yang awalnya di dekapannya, jatuh berhamburan.

“M…maaf ya, aku enggak ngeliat tadi,” ucap Vita seraya mengumpulkan kembali bola-bola tersebut.

“Mata lo kemana sih?” Sania membentak Vita sehingga suasana hening seketika. “Kamu nggak kenapa-kenapa,kan,To? Ada yang luka, nggak?”

“Apaan sih, San? Nggak usah lebay deh. Eh, sini gue bantu. Maaf ya tadi gue juga enggak lihat jalan.”

Sania, Dara dan Meli terkejut. Baru pertama kali ini, seorang Dito, kekasih Sania, membentaknya. Bahkan, Marco dan Bagas, yang merupakan sahabat karib Dito pun, ikut terkejut mendengarnya.

Ya, Adito Darwana, yang sering dipanggil Dito, yang merupakan kekasih Sania yang juga merupakan ‘geng hits’ di SMA Garuda. Tidak aneh lagi bagi semua siswa di sana melihat betapa dekatnya mereka berdua. Di kelas, kantin, pergi dan pulang sekolah, Dito dan Sania selalu bersama. Tapi baru kali ini, Sania dibentak dan dipermalukan di depan siswa lainnya.

“San, sumpah, kok Dito bentak lo sih? Dan malah bantuin tuh cewek dong. Gila sih,” bisik Dara yang malah membuat Sania semakin naik pitam. Sania langsung meninggalkan lapangan diikuti dengan Dara dan Meli.

“Lo beneran nggak kenapa-kenapa, kan?” Dito memastikan kembali jika Vita tidak terluka sedikitpun.

“Aku baik-baik aja kok. M..makasih ya,” setelah menaruh bola basket, Vita langsung segera keluar dari lapangan. Meninggalkan Dito yang masih berdiri diam menatapnya keluar lapangan.

Marco dan Bagas segera menghampiri Dito. “To, gue enggak salah liat, kan? Dari SMP gue temenan sama lo dan lihat lo pacaran sama Sania, tapi baru kali ini juga gue lihat lo kayak begitu ke Sania.”

“Emang kenapa, Mar? Gue salah gitu?”

“Bro, Sania itu pacar lo. Dan cewek tadi? Gue aja malah enggak kenal dia siapa. Tapi lo malah bela dia,” ujar Bagas.

“Lo enggak kenal, bukan berarti gue enggak kenal juga. Nama dia Vita. Kalau lo enggak tau siapa dia, sini biar gue kasih tau siapa dia.”

***

“AAAARRGGGHHHHHHHH”

“Tenang, San. Gue ngerti perasaan lo kayak gimana sekarang. Tapi lo harus tenang.”

“Tenang lo bilang, Mel? Gue enggak terima. Baru kali ini Dito kayak begitu ke gue. Dan malah bela tuh cewek nggak jelas. SIAPA NAMA DIA? SIAPA??!!” Sania sudah jelas sangat emosi saat ini. Dia ditemani dengan Dara dan Meli berada di gedung paling atas di SMA Garuda.

“Namanya Vita. Dia kelas XI IPA-4 dan dia bisa sekolah di sini karena dapat beasiswa,” jelas Dara yang sudah mendapatkan informasi banyak tentang Vita.

“Beasiswa? Hahahahaha. Jadi, dia sekolah disini karena beasiswa. Lihat aja nanti, lihat balasan gue.”

****

“DEMI APA? KOK LO NGGAK PERNAH CERITA KE KITA?”

Marco dan Bagas sangat terkejut mendengar kebenaran yang diungkapkan oleh Dito.

“Cuma kalian berdua yang tahu masalah ini. Nggak ada orang lain yang tahu, bahkan dia sendiri juga belum tahu. Jangan ada yang kasih tahu ke siapapun,” kecam Dito.

****

“Permisi, Vita Saputri mohon segera menuju ruangan kepala sekolah ya.”

Saat pelajaran terakhir sedang berlangsung, Vita terkejut karena namanya terdengar di speaker kelas. Ia bahkan tidak tahu apa yang membuatnya sampai dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Setelah mendapatkan izin dari guru yang sedang mengajar, Vita bergegas turun menuju ruangan dimana ia akan segera mengetahui alasan dirinya dipanggil.

