Majalah Sunday

Ada-Ada Saja PILKADA

Pemilihan Kepala Daerah, agenda inilah yang menjadi kesempatan bagi orang banyak untuk dapat menggunakan hak suaranya dan mencoba peruntungan memilih pemimpin yang adil dan merakyat, ya meskipun tidak terlalu merakyat. Pemikiran seperti ini memang sudah semestinya terbesit dibenak para pemilih. Namun, beda halnya dengan Jono, Bowo, dan Nono, tiga bersaudara yang baru 5 tahun belakangan ini bisa menggunakan hak pilihnya. Pemikiran seperti di atas tersebut, tentu tetap ada dalam benak mereka, Namun bukan prioritas utama dan menjadi nomor kesekian. Bagi mereka kini, pesta demokrasi tidak ubahnya menjadi ladang rezeki mengumpulkan pundi-pundi dan menjadikannya pesta yang sebenar-benarnya pesta.

“Ayo Wo, siapa jagoan kamu saat ini?” Tanya Jono.

“Aku berani megang, Pak Suganda, Jon! Selain janjinya yang manis kaya gula aren toko kopi sebelah, uang 250 ribu siap masuk kantong. Hahaha,” jawab Bowo.

“Ya.. ya.. kalo kamu, No? Sejauh apa kamu sudah meriset para calon ini?” Ucap Jono.

“Hahaha.. baru 250rb Wo, aku pegang Pak Anton! 300 ribu beserta hand sanitizer 500 ml.” Jawab Nono, mengangkat dagunya.

Ya begitulah, kegiatan mereka sebelum hari pemilihan. Berdiskusi, calon mana yang paling bisa menarik suara rakyat dengan nominal-nominalnya. Ini bukan diskusi biasa, mereka dapat beradu argumen hingga semalam suntuk, untuk menentukan calon mana yang mereka pilih. Sebenarnya mereka bisa saja, memilih masing-masing jagoan mereka, namun bagi Jono sebagai kaka tertua, mesti ada satu suara sama yang dapat menguntungkan mereka semua. Mereka juga setuju dengan pemikiran Jono, meski para calon pemimpin mereka, entah akan menegakkan keadilan atau tidak, setidaknya mereka menerapkannya di lingkup persaudaraan mereka. Haha, dasar Kucrut bersaudara!

“Hahaha… baru 300 ribu No. Sepertinya kali ini, jagoan aku yang menang.” Tegas Jono dengan bangga.

“Memang siapa jagoan kamu, Jon? Dan kaya apa penawaran yang diberikan?” tanya Nono.

“Iya siapa Jon? Aku sudah mempersiapkan argumenku nih, untuk setiap calon.” Bowo melanjutkan.

“Siapkan argumen terbaik kalian, adik-adiku! Aku memilih Pak Sanusi, setengah juta siap kita terima, cash! Hahaha..” Jawab Joni sambil tertawa.

“Hahh..? Yang benar kau, Jon?! Kayanya itu penawaran terbaik, selama karir kita di bidang ini.” Nono terkejut.

“Ahh.. cuman 500 ribu itu, No.” Bowo meremehkan.

“1,5 Juta, kita ga cuman makan enak Wo, tapi juga bisa bayar kontrakan ini satu bulan.” Joni berargumen.

Perdebatan terus berlanjut, meskipun sudah terlihat siapa yang akan memenangkan perdebatan ini. Bowo terus berargumen bahwa jagoan Nono lah, yang paling menguntungkan, karena menurutnya hand sanitizer merupakan barang yang bisa dijual kembali dengan harga yang tinggi. Meskipun begitu, Nono yang memiliki jagoan tersebut tidak memberikan argumen dan justru ikut pilihan Jono. Ya, mungkin juga karena dia bungsu yang ikut-ikut saja atas pilihan kaka tertuanya. Meski perdebatan yang terjadi tidak begitu alot, namun tetap berakhir pukul dini hari. Mereka lekas tidur dan harus bangun sepagi mungkin untuk menuju tempat pembagian “sembako”, istilah mereka dalam menyebut pundi-pundi uang.

Pagi-pagi sekali, Bowo dan Nono terkejut bahwa mereka terbangun dan tidak melihat Jono di sekitaran kontrakan. Mereka berpikir bahwa Jono akan mempermainkan mereka dengan meninggalkan mereka, lalu mengambil jatah Bowo dan Nono, karena mereka sadar KTP keduanya sudah tidak ada di dompet masing-masing. Belum sempat mereka mengambil langkah, handphone Bowo berbunyi, menandakan pesan, yang berasal dari grup tim sukses Pak Suganda.

