Majalah Sunday

Nella Fantasia (Bagian 5)

Gadis berkaki rusa dengan kumpulan manusia serigala seakan sudah berpadu tanpa ragu. Mereka diselimuti oleh kepentingannya masing-masing. Hangat memang, namun kondisi itu bukan belaian agar terlelap, melainkan perintah untuk bersiaga. Mata mereka harus tetap terbuka. Pikiran mereka harus diisi oleh segudang rencana.

“Medela, Anjo, dan kau Enola. Maukah kalian ikut denganku ke pesta yang diadakan Kerajaan Moon?” Sunrise mengajak pimpinan Iris.

Tak terdengar perlawanan dari mereka. Terkecuali, Medela.

“Pesta? Apa itu artinya aku harus memakai gaun ditambah sepatu hak tinggi?” Tercengang. Itulah ekspresi yang tergambar di wajahnya.

“Ya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kau harus berpenampilan layaknya bagian dari tamu kerajaan. Penyamaran adalah gerbang bagi kita. Jika kita berhasil pada tahap ini, semakin dekat langkah kita untuk menyentuh jantung Kerajaan Moon.” Sunrise kembali meyakinkan pasukannya.

Gaun pesta yang mewah, serta sepatu berhak tinggi bukanlah kawan bagi Medela. Rasa sakit ketika kakinya terkilir masih membekas di ingatannya. Apa jadinya kalau kejadian pahit itu harus terulang kembali? Tetapi kali ini, tak ada pilihan lain baginya selain mencoba bersahabat dengan itu semua. Setidaknya untuk satu malam saja.

“Lantas apa rencanamu?” Anjo menodongkan pertanyaan kepada Sunrise.

“Penyamaran, pengecohan, lalu pembebasan.” Jawabnya.

Tiga kata sederhana, yang membutuhkan perjuangan dalam mewujudkannya. Sunrise sangat ingin melakukan semuanya seorang diri, supaya tidak melibatkan satu pun rakyatnya dalam pertarungan. Tapi… Mustahil melawan kekuatan benteng Kerajaan Moon sendirian tanpa teman. Memiliki tekad sekuat baja dirasa masih kurang, karena musuh dapat menekannya sekuat grafena.

***

Tiba pada malam yang dinanti-nantikan. Kerajaan Moon menjadi sentra perhatian dari segala penjuru kerajaan. Dipinggir danau terlihat puluhan lampion yang siap diterbangkan. Batang pepohonan dikalungkan untaian lampu hias, mungkin cahayanya bisa terlihat hingga ke pulau seberang.

Para tamu berdatangan dengan kereta kudanya. Pakaian, sepatu, maupun aksesori menjadi sarana untuk pamer kekayaan. Sunrise, Medela, dan Enola tampil sepadan. Mereka tampak anggun, sehingga berkamuflase dengan para tamu lain adalah hal yang mudah. Anjo tak kalah menawan, penampilannya malam itu sebelas dua belas seperti Don Juan. Mereka beriringan menaiki anak tangga menuju pintu masuk istana. Semakin mendekat, kepanikan semakin menguasai diri mereka. “Cobalah ingat tujuan kita. Bayangkan apabila nanti hasilnya seindah yang telah diekspektasikan.” Sunrise mencoba memantik semangat kawanannya.

“Ayah” hanya itu yang terbesit dipikiran Medela. Sosok yang telah direnggut oleh Kerajaan Moon secara paksa, tanpa aba-aba atau persetujuan dari keluarganya. Medela tak akan membiarkan ibunya meneguk air mata kepiluan lagi. Tidak akan. Itulah janjinya.

“Kita pasti bisa!” Sunrise mengucapkan sepatah mantra. Seketika api semangat mulai berkobar kembali, setelah satu setengah jam sempat padam akibat diguyur ketakutan.

Mereka sudah memasuki istana Kerajaan Moon. Ruangan disesaki oleh lautan manusia. Mereka nyaris tenggelam di dalamnya. Mengapa orang lain betah berlama-lama di ruangan pengap ini? Tak ada lubang udara yang cukup. Sadar atau tidak, dari tadi para tamu hanya bertukar napas dengan tamu lain karena terkepung di satu rongga bangunan yang sama. Menjijikan.

Indra penglihatan Medela, Anjo, dan Enola tak henti-hentinya memandangi tiap sudut istana. Matanya menjelajah ke segala arah. Bisa jadi, ini merupakan cara mereka untuk beradaptasi.

Saat pertama kali menginjakan kaki di tanah lawan, Sunrise juga melakukan hal yang sama. Kejadian itu berlangsung sekitar sepuluh tahun lalu. Ia kagum bukan kepalang dengan ornamen yang ada dalam istana Kerajaan Moon. Dahulu, taman belakang adalah tempat favoritnya. Disana terdapat tebing air terjun penghasil gemercik air. Selain itu, disana juga terdapat benteng pertahanan yang menjulang kokoh. Sunrise selalu menggunakan tempat itu untuk bersembunyi dari sahabat-sahabatnya, ketika bermain permainan ‘Temukan Aku’. Benteng itu cukup tinggi. Untuk mencapai puncaknya, puluhan anak tangga harus dilewati. Sunrise lupa berapa jumlah pastinya, tetapi tangga itu berhasil membuat siapapun yang melintasinya sesak napas. Sungguh layak dijadikan tempat persembunyian, kan?

“Enola, tugasmu adalah memancing perhatian para penjaga tawanan yang ada di ruang bawah tanah. Kau bisa melakukan apapun. Pura-pura tersesat, misalnya. Kemudian kau minta bantuannya untuk diantarkan kembali ke ruangan pesta. Setelah itu, kita harus berpisah. Kau boleh pergi meninggalkan kami.” Ucap Sunrise. “Ketika Enola beraksi, kita harus membobol dan mengeluarkan para tawanan secepat kilat.”

Perwakilan manusia serigala itu dengan kompak menganggukan kepalanya, tanda mereka paham akan intruksi yang diberikan.

Mereka mulai berjalan menyusuri koridor istana. Sunrise menjadi pemandu pada wisata pembebasan kali ini. Ingatannya masih kuat. Ia masih hafal dengan tiap inci istana Kerajaan Moon. “Masih seperti dulu.” Gumamnya dalam hati. Tak ada yang berubah, kecuali para penghuninya.

Penampakan depan istana berbanding terbalik dengan yang dibelakang. Depan istana dipasangkan lampu sebegitu terangnya. Pijarnya dapat mengiris pupil mata. Namun di belakang, keremangan tak dapat dihindari. Mereka bak kumpulan orang buta yang tak bisa melihat apapun. Bahkan tak bisa melihat bayangannya sendiri. Bayangannya hilang, dimakan kegelapan.

Tetap santai dan bertingkah seolah sedang tidak melakukan suatu misi adalah kunci ketenangan. Hingga sejauh ini, langkah mereka belum terhentikan oleh petugas kerajaan.

***

Ketika sampai di destinasi, Enola lebih dulu beraksi. Syukurlah kenyataan berjalan sesuai harapan. Enola mampu mengelabui penjaga berseragam besi dengan mudah. Ternyata, kemampuan aktingnya sekelas bintang telenovela.

Sunrise, Medela, dan Anjo harus melanjutkan agenda berikutnya. Mereka berhasil berdiri di depan pintu besi. Melalui lubang persegi, Medela menyipitkan matanya. Ia memastikan bahwa di balik pintu terdapat Ayahnya, Moree.

“AYAH!” Suara Medela menggema di ruangan berdebu itu. Menggelegar, memecah kerumunan tahanan yang sedang tertidur pulas. Rindu yang selama ini dibendung, ia tumpahkan. Moree dengan sigap menghampiri buah hatinya, walau raga mereka belum sepenuhnya menyatu dalam pelukan. “Ayah. Lima tahun lalu, kau sangat ingin melihatku menghadiri pesta kerajaan dengan tampilan yang memikat. Sekarang Ayah lihat, aku mengikuti pesta Kerajaan Moon walau sesaat. Tubuhku dibalut gaun pesta, kakiku ditopang sepatu kaca.” Terjadi pertumpahan air mata di antara mereka. Selama adegan itu berlangsung, Anjo berusaha membobol gembok dengan kawat yang sudah disiapkan.

“Waktu kita tak banyak. Kita harus pergi, sebelum para penjaga datang kemari.” Anjo memperingati.

“Penjaga tawanan pernah berbicara mengenai jalan rahasia. Letaknya di ujung lorong bawah tanah. Jalan itu digunakan sebagai akses keluar masuk anggota kerajaan jika ditimpa keadaan darurat. Ayo kita kesana!” Ungkap Moree. Beruntung, masih ada secercah harapan untuk meloloskan diri. Mereka melangkah dengan hati-hati. Pergerakannya cepat, namun cermat dalam membaca situasi. Tembok istana dijadikan tameng untuk menyembunyikan tubuh dari incaran mangsa.

Tiba-tiba, dari arah belakang ada yang menepuk pundak Sunrise.

“Untuk masuk ke istana Kerajaan Moon memang sangatlah mudah. Tapi untuk keluar? Entahlah. Mungkin kau butuh bantuanku.” Lelaki bertubuh tegap nan gagah membuka pembicaraan. Seluruh pasukan kewalahan. Wajah lelaki itu tak sepenuhnya terlihat. Cahaya bulan belum cukup menyinarinya.

“Benteng tua itu merindukanmu. Begitu pun aku.” Imbuhnya.

…bersambung ke part 6.

Oleh: Nelin Novalin, Universitas Negeri Jakarta.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?