Majalah Sunday

ALICE – TEMAN KHAYALAN

Adhisti hanya bisa menahan tangis saat hakim memukul palunya menandakan kedua orangtuanya resmi bercerai. Hasil sidang memutuskan bahwa Dhisti akan tinggal bersama sang bunda, sedangkan kakak perempuannya akan ikut sang ayah. Dengan gontai Dhisti menghampiri sang ibu yang sedang berbicara dengan pengacaranya.

“Ayo, sayang kita pulang” Bunda Dhisti menggandeng tangan putrinya yang masih termenung.

Jika boleh jujur, Dhisti merasa hancur saat tahu bunda dan ayahnya memutuskan bercerai. Andhini, kakak perempuan Dhisti hanya bisa menenangkan dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

“Dhisti kenapa kok melamun? Oh iya Dhis, Bunda baru inget ngasih tau kamu kalau besok kita akan pindah ke Kalimantan”

“Kenapa mendadak? Sekolah Dhisti gimana?”

“Kamu tenang aja, bunda udah urus kepindahan mu jadi besok kita tinggal berangkat aja dan maaf bunda baru bilang sekarang soalnya kemarin hectic banget jadi baru sempat bilang kamu”

Dhisti pun tidak menyahut dan memutuskan melihat jalanan. Dhisti tidak pernah membayangkan keluarga nya akan berpisah, Dhisti tinggal dengan bundanya dan Dhini tinggal dengan sang ayah. Dhisti sangat menyayangi sang kakak dan tidak bisa dibayangkan bagaimana Dhisti harus hidup tanpa Andhini.

Keluarga Dhisti merupakan keluarga bahagia sebelum akhirnya sang bunda dan ayahnya sering bertengkar. Dhisti tidak tahu apa yang membuat kedua orang tuanya bertengkar, yang Dhisti tahu sang ayah seringkali meneriaki bundanya yang sering pulang malam dengan alasan lembur. Enam bulan berlalu, akhirnya orang tuanya memutuskan untuk bercerai menyisakan Dhisti dan Dhini yang bingung akan keadaan dan hanya bisa memilih salah satu diantara orangtua mereka.

 

Esok hari pun tiba, Dhisti telah menginjak tanah Kalimantan. Rumahnya cukup besar untuk ditinggali dua orang, dengan dikelilingi banyak tanaman serta pohon disekitar jalan membuat rumah tersebut terlihat asri. Belum lagi jalanan yang sepi membuat Dhisti menyukai rumah barunya. Dhisti langsung menuju kamar dan membereskan pakaiannya ke dalam lemari di kamar itu. Setelah selesai Dhisti mengunci pintu dan terbaring diranjang sambil meratapi kehidupannya. Dari kecil Dhisti hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, walaupun kehidupan pertemanan Dhisti tidak membahagiakan namun setidaknya Dhisti mempunyai rumahnya untuk bersinggah. Dhisti kerap kali dijadikan bahan bully oleh teman-temannya di sekolah namun Dhisti tidak pernah memberitahukan keluarganya karena takut akan merusak suasana hangat keluarganya. Jujur saat sang bunda berkata bahwa mereka akan pindah ke Kalimantan membuat perasaan Dhisti sedikit senang karena ia akan meninggalkan sekolah serta kenangan buruk yang selalu Dhisti rasakan. Tanpa disuruh, air mata Dhisti perlahan menetes mengiringi ingatan masa lalu yang menyedihkan kini akan tambah menyedihkan karena keluarganya yang sudah tidak utuh serta Dhisti yang harus berpisah dengan Dhini, kakak perempuan yang sudah Dhisti anggap sebagai teman satu-satunya. Setelah capek menangis, Dhisti pun perlahan memejamkan matanya dan terlelap tidur.

 

Malam pun tiba, Dhisti duduk termenung di teras rumah dengan ditemani secangkir coklat panas dan pemandangan langit malam. Bunda nya sedang ke kantor untuk mengurus beberapa berkas kepindahannya sehingga hanya menyisakan seorang Dhisti dirumah. Tiba-tiba angin berhembus menimbulkan hawa yang semakin mendingin, Dhisti sedang asik menyeruput coklat panasnya pun harus berhenti dan meletakkan cangkirnya ke meja samping tubuhnya. Netra Dhisti tidak sengaja melihat sosok gadis berjalan di depan rumahnya, dilihat dari figur tubuh gadis itu berusia tidak jauh darinya atau mungkin mereka seusia? Tanpa sadar Dhisti pun menyapa gadis tersebut dan mencoba untuk menyapa.

