Majalah Sunday

Tragedi Kebun Tebu

Penulis: Muhammad Lutfi

Dia dan adiknya sedang pergi keluar rumah. Ayah dan ibunya tidak tahu mereka mau ke mana. Tetapi seperti biasanya mereka akan bermain-main mengelilingi lapangan dan bermain kejar-kejaran. Kakaknya usia 10 tahun dan adiknya usianya 8 tahun, terpaut umur dua tahun.

Walaupun mereka kakak dan adik, kerap kali mereka bertengkar hanya karena hal sepele. Hal sepele itu mungkin karena permintaan mereka yang kontradiksi saja. Seperti saat si adik meminta boneka, tetapi kakaknya yang lelaki tidak mau.

Dia lelaki, kalau main jangan boneka. Motor-motoran saja. Itu anggapan kakaknya. Berbeda dengan anggapan adiknya, cewek harus main anak-anakan dan boneka-bonekaan. Supaya bisa Latihan jadi ibu yang baik kalau besar nanti.

Muhammad Lutfi, penulis dari Jawa Tengah, menumpahkan keresahannya melalui cerpen - Tragedi Kebun Tebu. Baca hanya di Majalah Sunday
Mereka pun pergi mermain di dekat kebun jati kakeknya

Siang itu mereka bermain di dekat kebun jati milik kakeknya. Kebun yang tidak luas. Hanya bersebelahan dengan kebun tebu milik orang lain. Biasanya, kalau mereka sedang lelah, sang kakak akan menebang tebu dan mengupas kulit batang tebu. Lalu daging tebu dikunyahi mereka berdua.

Mereka serap dalam-dalam saripati dalam batang tebu itu. Tidak ada orang yang tahu perbuatan mereka. Kakek mereka pun membiarkan begitu saja. Tidak mau turut campur. Sudah berulang kali kakeknya menasihati dua cucunya supaya tidak ambil tebu tetangga.

Namanya anak kecil, dikasih tahu justru suka menganggap itu hanya mainan. Seperti dunia mereka yang penuh mainan. Hanya ingin bermain saja. Bahkan kalau nonton tivi yang isinya juga mainan. Bahkan sepekan lalu, tetangga mereka melihat tingkah laku dua ank ini berlari dari dalam rimbun tebu lalu merusak tebu dan memakan beberapa tebu. Kulit dan daunnya tidak dibuang. Dibiarkan berserakan saja di kebun itu.

Muhammad Lutfi, penulis dari Jawa Tengah, menumpahkan keresahannya melalui cerpen - Tragedi Kebun Tebu. Baca hanya di Majalah Sunday
Namanya juga anak-anak, sering mengabaikan ucapan orang lain

Seperti anak kecil lainnya. Mereka tidak mengindahkan omongan orang lain. Terus saja berlari tanpa henti. Mereka pulang kembali ke rumah kakek mereka untuk sekedar minum air. Kakeknya sedang tidur di sebuah kursi panjang.

Mendengar suara cucunya ada dalam rumah, kakeknya memberitahu pada mereka untuk berhenti makan tebu, sebab kakek sudah mendapat informasi kalau ada anak hilang kemarin. Sampai sekarang belum ditemukan di mana mereka berada.

Dua orang anak hilang. Tak tahu hilang ke mana. Orang tua mereka mencari sampai pusing dan sedih. Kakek memberitahu mereka berdua supaya hati-hati. Jangan sampai mereka main di kebun tebu atau kebun jati lagi.

Harus hati-hati karena barusan ada berita seperti itu. Kakek tidak mau kedua cucunya jadi korban penculikan. Mereka berdua mendengarkan kakeknya berbicara. Kakaknya nampaknya paham apa yang dibicarakan oleh kakek. Adiknya hanya tersenyum sambil mainkan boneka di tangannya. Dipegangnya baju kakaknya lalu mengajak minta pulang ke rumah. Sebab hari sudah sore, kakaknya memutuskan untuk pulang ke rumah. Rumah orang tua mereka dan rumah kakek mereka berdekatan. Hanya beberapa meter saja untuk berjalan sampai ke rumah.

***

Esok hari, mereka kembali bermain lagi. Seperti biasa mereka berkunjung ke rumah kakeknya. Kakek yang sedang memberi makan ayam menoleh pada kedua cucunya yang berkunjung.

“Oh, kalian. Ingat! Jangan main ke kebun tebu. Main saja di kebun belakang kakek,” kakek melanjutkan memberi makan ayam-ayamnya dengan tangannya. Ayam-ayam kakek sudah dipelihara dari kecil sampai besar.

Kedua anak itu keburu bermain kejar-kejaran di kebun jati belakang rumah kakek. Mereka bermain tanah liat. Mereka bentuki tanah liat, dibuat mirip truk, ada rodanya yang juga dari tanah liat.

Adiknya juga sama. Bermain tanah liat bersama kakaknya. Membentuki orang-orangan. Lalu dibuatlah masakan dari tanah liat. Mereka gumpal-gumpalkan tanah liat dan dibentuknya sendiri dengan tangan mereka.

Sedang asyiknya bermain, ada dua orang naik motor. Yang satu nampak memperhatikan mereka lama sekali. Kakaknya melihat orang asing itu dengan nampak curiga. Kakaknya punya firasat tidak enak.

