Majalah Sunday

Dinding yang Ikut Bergetar; Meneriaki Kebodohan (Seri Benda Mati #1)

Aku lelah, mendengar kalimat-kalimat itu berulang kali, teriakkan yang memekakkan hingga membuatku ikut bergetar oleh emosi yang ia ciptakan. Jika bisa, aku ingin sekali ikut berteriak, mengatakan, “Bodoh!”

Sudah tahu apa yang diperbuatnya salah, dan akan menyakiti dirinya sendiri. Lalu kenapa masih saja dilakukan, secara berulang-ulang? Menangis, berteriak, sendirian. Apa tidak kasihan pada suaranya yang akan habis nantinya?

Pergi dengan wajah penuh senyum, walau kutahu itu juga penuh kepalsuan, tapi tak apa, aku menghargai itu. Setidaknya ia sudah berusaha, walau nyatanya, di depanku semua itu percuma.

Lalu pulang dengan wajah yang basah penuh air mata, tangan mengepal menepuk dada berulang kali, yang kurasa untuk menghilangkan rasa sesak, dan itu adalah hal percuma, karena sesak itu tak akan pernah hilang dengan cara bodoh seperti itu.

Memukul sesuatu yang sedang sakit. Bukankah itu akan menambah rasa sakit? Bukan menguranginya.

Dasar manusia bodoh!

Yang seharusnya kamu lakukan adalah mengobati. Bukan memukulnya dan berakhir menambah luka. Ingin sekali aku berteriak mengatakannya, jika bisa. Tapi, aku harus tetap menerima sebuah kenyataan bahwa aku hanyalah seonggok benda mati yang tak bisa bersuara. Sial! Lagi-lagi aku mengakui kekuranganku.

Bukankah lebih baik seperti itu? Daripada mereka yang diberi kelebihan berlimpah, tapi tidak tahu cara menggunakannya dengan benar. Kurasa walau aku tak diberi otak untuk berpikir, aku tak pernah menyakiti diriku sendiri, dengan melakukan hal yang salah berulang kali, dibanding mereka yang digadang-gadang sebagai makhluk paling sempurna itu. Miris!

Tunggu! Dia sekarang sedang tertawa keras. Apakah ia sedang menertawakan kebodohannya sendiri? Ah, sepertinya begitu. Karena sekarang aku mulai bergetar, mendengar tangisannya yang meraung-raung, seolah marah pada dirinya sendiri. Atau, pada kebodohannya selama ini?

Jika saja aku bisa menepuk pundaknya, dan menguatkannya, pasti tidak akan aku lakukan. Iya, tidak akan! Buat apa? Nanti dia malah semakin bodoh dan terus melakukan kesalahan yang sama. Manusia seperti dia itu seharusnya disadarkan dengan suara lantang penuh cacian yang menggores egonya, lalu menyentil hatinya. Supaya sadar. Tapi rasanya percuma.

Kebodohannya sudah mendarah daging, sampai otaknya yang tidak seberapa itu semakin susah digunakan untuk berpikir.

 

Puja Sindia
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?