“Halo, aku Adhisti tapi kamu bisa panggil aku Dhisti. Aku warga baru disini, salam kenal ya!” Dhisti dengan antusias mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Mengajak orang lain untuk berkenalan lebih dulu merupakan hal aneh bagi Dhisti karena Dhisti itu introvert dan tidak mudah bergaul jadi sangat langka untuk Dhisti memulai pertemanan, biasanya Dhisti yang akan diajak berkenalan lebih dulu namun biasanya berakhir begitu saja karena sifat tertutupnya. Selain itu, kenangan saat ia di bully di sekolah makin membuat Dhisti takut untuk mengajak orang berkenalan.

“Namaku Alice, salam kenal juga” Alice menjabat tangan Dhisti.

Setelah berkenalan Dhisti mengajak Alice untuk singgah di rumahnya untuk sekedar berbincang-bincang. Menurut Dhisti, Alice sepertinya anak yang baik belum lagi paras cantik Alice seakan menghipnotis Dhisti sehingga semakin membuat Dhisti yakin jika Alice anak baik. Tidak terasa jarum jam menunjukkan angka 10 waktu setempat, dengan tergesa Alice izin pamit. Setelah membuat janji untuk bermain lagi Alice meninggalkan pekarangan rumah Dhisti dan tidak lama suara mobil bunda Dhisti pun terdengar memasuki pekarangan rumah. Bunda Dhisti keluar dan disambut wajah cantik sang putri, namun agaknya bunda sedikit bingung saat melihat Dhisti berdiri sendirian di pekarangan rumah mereka.

“Dhisti ngapain di luar?”

“Tadi Dhisti baru dapet teman baru, baru saja anaknya pulang pas bunda nyampe. Bunda harus liat teman baru Dhisti, anaknya cantik banget tau bun”

Bunda tidak tau harus bereaksi seperti apa, karena dari sebelum sampai bunda sempat memberhentikan mobilnya karena melihat Dhisti membuka pagar dan terlihat berdiri sendiri sampai akhirnya melambaikan tangannya. Melihat Dhisti masuk ke rumah bunda segera menancap gas menuju rumah.

 

Hari tambah hari Dhisti mulai bisa bangkit dari keterpurukannya, Dhisti juga merasa sangat bahagia karena mempunyai Alice untuk menemani Dhisti sehabis pulang sekolah. Bunda yang terus mendengarkan rentetan cerita Dhisti yang begitu antusias saat membahas Alice pun dibuat heran karena sebelumnya Dhisti tidak pernah membahas temannya. Dhisti selalu berusaha untuk mengajak Alice berkenalan dengan sang bunda tetapi Alice selalu pulang sebelum bundanya tiba dirumah. Karena rasa penasaran dengan sosok Alice, diam-diam bunda memasang cctv di beberapa titik rumah dengan maksud memantau Alice dan mencari tahu sosok Alice sesungguhnya. Sayangnya, bunda malah dibuat takut saat melihat hasil cctv yang hanya menampilkan sosok Dhisti melakukan segala sesuatu. Tidak ada sosok Alice pada cuplikan cctv. Mendapati kejanggalan pada anak bungsunya, bunda pun memutuskan untuk cuti hanya untuk memastikan sosok Alice tetapi sayangnya Alice tidak berkunjung kerumah Dhisti.

Sudah tiga hari cuti namun sosok Alice tetap tidak menunjukkan batang hidungnya di kediaman Dhisti. Saat ditanya tentang Alice pun Dhisti tidak bisa menjawab dan hanya terdiam. Bunda berinisiatif untuk mengunjungi para tetangga sekedar menanyakan tentang Alice tapi.

“Selama dua puluh tahun saya tinggal disini nggak ada tuh nama Alice disini” ujar bu Danum dengan yakin “mungkin anak kamu salah orang? Karena saya kenal semua warga sini jadi tidak ada yang namanya Alice”

Setelah mendengarkan penjelasan bu Danum, bunda segera pulang untuk menemui Dhisti.

