Berkuliah di salah satu kampus swasta bukanlah mimpiku. Bahkan aku malu saat bertemu dengan teman-temanku yang lulus di universitas-universitas negeri ternama, bahkan ada yang sampai ke luar negeri. Beberapa kali aku mencoba mengikuti tes untuk masuk ke universitas negeri dan ternama namun aku gagal dalam test. Terakhir kali aku diterima di salah satu universitas negeri yang ternama di wilayahku tapi aku harus melunasi uang pangkal dalam jumlah yang cukup banyak dalam jangka waktu satu minggu. Keluargaku mengiyakan untuk mengambil universitas itu, tapi aku tidak sampai hati meminta uang dengan nominal puluhan juta karena keadaan keluargaku yang juga sedang tidak baik-baik saja. Inilah awal dari perjalananku yang membawaku hingga bisa berdiri tegar sampai di titik yang sekarang.
Setelah memutuskan untuk tidak mengambil universitas negeri yang menerimaku, aku membulatkan tekad untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu sebelum kuliah. Aku tidak ingin menyusahkan keluargaku dan menjadi beban yang mereka tanggung karena niatku yang kekeh ingin kuliah meski tau keadaan keluarga tidak mendukung secara finansial.
Ah iya, perkenalkan aku Nayla Wijaya anak terakhir dari 5 bersaudara yang terlahir di keluarga yang sederhana. Semua kakakku sudah menikah, mereka bekerja sebagai karyawan kantoran dengan gaji UMR, kecuali ka Reza. Dia merintis usaha sendiri tapi sudah kurang lebih 10 tahun dia tidak kembali ke rumah semenjak dia merantau. Bahkan saat pernikahannya, kedua orangtuaku yang menyusulnya ke Surabaya untuk melakukan acara pernikahan. Meski paling berada, kami jarang berkomunikasi dengannya karena kesibukannya juga yang harus bolak-balik keluar kota, jarangnya berkomunikasi juga mengakibatkan kami jarang meminta bantuan kepadanya saat kami kesusahan secara finansial. Melihat kondisi keluarga yang pas-pasan ini memaksaku untuk berjuang sendiri untuk menggapai mimpiku sendiri. Ibu dan ayahku sudah berusia lanjut, ayah sudah pensiun sejak 2 tahun yang lalu dan ibu sudah tidak lagi mengurusi toko.
Aku mencoba mencari pekerjaan kesana-kemari, hingga setelah sebulan pencarian dan saat aku sudah merasa putus asa mencari pekerjaan, seorang teman memberitahu ada sebuah toko roti tempat dia dulu pernah bekerja. Hanya butuh waktu 15 menit berjalan menuju toko itu dari kosanku dan temanku menyarankanku untuk pergi membawa lamaran ke toko itu. Di sore hari yang terik aku melangkahkan kaki berjalan menuju toko itu dengan tangan kosong dan hanya menggunakan sandal jepit. Aku memasuki toko roti itu seolah aku adalah pembeli. Jujur karena sudah terlalu sering ditolak, aku benar-benar tidak berharap akan diterima di toko roti itu. Saat melihat-lihat roti di toko itu, aku mengumpulkan niat bertanya pada salah satu karyawan apakah ada lowongan kerja di toko ini. Hanya dalam hitungan detik, dia memanggil seorang wanita yang sedang sibuk melayani pembeli. Dia cantik, berpakaian rapi, tinggi dan kuyakini dia bukanlah karyawan. Betul saja, dia adalah pemilik toko roti itu, Ternyata dia adalah orang Amerika yang sudah lama tinggal di Indonesia.
Sekilas wanita itu menatapku dari atas ke bawah, melihat penampilanku yang mungkin tak menggambarkan seseorang yang sedang mencari pekerjaan. Lalu setelah mengamatiku, dia bertanya “ Surat lamaran kamu mana? Kami butuh cepat!” Aku yang mendengar perkataan ibu itu terkejut sampai lidahku keluh tak tau mau berkata apa.
“Bu, bisa kasih saya waktu satu jam untuk mengambil surat lamaran?” tanyaku setelah tersadar dari rasa terkejutku.
“Segera ya, biar saya langsung bisa wawancarai dan kamu bisa bekerja besok!”
Entah bagaimana, mataku terasa perih mendengar perkataan pemilik toko itu, rasanya hatiku sangat hangat saat itu. Senyumku merekah dengan mata yang berkaca-kaca, aku mengangguk mengiyakan pernyataan pemilik toko itu lalu berbalik dengan langkah setengah berlari untuk menjemput surat lamaran dari kosan yang tidak terlalu jauh dari toko itu.
