Jakarta, 15 Mei 1998
“Papa, aku mau main di sana.”
Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu menarik-narik ujung baju ayahnya, sambil menunjuk ke arah tempat di mana banyak sekali mesin-mesin permainan yang sedang ramai dikunjungi oleh anak-anak seusianya, bermain dan bercanda tawa bersama keluarga mereka.
Ada anak remaja laki-laki dan perempuan yang sedang berdebat, tak ada yang mau mengalah, siapa yang akan memulai permainan lebih dulu. Saling menatap tajam, lalu kemudian tertawa, memutuskan untuk bermain bersama-sama.
Di samping tempat permainan itu ternyata ada toko pakaian yang juga ramai dikunjungi. Para perempuan sibuk saling memilih baju mana yang dirasa paling bagus dan pas jika dipakai nanti. Para lelaki hanya berdiri pasrah dan menunggu pasangannya mendapatkan apa yang dimau. Dan dihibur oleh rengekan anak-anak mereka yang tidak ingin berlama-lama di sana, melainkan mengunjungi toko mainan favoritnya.
Tempat ini begitu penuh dan sesak oleh rasa bahagia. Mereka tersenyum bahkan tertawa, hingga kedua matanya menyipit, dadanya menghangat, oleh emosi yang meluap sampai ke dasar, meminta ditunjukkan pada semua orang yang melihatnya sekarang, di sini, di tempat ini.
Sampai suara tembakan dari luar tempat ini memutus semua rasa hangat itu.
Anak lelaki itu, yang beberapa detik lalu sedang merengek meminta es krim pada ibunya mulai menangis ketakutan, tubuhnya bergetar dan keringat dingin mulai membasahi. Ia ingin sekali berteriak, namun tak ada suara satu pun yang berhasil keluar dari mulutnya. Telinganya mulai berdengung, mendengar suara jeritan serta tangisan di sekitarnya. Padahal baru beberapa menit lalu, ia masih bisa tertawa di tengah-tengah keramaian yang teramat sesak, namun sesak oleh rasa bahagia, bukan sesak oleh kesedihan serta ketakutan seperti saat ini.
“Mama, Papa.”
Suara lirih itu akhirnya berhasil keluar dari mulutnya, dengan mata terpejam dan pipi yang sudah basah oleh air mata. Namun, yang didapati bukan sahutan oleh kedua orang yang dipanggilnya, tetapi suara jeritan histeris serta asap hitam yang mulai mengepul, membuat napasnya kini mulai terasa sesak.
“Aaaaakh!”
Lampu di tempat itu tiba-tiba saja padam. Mereka semakin ketakutan. Berlari tak tentu arah, menabrak apa pun yang berada di sekitarnya, saling bertubrukan, terjatuh, terinjak, lalu berusaha berdiri kembali, berlari lagi, di tengah kegelapan, ketakutan, teriakan, dan tangis memilukan.
Mesin elevator yang beberapa detik lalu sedang bergerak, membawa mereka ke lantai paling dasar, untuk melarikan diri pun kini terhenti. Semua berteriak panik, memeluk keluarganya masing-masing, saling menenangkan.
Seorang ayah yang sedang berlari sambil menggendong anak perempuannya di tangan kanan, mendekapnya di dada, dan seorang anak lelaki di punggungnya. Sedangkan tangan kirinya menggenggam erat tangan istrinya.
Anak perempuan yang menangis ketakutan di sudut lorong pertokoan, sambil menekuk kedua kakinya, menyembunyikan wajahnya di sana.
Orang-orang itu, yang membuat tawa mereka terhenti dalam sekejap, diganti oleh rasa takut, mulai berjalan ke sana ke mari, mengambil semua barang serta makanan yang terlihat oleh matanya, sampai habis. Hanya menyisakan mereka yang kini terjebak di dalam, dengan asap yang mengepul, api yang berkobar semakin besar, dan suara tangisan serta jeritan yang memilukan.
Gedung yang menjulang tinggi itu kini mulai menghitam, dilahap habis oleh api, bersama manusia-manusia yang kini sudah tergeletak, tak berbentuk. Suara-suara yang tadi terdengar jelas dari dalam itu sudah tak lagi terdengar. Kini, jeritan pilu serta air mata menhampiri mereka yang terduduk pasrah di luar gedung, menyaksikan orang-orang tercintanya lenyap dalam sekejap di depan matanya, tanpa bisa melakukan apa pun.
Mereka hanya mampu menangis dan berteriak marah.
Puja Sindia
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta