Majalah Sunday

Pertemuan

Pagi itu Fadhil terbangun dari mimpi tidurnya yang aneh, ia melihat sesosok pria yang persis seperti ayahnya menghilang di tengah kabut putih pekat. Dan Fadhil kembali teringat dengan ayahnya yang di penjara karena kasus kesalahpahaman yang menjebloskan ayahnya masuk ke balik jeruji besi nan dingin tersebut. Namun, sampai saat ini pun Fadhil tidak pernah tahu dimana tempat ayahnya di penjara, karena Ibunda Fadhil kecewa dengan Ayahnya dan merahasiakan tempat Ayahnya berada.

Selesai sholat subuh,Fadhil termenung dan memikirkan tentang mimpi aneh yang melandanya, ia bertanya–tanya pada dirinya apa yang seharusnya dilakukan… Apakah ia harus mencari ayahnya nanti sepulang sekolah? Atau tidak… setelah memikirkan kata sekolah, tiba–tiba Fadhil teringat dengan kegiatan kunjungan sekolah ke rumah tahanan di Kalisari, ia baru tersadar kalau kegiatan tersebut dilaksanakan hari ini. Fadhil beranjak dari kasur untuk bersiap diri memulai petualangannya di kegiatan sekolah yang menunggu.

Seperti biasa, Ibu Fadhil selalu membuatkan nasi goreng untuk sarapan Fadhil sebelum berangkat menuju sekolahnya. Tak lupa Fadhil pasti berterima kasih dengan menghabiskan nasi goreng buatan ibu dengan bersih tidak tersisa sebutir nasi pun di piringnya. 

Sesudah makan Fadhil memberi tahu ibunya jika hari ini ia akan ada kegiatan sekolah mengunjungi rumah tahanan di Kalisari. Sentak raut wajah ibu Fadhil kaget dan tidak percaya, namun ibunda Fadhil tetap bersikap seperti biasa di depan anaknya.

“Assalamualaikum Ibu… Fadhil berangkat ya…” salam yang diiringi ciuman ke pipi Ibundanya.

Seperti biasanya, Fadhil selalu berangkat diantar oleh Bang Udin seorang tukang ojek langganan Fadhil yang setia mengantarnya ke sekolah setiap pagi.

Dalam perjalanan, Fadhil selalu teringat dengan mimpi yang dia alami. Seakan–akan dia merasa itu sebuah jawaban kecil untuk apa yang akan terjadi hari ini. Tapi Fadhil tetap tidak percaya dengan mimpinya, dan menganggap itu adalah mimpi yang biasa saja.

Bang Udin, si tukang ojek yang setiap hari mengantar Fadhil berangkat sekolah, berhenti tepat di depan gerbang sekolah dan menepuk kaki Fadhil yang sedang bengong entah merenungkan apa.

“Eh dhil… bangun udah maghrib” canda bang Udin 

“Oh iya iya lupa saya bang kalo udah nyampe hehe” ujar Fadhil sambil tertawa karena malu

Sesampainya Fadhil di kelas, sahabat sebangku Fadhil yaitu Ken sudah menunggunya dan tidak sabar untuk mengikuti rangkaian kegiatan kunjungan sekolah.

“Dhil… gila, gue udah ga sabar banget sih buat kunjungan nanti” ujar Ken kepada Fadhil yang baru saja duduk.

“Ken.. Ken.. Gue juga baru nyampe ini, udah ngomongin itu aja” Sembari duduk Fadhil menjawab ocehan Ken.

“Hehehe… maklum dhil, sekolah kita kan jarang banget buat kunjungan kayak gini” jawab Ken sambil tertawa dan menepuk pundak Fadhil.

Setelah menunggu Pak Guru datang dengan obrolan seru Fadhil dengan Ken, akhirnya selang beberapa lama Pak Guru datang dan mengajak para muridnya bersiap untuk perjalanan menuju rumah tahanan di Kalisari. 

Fadhil kembali bengong sambil melihat ke arah luar jendela bus dimana mobil–mobil melaju pelan. Ken yang duduk di sebelahnya merasa aneh dengan tingkahnya, yang biasanya Fadhil berkepribadian asik, hari ini Ken melihat Fadhil dengan sikap yang aneh karena tidak seperti biasanya. Ken penasaran dengan sikap Fadhil. Namun, karena Ken tidak ingin ikut campur dengan urusan Fadhil, akhirnya dia membatalkan niatnya untuk bertanya masalah apa yang dialami oleh sahabatnya tersebut.

Bus yang membawa rombongan murid pun sampai di lokasi. Hawa yang diperbincangkan oleh murid–murid bahwa rumah tahanan yang dirumorkan ganas dan kejam, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasinya. Nyatanya para penghuni rumah tahanan justru malah sangat bersahabat dengan tamu yang datang ke tempatnya. Begitu pun Fadhil yang sejak berangkat sekolah selalu terdiam dan bengong memikirkan mimpi terus menerus, ia kagum dengan para tahanan yang sangat ramah dengan teman–temannya.

