Kalimat “dunia ini merupakan panggung sandiwara” memanglah benar adanya. Setiap orang menjalani hidup layaknya seorang aktor, mereka aktor yang menjadi pemeran utama dalam kisah hidupnya sendiri. Mereka semua bukan aktor biasa, melainkan aktor yang dapat sekaligus merangkap sutradara, mereka merancang kisah mereka sendiri. Memang benar jika kalian bilang bahwa yang menentukan jalan kehidupan adalah tuhan. Namun, dalam panggung sandiwara yang mereka mainkan, mereka sendiri pulalah yang layak disebut sutradara. Sutradara yang merancang sedemikian rupa sebuah hidup yang mereka mau, mereka inginkan, lalu berperan layaknya profesional, penuh keberpura-puraan, mengenakan topeng.
Topeng mereka memang transparan, sampai-sampai sulit membedakan mana yang wajah asli, mana yang topeng. Topeng mereka merupakan bagian dari skenario kehidupan yang mereka buat sendiri semau mereka, memilih topeng yang bagaimana yang ingin mereka kenakan. Ya..ini tentang Bagaimana, bukan menjadi Siapa, namun Bagaimana mereka ingin terlihat. Baik, ramah, anggun, berwibawa, dan beribu-ribu sifat positif lainnya yang mereka bisa atur dalam wujud topeng.
Akupun begitu, memiliki topeng yang kubuat untuk diriku, agar aku terlihat seperti orang yang memiliki sifat yang kumau dimata mereka. Ya.. Mereka membohongi satu sama lain bukan?. Tapi aku berbeda.. Topengku ada banyak.. Aku pengoleksi…
* * *
Pagi ini jalanan di kampus tampak sangat ramai, ditambah jam yang sudah menunjukkan pukul 7.55, terhitung lima menit sebelum jam pertama perkuliahan dimulai -membuat para mahasiswa mempercepat gerak mereka hanya sekedar agar tidak terlewatkan absen saat sampai kelas. Namun adapula yang bersikap masa bodo dengan keterlambatannya, salah satunya mahasiswi berkaus lengan pendek hitam tanpa motif dengan jeans panjang yang terlihat sobekan didengkulnya, entah berasal dari toko atau hasil karya tangannya. Ia baru saja turun dari bus angkutannya tanpa tergesa-gesa, bahkan hampir terlihat raut malas dimukanya. Ia menapakkan kakinya diam sejenak di halte, seperti berancang-ancang untuk menghadapi sesuatu yang berat, ia menghembuskan nafasnya keluar dari mulut hingga membuat gembungan dipipinya, lalu melanjutkan melangkah masih dengan gerakan santai.
Di perjalanan menuju gedung fakultasnya, seperti biasa ia menyapa dan juga disapa beberapa temannya baik yang se-prodi ataupun berbeda, se-fakultas hingga lain fakultas dengannya, seperti biasanya juga ia tak segan untuk menghentikan langkahnya, sekedar untuk berbasa-basi, ataupun mengobrol tentang sesuatu yang menurut ia dan temannya menarik, ataupun juga tentang kegiatan organisasi-organisasinya. Kepada teman seprodinya ia hanya berkata “iya gue kelas.. lu duluan aja sana gih, kalo bisa absenin ya”, lalu teman sekelasnya berlalu begitu saja.
Ia menyusuri jalanan kampusnya dengan beberapa teman se-organisasinya yang kebetulan menuju arah yang sama. Mereka mengobrol dijalan, tentang apa saja, lalu sesekali tertawa terbahak-bahak, menertawakan hal yang lucu mungkin, mentertawakan kebodohan satu sama lain mungkin. Lalu mereka bepisah di depan fakultasnya, wanita itu melambaikan tangan pada ketiga temannya, menyisakan ia sendiri, ia berjalan menyusuri koridor masih dengan gerakan santai. Lalu ia melihat dua orang mahasiswi, salah satu diantaranya mahasiswa yang memenangkan Program Kreatifitas Mahasiswa, walaupun tidak tembus di tingkat Nasional, prestasinya cukup untuk menyeret ia ke beberapa prodi untuk sekedar berbagi pengalamannya. Ia masih mengingatnya, mengingat bagaimana kepintarannya, segala tekad kuatnya, membuatnya iri, sangat iri. Ia sebenarnya tidak perlu banyak teman, satu saja yang selalu ada disampingnya yang bisa menemaninya disaat Ia senang ataupun sedih. Diam-diam ia memendam keinginannya menjadi seorang yang cerdas dan bertekad, menyembunyikannya dibalik topeng senyuman yang biasa ia sunggingkan kepada orang-orang terdekatnya.
* * *
Pukul 7.58, sangat terlambat bagi salah seorang mahasiswi berkacamata dengan tas ransel dipundaknya yang tampak berat. Setelah turun dari bus angkutannya, ia langsung berjalan agak cepat sambil merapihkan penampilannya, membenarkan posisi kacamatanya, tampak enggan untuk terlihat acak-acakan meski saat dalam keadaan terpepet sekalipun. Dari kantung matanya terlihat bagaimana ia berusaha belajar semalaman, pagi ini adalah jadwal UTSnya. Ia berjalan cepat sambil menunduk melihat ke jalanan, selain malu untuk menyapa kenalannya yang tak terlalu ia kenal, ia juga malu jika tiba-tiba bertemu temannya dan mencetuskan kata “tumben”, sebenarnya bukan malu, ia lebih merasa kesal, temannya berkata seperti itu seakan ia adalah manusia yang dilarang terlambat.
Diperjalanan menuju gedung fakultasnya ia melihat gerombolan mahasiswi berjalan sambil tertawa, hampir menghalangi jalanan, membuat fokusnya pada berjalan pecah, ia agak memperlambat jalannya. Bukan karena kesal terhalang, hanya saja Ia mengingat bahwa dirinya sejak dulu menginginkan untuk memiliki banyak teman, tertawa bebas bersama tanpa memusingkan pelajaran, bahkan dapat menertawai pelajaran tersebut. Ia juga ingin ikut dalam organisasi-organisasi yang tidak membuatnya belajar dan belajar, ia ingin sekali merasakan nongkrong-nongkrong bersama banyak teman saat mata kuliah usai.
Setelah sadar, ia mempercepat jalannya kembali, mendahului gerombolan tersebut, berjalan cepat sambil mengecek hp-nya yang mengumumkan bahwa kelas ditunda sekitar dua jam. Dengan masih berjalan cepat, ia masuk ke gedung fakultasnya, di koridor tampak sahabatnya menunggunya di salah satu bangku panjang. Lalu ia mulai mengenakan topengnya “kelasnya ditunda ya? Lo udah belajar belum?”.
* * *
Aku seorang wanita, seumuran dengan dua mahasiswa bertopeng di atas. Aku hanya sedang mengisi waktu senggangku, sekedar melihat-lihat kehidupan kampus, sekaligus mempelajarinya karena aku akan bermain di film berlatar kampus. Ya aku adalah seorang aktor, mungkin cukup terkenal.
Hari ini aku memakai jaket hitam dan kacamata hitam, kedua hal ini dapat mencegahku dari memakai topeng seseorang publik figur yang ramah, baik dan cantik. Harusnya sekarang aku sama seperti mereka, menjalani kuliah. Namun inilah aku, seorang aktor yang mencoba banyak topeng, berusaha mengubah menjadi siapa, menjadi bagaimana aku ingin terlihat, sedang berjalan, memperhatikan, lalu memaksa untuk tersesat dalam rancangan topeng orang lain, sekali lagi, Lagi.
Kinanti Rizkiarti
Univeritas Negeri Jakarta