“Jika ku tahu hadirmu hanya sebentar, tak akan ku sia-siakan setiap waktu berhargaku bersamamu, bunda…”
Itulah yang sedang terbesit dipikiran Senja, gadis manis berusia 17 tahun yang selalu tersenyum walaupun dibalik senyumnya ada sejuta luka yang Ia tahan. Bagaimana mungkin gadis mungil itu bisa begitu ceria dan selalu terlihat kuat di depan orang lain?!
Mungkin Ia dahulu bisa tertawa lepas tanpa ada bayang hitam yang mengikuti dibalik tawanya itu, namun sekarang lain lagi keadaannya. Takdir terlalu kejam, mutiara yang amat berharga baginya harus ia relakan..
Ramadan tiba, Senja menyadari Tuhan begitu luas kasih-Nya, Ia masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan bulan penuh pengampunan dan kemuliaan. Namun ada kesedihan yang amat mendalam dirasakan pada malam ini, malam menjelang puasa. Tak ada lagi sosok hangat yang mengajaknya untuk tarawih bersama, tak ada lagi suara merdu yang membangunkannya untuk sahur, tak ada yang menjadi tempat keluh kesahnya dikala godaan puasa datang, dan tak ada sosok yang selalu tersenyum manis disaat menyiapkan hidangan berbuka puasa. Ah, Senja amat merindukan sang bunda, mutiaranya itu.
Ia teringat saat-saat Ramadan tahun lalu, ketika banyaknya ajakan buka bersama dengan teman-teman baik dari teman semasa SMP maupun SMA, hampir seperempat Ramadan Ia habiskan untuk menghadiri ajakan-ajakan tersebut. Seringkali Ia abai dengan alasan bosan buka puasa di rumah ketika sang bunda melarangnya untuk pergi. Tidak hanya itu, saat sang bunda membangunkannya untuk sahur dan Ia yang tak kunjung bangun dari kasur, Senja amat merindukan saat-saat itu. Jika diingatnya saat ini, penyesalan itu muncul. Rasa bersalah karena mengabaikan sang bunda dan semua makanan serta minuman yang sudah disiapkannya untuk berbuka puasa.
“Andai lebih banyak kuhabiskan waktu untuk berbuka puasa bersama bunda, andai tak kuabaikan semua ucapannya, ajakannya, senyumnya, dan wajah khawatirnya…” ucapnya sambil terisak.
“Tuhan, andai tak ku abaikan waktu berharga yang kau berikan bersama bunda..” ucapnya sambil tersenyum getir menyadari bahwa penyesalan selalu datang belakangan dan tak mungkin waktu dapat diulang kembali.
Saat ini waktu terus berjalan, tak ingin Ia sia-siakan lagi waktu berharga bersama sang ayah, baginya cukup mutiaranya yang harus Ia relakan dengan penyesalan yang membayangi. Sedikit waktu yang bisa Ia habiskan bersama sang ayah tak akan Ia sia-siakan. Menjalani kehidupan menuju dewasa tanpa sang bunda amat sulit baginya, namun dunianya harus tetap berjalan dengan tawa walau terbayang luka.
Bagaimanapun, Senja amat mensyukuri Ramadan kali ini dan berusaha memaksimalkan perannya sebagai hamba sekaligus anak yang beranjak dewasa. Ia harus kuat dan mampu menata dunianya agar penyesalan tak datang dua kali.
Penulis : Shela UNJ