“Eh bunda sudah pulang? Padahal baru saja Alice berkunjung loh!”

Bunda hanya bisa tersenyum lalu langsung menuju kamar untuk melihat hasil cctv, namun tetap tidak ada siapapun selain sosok Dhisti dalam video cctv. Bunda semakin dibuat bingung dengan sosok Alice, apakah Alice ini betulan nyata? Atau……

“Adhisti,” bunda menghampiri Dhisti yang sedang duduk di kursi belajarnya, nampaknya Dhisti sedang mengerjakan tugas sekolah.

“Iya, Bund?”

Can you tell me about Alice? Bunda jadi penasaran sama Alice padahal tiga hari ini bunda ga ngantor karena penasaran sama Alice loh…”

“Eh? Alice tuh dari segi fisik cantik Bund, lebih tinggi dikit daripada Dhisti, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam lurus sepunggung, selain cantik Alice juga baik banget sama Dhisti, selalu nemenin Dhisti bahkan mau dengerin segala keluh kesah Dhisti. Semenjak ada Alice, Dhisti jadi ngerasa hidup Dhisti berwarna lagi. Kalau boleh jujur sejak bunda sama ayah sering berantem hidup Dhisti jadi gak jelas, Dhisti ngerasa sendiri apalagi mbak Dhini jadi sering pulang malam bahkan sering nginep padahal cuman mbak Dhini harapan Dhisti saat ayah sama bunda berantem.”

Bunda berusaha menahan tangisnya, mendengar penjelasan Dhisti membuat bunda tersadar bahwa selama ini Dhisti menahan rasa sakitnya sendirian, dan bunda sadar bahwa dirinya sering melupakan Dhisti.

“Dhisti, besok ikut bunda ya Nak…”

“Kemana? Besok Alice janji sama Dhisti buat ke pantai, kata Alice dekat sini ada pantai dengan pemandangan bagus Bund!”

“Besok ikut Bunda dulu, ke pantainya lusa saja. Ok?”

Dengan berat hati Dhisti mengiyakan ajakan bundanya dan akan menjelaskan alasan Dhisti membatalkan rencana mereka. Omong-omong Dhisti tidak mempunyai nomor handphone Alice bahkan Dhisti tidak tau dimana Alice tinggal.

 

Keesokannya, Dhisti telah siap ikut bundanya, tetapi Dhisti memohon agar menunggu Alice sekedar untuk membatalkan rencana mereka. Dhisti dan Alice berencana akan ke pantai pukul sembilan pagi namun sampai pukul 11 Alice tidak menampakkan dirinya. Dengan berat hati Dhisti ikut dengan sang bunda.

Dhisti heran saat mobil bunda berhenti di rumah sakit, “apakah ada yang sakit? Atau bunda lagi sakit?” pikiran Dhisti terus bertanya tanya alasan sang bunda mengajak Dhisti ke rumah sakit dan membuat rencana Dhisti gagal.

Dhisti semakin bingung saat sang bunda mengajak Dhisti ke bagian psikologi. “Bund kita mau ngapain ke psikolog?” bukannya menjawab bunda semakin menggenggam tangan Dhisti dan mengajak Dhisti masuk ke ruangan tersebut.

“Selamat siang Bu Arini, ini pasti yang namanya Adhisti ya?” ucap psikolog dengan papan nama Winda Safitri di meja

“Dhisti, kenalkan ini namanya ibu Winda, ibu Winda yang akan membantu kamu. Sebelumnya bunda mau bilang bahwa Alice itu nggak ada, Alice itu cuman halusinasi kamu, Nak…”

“Bunda apaan sih? Jelas-jelas itu nyata. Alice ga mungkin cuman halusinasi ku kok, dari awal kita tinggal disini Alice yang selalu menemani saat bunda nggak ada” Dhisti mulai menangis, merasakan sakit saat bundanya mengatakan bahwa Alice tidak nyata. Dhisti 100% yakin jika Alice sungguh ada karena selama ini sosok Alice selalu menemani kesendiriannya.

“Dengarin bunda, hampir seminggu ini bunda pasang cctv di rumah kita dan kamu harus tau bahwa tidak ada satupun sosok Alice muncul di cctv. Alice itu tidak pernah ada, Adhisti!”

