Majalah Sunday

Special Human

“Kita hentikan aja sampai di sini,” ucap seorang lelaki berjaket hitam.

Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Cahayanya terpancar hingga menembus jendela-jendela berkaca milik Cafe Rumonians yang letaknya berada di pinggiran jalan Pegagon III. Di balik jendela-jendela itu, terlihat seorang gadis berpakaian seragam Sekolah Menengah Atas menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan yang serius.

“Kenapa?” tanya gadis itu dengan hati-hati.

“Semuanya udah cukup bukti.”

Gadis itu menghela napas panjang. “Segini aja? Haha, apa yang sudah kulakukan kalau harus berakhir sia-sia seperti ini,” gadis itu tertawa kecut.

“Bukan cuma kamu yang berjuang, Ven.”

“Oh ya, kamu benar. Kamu yang paling banyak berjuang di sini. Terserah. Apa pun yang ingin kamu lakukan, lakukanlah. Pendapatku tidak pernah berguna di matamu.”

“Bukan itu maksudku.”

Lelaki itu menggenggam tangan sang gadis, mencoba memberikan tatapan yang hangat agar gadis itu mau memahami keadaannya. Namun, gadis itu justru membuang mukanya, melepaskan genggaman sang lelaki, dan mendengus kesal. Amarahnya kian memuncak. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengipas-ngipas wajah dengan kedua tangannya. Gadis itu memang memiliki sikap temperamental yang cukup tinggi. Semua yang mengenalnya tahu itu. Tidak terkecuali dengan seorang lelaki yang sudah menemaninya sejak kecil bak permen karet yang sudah lama tersangkut di kolong-kolong meja sekolah anak SD.

“Bukankah wajar pertemanan antara perempuan dan lelaki yang sudah terjalin belasan tahun?” tanya gadis itu suatu ketika.

“Mungkin,” jawab sang lelaki, santai. Tangannya tidak berhenti menyuap sepotong mangga ke dalam mulutnya.

“Yeon!”

Ketika gadis itu sudah memanggil namanya dengan ketus, artinya ia harus berhenti makan dan fokus mendengarkan ucapannya. Yeon—lelaki itu—melepaskan garpu yang sudah menancap pada sepotong mangga.

“Lalu apa masalahnya? Langsung saja ke intinya.”

Masalahnya, gadis itu sudah mengoceh tiga puluh menit lamanya. Buah mangga yang disediakan sepiring penuh sudah habis setengahnya oleh Yeon.

“Kamu tahu apa yang nggak wajar dari hubungan kita?” tanya Yeon.

“Apa?”

Yeon menatap Vena sebentar. “Aku ini seperti budakmu,” lanjutnya.

“Hah?”

“Kamu selalu memarahiku ketika aku salah sedikit melakukan sesuatu. Kamu memintaku pacaran dengan seseorang, tapi ketika aku pacaran, kamu marah karena tidak setuju dengan gadis pilihanku. Aku harus menurutimu, mendengarkanmu, semuanya,” protes Yeon seketika.

“Wah, jadi kamu mempermasalahkan hal itu?” Vena menatapnya terkejut. “Oke. Aku nggak akan suruh kamu mendengarkanku lagi, meminta kamu menurutiku lagi. Silakan. Lakukan semuanya sesukamu,” lanjutnya.

Vena langsung menyantap buah mangga yang sudah menancap pada sebuah garpu dengan penuh emosi. Yeon menggaruk leher kirinya dengan wajah bingung.

“Hahhh, salah lagi aja, deh.”

Sejujurnya, bukan itu yang ingin Yeon ucapkan. Dia senang menjadi teman dekat Vena selama bertahun-tahun. Mereka terlalu sering bersama sehingga bagi Yeon, gadis itu adalah sebagian dari kehidupannya. Ia senang menjadi tempat Vena mengadu kesal, sedih, dan bahagia. Vena sangat berarti baginya. Hanya saja, kala itu ia kesal karena Vena terus mempertanyakan kewajaran hubungan mereka yang terlalu dekat. Menurutnya, Vena terlalu mendengarkan pendapat orang lain yang tidak menyukai kedekatan mereka. Padahal orang-orang itu hanya ingin menghancurkan hubungan mereka yang telah terjaga selama bertahun-tahun.

“Terus apa selanjutnya?” tanya Vena. 