JANGAN ADA YANG MENUJU TITIK TEMU! ADA OPERASI TANGKAP TANGAN. TUNGGU ARAHAN SELANJUTNYA. REGARD TIMSES SUGANDA.

“Wah No, timses Pak Suganda ketahuan main politik uang!” Tutur Bowo.

“Untung saja kamu nggak jadi ke sana, Wo. Kebetulan timses Pak Anton juga nggak ada kabar nih, padahal sudah didesak sama partisipannya kapan ‘sembako’ turun dan di mana titik kumpulnya.” Balas Nono.

“Sepertinya pilihan Jono kali ini benar, tapi kemana dia ya? Apa dia tega meninggalkan kita?” Tanya Bowo.

“Ya mungkin dia sedang mengurusnya Wo, positif thinking aja.” Jawab Nono.

Panjang umur Joni, tak berselang lama ia muncul di kontrakan, dengan wajah gembira. Ternyata ia mendapat arahan untuk datang lebih awal dan mengambil “sembako”. Ia mendapatkan tiga sekaligus untuk Bowo dan Nono juga. Lalu, Nono dan Bowo menjelaskan apa yang terjadi pada jagoan mereka sebelumnya, mulai dari OTT hingga tidak adanya kabar titik temu.

“Hahaha… sudah kubilang Pak Sanusi itu terbaik. Bahkan, dia mempercat pembagian ‘sembako’, agar meminimalisasi penangkapan seperti itu. Bagian kalian semua udah aku ambil, ini kalian pegang masing-masing.” Ucap Jono lalu memberikan amplop kepada Bowo dan nono.

“Wahh tebel ini amplopnya, Jon!” Tutur Nono.

“Jadi penasaran aku, kubuka ya!” Pinta Bowo.

“Eh… jangan dulu dibuka. Ada arahan, kita baru boleh membukanya setelah kita memilih dan selesai perhitungan cepat di TPS nanti!” Tegas Jono.

Nono dan Bowo setuju dengan arahan Jono. Toh uang setengah juta itu sudah di tangan, mereka tidak masalah akan hal itu. Mereka akhirnya menuju ke TPS bersama-sama, sesampainya, mereka tentunya menjalankan protokol kesehatan. Dimulai dari pemeriksaan suhu badan, mencuci tangan, hingga menjaga jarak. Semua lancar-lancar saja, mereka memilih calon yang telah disepakati. Hingga ke sore harinya, mereka mengikuti perhitungan suara. Tanpa diduga, Akbar keluar menjadi pemenang dengan suara terbanyak.

AKBAR??!

“Calon yang nggak ngasih janji-janji manis, bahkan nggak mengiming-imingi pundi-pundi, ko bisa mendapatkan suara terbanyak?” Pertanyaan itu layaknya terbesit di benak tiga bersaudara ini. Dengan wajah kebingungan, mereka pulang ke rumah. Namun, lagi-lagi mereka berpikir, toh uang sudah mereka pegang dan tidak peduli siapa yang menang. Mereka juga sudah sesuai, memilih Pak Sanusi yang sudah memberikan “sembako” kepada mereka.

“Ahhh nggak apa-apa, yang penting kita udah dapet 1,5 juta, kan.” Tutur Jono.

“Betull!!!” Bowo dan Nono serentak.

“Ayo kita buka bareng-bareng, Bung!” Ucap Jono.

Mereka bertiga serentak membuka amplop yang mereka dapat. Rasa-rasanya, amplop itu tebal dan mestinya isinya sesuai dengan yang mereka harapkan. Mata mereka berbinar selagi membuka amplop tersebut secara perlahan. Sempurnalah amplop tersebut dibuka dan dikeluarkanlah uang yang ada di dalamnya. Munculah uang seribu berjumlah tujuh lembar dengan total 7 ribu.

“HAHHH 7 RIBU??!!!” Mereka serentak berteriak.

Mereka terduduk lemas merasa tertipu. Mereka kembali mencoba mencari di dalam amplop dan terdapat tulisan.

7000

Saya janji, jika saya terpilih di desa ini

Saya akan melunasi 493.000 sisanya.

Mereka serentak berdiri dan berteriak

“SANUSIIIII!!!!”

 

Mochamad Fahriza, Universitas Negeri Jakarta.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?