“Alice itu nyata bund! Besok Dhisti akan kenalin Alice ke bunda ya, sekarang kita pulang ya bund Dhisti tidak mau disini. Dhisti tidak gila bund!” Dhisti mulai menangis histeris dan terus menarik-narik tangan bundanya agar meninggalkan tempat sialan ini.

Ibu Winda yang melihat Dhisti histeris berusaha untuk menenangkan. Bahkan ibu Winda mulai menghubungi dokter Chandra yang bertugas di bagian kejiwaan di rumah sakit ini untuk membantu menenangkan Dhisti. Setelah hampir 1 jam Dhisti pun mulai tenang dan dibawa ke ruang rawat inap. Bunda Dhisti pun mengobrol dan membahas keadaan anak bungsunya kepada sang dokter, menjelaskan tentang sosok Alice yang selalu Dhisti ceritakan secara antusias pada sang bunda.

“Sepertinya Alice itu teman imajiner yang muncul karena tekanan dalam hidup Dhisti, tadi ibu bilang kalau selama ini Dhisti tidak pernah menceritakan tentang teman jadi mungkin saja saat sekolah Dhisti memang tidak punya teman ditambah perceraian orangtua sehingga menyebabkan Dhisti membuat teman imajinasi nya sendiri untuk menemani Dhisti mengurangi tekanan yang Dhisti rasakan”

Bunda yang mendengar penjelasan dokter tersebut hanya bisa terdiam mencerna penjelasan. Seberat itukah yang Dhisti rasakan? Bagaimana mungkin anak bungsunya merasakan itu semua? Bunda merasa gagal menjadi ibu untuk anak bungsunya. Dengan gontai bunda pamit kepada dokter untuk menemui Dhisti. Bunda masuk kedalam ruang rawat Dhisti, ditatap wajah terkulai Dhisti dengan perasaan campur aduk.

Tidak lama Dhisti tersadar, Dhisti melihat kearah jendela dan tidak sengaja netranya menangkap sosok Alice dengan balutan dress selutut warna putih.

“Bund, itu Alice, Bund!” Dengan histeris Dhisti menunjuk keberadaan Alice kepada bundanya. Bunda memperhatikan arah yang Dhisti tunjuk tapi ia tidak melihat makhluk apapun hanya ada bunga indah menghiasi jendela.

“Nggak ada siapapun di sana, Dhis…”

“Bunda lihat lagi! Jelas jelas Alice ada dibalik jendela itu, lihat Alice senyum ke Dhisti bund. Senyum Alice cantik banget bund, Dhisti yakin Alice mau ajak Dhisti pergi ke pantai jadi ayo kita pulang, Bund…” tangisan Dhisti terdengar.

Dhisti berusaha kabur namun masih kalah cepat dengan bunda yang menahan lengan Dhisti. Dengan sekuat tenaga bunda berusaha memencet bel untuk memanggil staf rumah sakit. Dengan segera para perawat rumah sakit menangani Dhisti dan menenangkan Dhisti. dokter Chandra segera masuk ke ruangan Dhisti saat salah satu perawat memberi tahu keadaan Dhisti. Dokter Chandra mulai memeriksa keadaan Dhisti, keadaan Dhisti sudah lebih tenang setelah para perawat tersebut menenangkan Dhisti.

Tidak sanggup melihat keadaan Dhisti, bunda memilih keluar ruangan untuk menghubungi Andhini dan ayah Dhisti menjelaskan keadaan Dhisti serta tentang Alice si teman khayalan Dhisti. Andhini dan ayah pun terkejut mendengar keadaan Dhisti terlebih Dhini yang tidak menyangka adik semata wayangnya harus mengalami ini semua. Dhini memaksa ibunya untuk kembali ke Bandung bersama Dhisti agar Dhini bisa menemani Dhisti dan membantu kesembuhan Dhisti.

Pada akhirnya, Dhisti menjalani perawatan intensif di Jakarta sedangkan bunda memutuskan resign dan pindah ke Jakarta sesuai permintaan Dhini. Alice, si teman khayalan Dhisti tidak pernah muncul semenjak Dhisti menjalani perawatan. Bunda hanya berharap bahwa keadaan Dhisti bisa kembali normal dan melupakan sosok Alice dalam ingatan Dhisti.

-T A M A T-

 

Penulis : Elsa Yuni Meliyanda – Universitas Kristen Indonesia

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?