Dari arah berlawanan. Seorang pria, tinggi, memiliki rambut lurus dan rapi, berpakaian baju tahanan, dan tak asing bagi Fadhil. Fadhil yang terkejut melihatnya sempat terdiam sejenak dan mengira–ngira siapa kah yang dia lihat itu? Apakah nyata? Atau hanya halusinasinya saja? 

Fadhil meminta Ken untuk menyubit tangannya dengan keras, dengan senang hati sahabatnya Ken pun menyubitnya dengan keras bahkan sampai Fadhil benar–benar merasakan sakit. Ken tertawa melihat sahabatnya meminta permintaan yang aneh kepadanya. Lalu Fadhil lari menuju Pak Guru yang berada di barisan paling depan. Ken melongo melihat tingkah Fadhil yang makin menjadi–jadi anehnya.

Dengan nafas yang tergesa–gesa, Fadhil meminta izin kepada Pak Guru untuk menemui seseorang penghuni rumah tahanan yang ingin ditemuinya. Dengan raut wajah serius, Fadhil seakan–akan terlihat memaksa Pak Guru dan berharap permintaannya ini dapat dikabulkan. Pak Guru pun mengizinkan permintaan Fadhil. 

Fadhil berlari ke arah sang Pria tersebut dan berhenti tepat di depan tempat Pria tersebut berdiri. Yak… benar… Itu adalah Ayah Fadhil….

Sekian lama penantian Fadhil, keinginan Fadhil, rasa rindu Fadhil. Terbalaskan semua dengan pelukan erat dari seorang Ayah kepada anaknya. 

Pak guru, teman – teman kelas Fadhil, bahkan Ken kaget dan bingung. Dengan siapa Fadhil bertemu seseorang. Pak guru pun mendekat untuk mengetahui siapa yang ditemui oleh Fadhil.

Pelan–pelan Fadhil dan Ayahnya melepaskan pelukan hangat tersebut, dan Ayah Fadhil memegang pundak anaknya dengan erat. Perlahan ia mengeluarkan air mata, air mata yang tulus dari tegasnya seorang Ayah kepada anaknya. Air mata tesebut seakan mengatakan sepotong permintaan kepada sang anak.

“Fadhil… kamu sudah besar ya sekarang…”  Kata Ayah

“Iya Yah” sambil meneteskan air mata

“Gimana kabar ibu di rumah ? kamu jaga kan ?” Tanya Ayah

“Pasti” jawab Fadhil

“Mungkin kita ga bisa lama–lama, tapi ayah mau ngasih tau semuanya ke kamu… sejujurnya ini adalah sebuah doa ayah agar dipertemukan sama Fadhil disini… ini permintaan ayah sejak lama… ayah Cuma ingin minta sama kamu dhil… jaga Ibu ya” ujar Ayah

Tak lama kemudian petugas rumah tahanan membawa Ayah Fadhil untuk masuk ke sel tahanannya. Ayah Fadhil tersenyum kepada Fadhil yang seakan senyuman tersebut adalah bukti bahwa permintaanya tadi adalah permintaan terakhirnya. Fadhil menangis dan mengangguk mengiyakan permintaan sang Ayah. Pak Guru yang ikut menangis pun mendekati Fadhil dan menepuk pundaknya dengan maksud menguatkan hati Fadhil agar sabar. Sahabat Fadhil, Ken berlari menghampiri Fadhil untuk memeluknya agar menguatkan hati Fadhil. Teman–teman Fadhil ikut menyemangatinya. 

 

~~~

Besoknya, sekolah libur. Fadhil menceritakan semua yang terjadi kepada ibunya, bahwa dia bertemu dengan Ayah. Ibu Fadhil yang merasa bersalah setelah mendengar cerita dari Fadhil, akhirnya ia berinisiatif untuk mengunjungi suaminya di rumah tahanan, dengan niat meminta maaf atas semua yang dilakukannya kepada Fadhil karena sudah merahasiakan kebaradaannya dan juga mencampakkannya.

Tiba–tiba dering telepon rumah bergetar, Fadhil mengangkat teleponnya. Beberapa detik setelah suara yang keluar dari telepon tersebut memberitahu apa yang terjadi. Fadhil melepas telepon yang ia pegang dan terdiam seperti patung, air mata mulai mengalir dari matanya dan dia menatap ibunya.

“Ayah… meninggal,” kata Fadhil sambil memeluk ibunya dan berlinang air mata.

-SELESAI-

 

Fais Fadhila – Universitas Negeri Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?