Krek

“Selamat siang, Pak. Ada apa ya kira-kira saya dipanggil ke sini?” tanya Vita dengan sopan.

Pak Albert, yang sedang menulis sesuatu di kertas, langsung menyuruh Vita untuk duduk. “Begini Vita. Selama ini kamu sekolah disini dengan bantuan beasiswa yang diberikan langsung oleh pemilik yayasan. Tapi dengan berat hati, pemilik yayasan tiba-tiba memberitahu Bapak jika beasiswa kamu dicabut. Dan kamu juga dikeluarkan dari sekolah ini.”

Seakan semuanya seperti mimpi bagi Vita. Dosa apa yang telah ia lakukan sehingga menerima semua hal buruk ini. Setelah mendengar apa yang Pak Albert katakan, setelah berdebat juga dengan beliau, setelah mempertanyakan kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga dikeluarkan dari sekolah, setelah semua upayanya untuk bisa tetap bertahan di sekolah itu gagal ia lakukan, yang bisa Vita lakukan sekarang hanya kembali ke kelas, menunggu jam pelajaran selesai dengan pandangan kosong ke depan, dan menunggu bel sekolah yang akan menjadi bel terakhir yang ia dengar di sekolah itu.

***

Sekolah telah usai. Selesai dari toilet, Sania, Dara, dan Meli berjalan menuju parkiran sambil asyik mengobrol. “Lega rasanya bisa nyingkirin hama yang ganggu hubungan gue sama Dito.”

“Iya benar banget, San. Lagian berani banget dia sama lo. Apalagi sampai ganggu hubungan lo. Gue yakin, pasti tuh cewek sekarang nangis bingung nggak tahu mau sekolah di mana. Hahahaha.”

Tiba-tiba saja Dito, Marco dan Bagas menghalangi jalan Sania. “Maksud kamu nyingkirin hama apa, San?” tanya Dito dengan wajah dan suara yang tegas.

Sania malah dengan enteng menjawabnya, “Aku nggak suka kamu lebih ngebela cewek lain dibanding aku. Jadi, aku udah minta papa untuk cabut beasiswa si Vita itu, cewek yang tadi di lapangan itu. Jadinya, nggak ada lagi yang bakalan ganggu kita.”

Emosi, marah, sedih, semuanya bercampur. Dito langsung masuk ke mobilnya, menancap pedal gas, dan tujuannya saat ini hanya ada satu tempat.

“Loh, Dito kok pergi sih?” gerutu Sania.

Bagas dan Marco hanya bisa menjawab, “Siap-siap aja lo bakal kehilangan Dito untuk selamanya.”

***

“Bu, aku sama sekali enggak tahu salah aku apa. Pak Albert juga cuma bisa diam pas aku tanya. Maafin aku, Bu. Aku udah bikin Ibu sedih dan kecewa,” tangis Vita pecah saat bercerita pada Bu Darmi di sesampainya di rumah.

“VITAA… “

Ada seseorang yang berteriak keras memanggil nama Vita. Vita langsung keluar dan mencari asal suara tersebut.

Di dekat plang bertuliskan ‘Panti Asuhan Harapan Ibu’ yang tertancap tepat di sebelah sepeda Vita yang tergeletak, berdiri sosok lelaki yang tidak asing bagi Vita. Kak Dito? Kok bisa dia ada di sini?

Tanpa basa-basi, Dito langsung memeluk erat tubuh Vita yang kaget dan bingung dengan semuanya ini. Vita hanya bisa diam mematung saat Dito memeluknya. “Maafin aku, Vit. Maafin semua kesalahan kakak.”

Kakak?

“Maafin kakak udah ninggalin kamu dulu. Maafin kakak nggak bisa jagain kamu. Maafin kakak udah ninggalin kamu demi keluarga baru kakak. Maafin semua kesalahan kakak,” tangis Dito pecah sambil masih memeluk erat Vita.

Tangan Vita juga mulai perlahan memeluk kakaknya dengan erat. “Kak… Kak Adit? Ini beneran kakak? Kenapa kakak baru datang sekarang? Kenapa kakak baru kasih tahu sekarang? Aku kangen banget sama kakak.”

oleh: Ike Tania Pardede, Universitas Kristen Indonesia

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?