Tangannya meraih segelas coffee latte di hadapannya dan menyeruputnya.

Yeon menghela napas. “Sebenarnya, aku masih ragu dengan bukti-bukti itu,” jawabnya.

“Tuh. Kamu sendiri masih ragu.”

“Aku sudah menghubungi detektif Han untuk membahas keganjalan CCTVnya. Aku rasa CCTV itu tidak bisa sepenuhnya dijadikan bukti konkret.”

“Kenapa?”

“Pakaian pelaku berubah, seperti dua adegan yang sudah diedit menjadi satu,” Yeon menunjukkan wajah curiganya.

“Hah? Gimana kamu bisa tahu? Aku rasa warna pakaiannya sama saja.”

“Tidak. Pada menit awal ia menggunakan kaus berwarna putih dan pada menit-menit akhir, ia menggunakan kaus berwarna abu-abu.”

“Wahh, daebak.”

Lelaki berdarah campuran Australia dan Korea dengan tinggi 170cm ini selain memiliki kelebihan dalam melihat paduan warna, ia juga memiliki kemampuan mendengar kegelisahan isi hati seseorang. Sedangkan gadis berwajah oriental di hadapannya, memiliki kelebihan membaca suatu kejadian dari benda-benda atau manusia yang disentuhnya. Kemampuan itu lah yang telah membawa mereka dalam pekerjaan investigasi kasus kejahatan di daerah Pegagon.

Detektif Han menangkap basah keduanya ketika sedang melakukan aksi penyelamatan pada sebuah bank terbesar di kota kecil itu. Melalui penyelidikan mendalam, ia terkagum dengan kemampuan yang kedua anak SMA itu sembunyikan.

“Sejak kapan?” tanya Detektif Han pada mereka di ruang penyelidikan.

“Entah. Saat kami menyadarinya, kami sudah memiliki kemampuan ini,” jawab Yeon.

“Apa yang akan kalian lakukan pada kami?” tanya Vena.

Detektif Han berpikir sejenak. Ia tersenyum kepada dua anak SMA itu. “Ingin bergabung?”

Mereka terdiam.

“Ada banyak jenis kejahatan di muka bumi ini dan kejahatan yang paling fatal adalah ketika kamu sanggup menolong seseorang, tetapi kamu tidak menolongnya,” ucap Detektif Han.

“Apa identitas kami akan terbongkar?” tanya Yeon.

Vena mengangguk, menyetujui kekhawatiran Yeon.

“Sesuai harapan kalian saja. Saya yang akan menjaminnya.”

Yeon menyeruput kembali cappuccino coffee dihadapannya hingga habis dalam sekali seruput. Ia melihat jam tangannya sebentar. Pukul tiga sore. Tidak terasa obrolan mereka cukup panjang hingga menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Coffee latte milik Vena juga tinggal sedikit. Pancake yang mereka pesan sudah habis tak tersisa dari setengah jam yang lalu.

“Aku harus menemui detektif Han sekarang, kamu mau ikut?”

Vena menatap Yeon masih dengan tatapan kesal. Padahal ia sendiri yang mengatakan untuk berhenti saja sampai sini.

“Aku tarik kembali ucapanku,” ucap Yeon.

Vena lupa kalau seseorang di hadapannya ini bisa mendengar kegelisahan isi hati seseorang. Ketika seseorang sedang kesal, ia pasti gelisah. Itu lah kenapa Yeon selalu memahami emosi Vena selama ini.

“Ayo, kita kembali berjuang,” Yeon mengulurkan tangannya ke hadapan Vena. “Kamu benar, kita nggak bisa berhenti gitu aja sampai sini. Setelah aku pikir-pikir, aku yakin ada sesuatu yang mengganjal. Jadi, tolong bantu aku menyelesaikan kecurigaanku, Ven.”

Vena tersenyum. Menurutnya, Yeon—lelaki yang dicintainya—adalah seseorang yang penuh tanggung jawab. Akankah suatu saat mereka juga akan memasuki dunia pekerjaan di bidang investigasi? Entah. Tidak ada yang tahu. Bahkan mereka sendiri tidak tahu. Saat ini, mereka hanya senang karena kemampuan mereka berguna untuk menolong orang lain.

 

Lina Rufaidah,

Universitas Negeri Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?