“Kita bermain kejar-kejaran, Kak. Setelah itu kita makan tebu lagi,” adiknya merengek sambil berlari ke kebun tebu. Kakaknya menyusul di belakang dan mengejar adiknya. Adiknya masuk ke dalam kebun tebu.

Muhammad Lutfi, penulis dari Jawa Tengah, menumpahkan keresahannya melalui cerpen - Tragedi Kebun Tebu. Baca hanya di Majalah Sunday
Si kakak panik dan berusaha mencarri adiknya

Si kakak berusaha mencarinya. Dia sibak-sibak dedaunan tebu yang rimbun itu dan belum temukan adiknya. Dia panggil-panggil adiknya, tetapi tak ada suara. Hanya ada katak melompat.

“Dik, kamu di mana?” kakaknya bertanya dengan serius. Tidak ada suara jawaban dari adiknya. Sepertinya adiknya tidak ada di situ. Si kakak tetap berusaha menemukannya lagi. Terdengar suara berisik dari dedaunan.

Suara berisik dedaunan tebu itu sangat cepat. Si kakak mengira itu adiknya. Dia menoleh lalu mencari siapa itu di sana. Ditemukannya adiknya sudah terikat dengan tali. Adiknya meronta-ronta tak bisa bicara. Tangan dan kakinya diikat. Mulutnya dilakban. Adiknya tidak bisa berbuat apa-apa.

Mata adiknya membelalak. Menolehkan bola matanya ke belakang kakaknya. Ketika si kakak akan menoleh, sebuah karung plastik dimasukkan ke kepalanya. Ada orang yang mengikat tangan dan kakinya. Tapi dia tak bisa melihat. Plastik itu dibuka lagi, tapi segera mulutnya dilakban.

Yang melakukan itu adalah dua orang tadi yang mengamati adik-kakak dengan serius. Mereka tertawa. Berkata kepada dua anak itu, “Kau akan kujual, nanti kau akan dipelihara orang. Sekarang kita dapat duit,” sambil terkekeh berdecak pinggang dan menyalakan rokok.

“Kita bakar saja kebun tebu ini!” ucap dari salah satu mereka sambil menyiapkan korek dan bensin. Adik-kakak itu dalam bahaya. Mereka tidak mengingat pesan kakek mereka sebelumnya. Dan apa yang dikatakan kakek ternyata benar.

Mereka berdua sekarang sudah jadi korban keganasan maling anak. Dua orang bejat tadi ingin melakukan hal buruk pada si adik. Dia pegangi dada anak perempuan itu. Anak perempuan itu menangis.

“Hahaha, kita bisa mainkan mereka. Terutama anak perempuan ini,” kata mereka berdua. Si kakak merasa dalam bahaya besar. Dia berusaha menjerit, tetapi tidak bisa. Si adik sedang dalam bahaya besar.

Muhammad Lutfi, penulis dari Jawa Tengah, menumpahkan keresahannya melalui cerpen - Tragedi Kebun Tebu. Baca hanya di Majalah Sunday
Mereka pun kini sudah tertangkap oleh para penculik

“Kita bawa mereka sekarang, keburu nanti ada orang melihat!” mereka bergegas memanggul kedua anak itu seperti barang. Lalu diboncengkannya mereka ke sepeda motor.

Entah mereka mau dibawa ke mana. Orang-orang tidak ada yang kebetulan lewat situ. Maling anak itu menyusuri jalan kebun yang sempit dan berlumpur. Sekiranya ada orang, mereka akan berputar dan cari jalan lain. Tetapi tidak ada orang. Sepi sekali.

Si kakak memiliki perasaan tidak enak. Dia merasa hampir akan menemukan kematian. Dia melihat adiknya menangis. Dia juga menangis. Jalan kebun tebu berlumpur dan becek. Motor kedua maling itu dituntun sambil kedua anak itu ditumpangkannya di atas jok motor.

“wah, gawat! Ada orang di sana! Berputar saja kita, cepat!” Mereka lihat ada orang yang pergi ke kebun. Dan dengan cepat mereka berputar arah. Si kakak yang tahu kalau ada orang. Kemudian menjatuhkan diri dari motor. Kedua mlaing itu juga motornya roboh. Mereka bangunkan lagi si kakak dan tumpangkan lagi di atas motor.

Tetapi keburu orang tadi sudah tahu. Mereka lihat anak diikat dan dilakban. Lalu berlari mengejar mereka. Kedua maling itu gugup dan segera melarikan motornya dengan cepat. Karena mereka membawa kedua anak di motornya, jalannya masih kalah cepat oleh orang yang melihat mereka tadi.

Orang tadi berhasil menyusul mereka. Dia berteriak, “Hai, siapa kalian, itu anak siapa kalian begitukan?” tanya dia. Si kakak meronta-ronta. Adiknya masih menangis. Orang tadi berprasangka bahwa pasti dua anak itu diculik.

Kemudian dia mengejar kedua penculik itu. Karena tidak mau ketahuan dan ambil resiko, kedua penculik tadi menjatuhkan si kedua anak. Lalu pergi melarikan diri dengan motornya. Kedua anak itu berhasil diselamatkan. Mereka kapok lagi bermain di kebun. Masih trauma dengan kejadian tersebut.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 31
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?