Sepanjang jalan aku tersenyum hingga kembali lagi ke toko itu. Tepat pukul 18.00 aku sampai lagi ke toko itu dan menyerahkan surat lamaran pada wanita yang tadi membuat mataku berkaca-kaca. Dia membawaku ke sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari kaca, sehingga aku masih bisa melihat keseluruhan toko roti. Dia mengajukan beberapa pertanyaan dan aku menjawab sebaik yang aku bisa. Lalu pemilik toko yang sering disebut Bu Tia itu menawarkanku pekerjaan sebagai kasir. Awalnya aku terkejut dan merasa terlalu cepat untuk menjadi kasir. Awalnya aku hanya berharap menjadi karyawan biasa yang menyusun roti atau sekedar melayani pembeli. Tapi tanpa berpikir panjang aku mengutarakan bahwa aku belum berpengalaman. Tapi Bu Tia menjelaskan bahwa dia sendiri yang akan mengajariku sampai aku bisa sendiri. Kembali hatiku terasa hangat, aku seperti memiliki koneksi dengan Bu Tia, entah kenapa masih kurang dari 3 jam aku mengenalnya, dia sudah membuatku mataku berkaca-kaca beberapa kali. Aku kembali ke kosan setelah wawancara. Keesokan harinya aku langsung bekerja di toko roti dibimbing oleh Bu Tia secara langsung. Butuh dua minggu bagiku untuk hapal semua nama jajanan dan juga roti-roti di toko. Aku bekerja setahun di sana untuk mengumpulkan pundi-pundi uang untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan.
Setelah setahun bekerja aku memutuskan untuk berhenti dengan baik-baik dari toko roti Bu Tia. Aku harus tetap melanjutkan kuliah meski aku sudah nyaman bekerja bersama Bu Tia. Bu Tia juga sangat mendukung niatku untuk melanjutkan pendidikan. Dia menjadi salah satu yang paling mendukungku untuk lebih memantapkan diri melanjutkan kuliah. Bahkan saat berhenti dari pekerjaan, Bu Tia masih memberi semangat dan memberi gaji tambahan untuk menambah tabungan untuk kuliahku. Saat akan berpisah, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Bu Tia kenapa dia memperlakukanku sangat baik. Aku tau dia baik kepada semua karyawannya, tapi aku merasa dia memperlakukanku berbeda dan jauh lebih baik. Bu Tia dengan tenang menjawab, “Sebelum kamu masuk ke toko, Ibu sudah melihatmu keluar masuk toko beberapa kali, ada keraguan di wajahmu. Saat akhirnya kamu menanyakan pekerjaan, Ibu tau niatmu baik meski Ibu sempat berpikir negatif. Seketika saat Ibu menjawab butuh cepat, Ibu melihat mata Nayla yang berkaca-kaca penuh ketulusan dan itu membuat hati Ibu terasa hangat. Dan sejak saat itu Ibu yakin, kamu tidak akan berhenti sampai dis ini. Dan Ibu melihat ketulusan untuk berjuang dan berusaha dari tatapan Nayla dan juga dari pekerjaan Nayla.”
Air mataku mengalir sangat deras kali ini, tak kusangka Bu Tia juga merasakan kehangatan yang sama saat itu. Sejak saat itu aku percaya, kita memang akan betemu orang yang tepat pada waktu yang tepat juga. Perjuanganku benar-benar dimulai dari toko Hot Buns Bakery Bu Tia, dan toko ini menjadi awal perjalanan kisahku meraih mimpi. Kini aku bisa berkuliah di salah satu universitas swasta yang ternama di Jakarta. Dan bukan hanya itu, aku juga mendapatkan beasiswa penuh dan beasiswa itu direkomendasikan oleh Bu Tia juga. Salah satu supervisor dari beasiswa itu adalah sahabat dari Bu Tia. Aku merasa sangat bersyukur dari segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Awalnya memang aku merasa terpuruk saat tidak bisa langsung kuliah atau sekedar masuk ke universitas negeri dengan uang pangkal yang mahal. Tapi tanpa semua pengorbanan itu, aku tidak mungkin bisa bertahan sampai sekarang dengan kuliah yang tak murah dan bisa menggapai cita-citaku hingga bisa lulus kuliah tanpa menyusahkan keluarga dan orangtuaku.
Semakin ke sini aku merasa bahwa saat kita memiliki niat yang tulus dan melakukan sesuatu dengan tulus, orang akan merasakan ketulusan kita. Saat kita melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, kita juga akan mendapatkan perlakuan yang sepenuh hati. Seperti Bu Tia yang sepenuh hati menopangku menggapai mimpi, meski awalnya kami tidak saling mengenal satu sama lain.
Hidup memang tidak selalu mudah. Ada fase yang disebut kegagalan untuk membentuk kita atau untuk membawa kita kejalan yang seharusnya kita lewati. Selama kita melakukan yang terbaik dan dijalan yang benar, semesta akan mengarahkan dan menunjukkan jalan untuk sampai ke tempat yang ingin kita tuju atau bahkan lebih indah dari apa yang kita harapkan. Seperti pepatah yang mengatakan semua akan indah pada waktunya. Kesedihan ada masanya, kebahagiaan juga demikian. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik dan percaya serta memperjuangkan mimpi kita masing-masing.
Penulis : Doras M Sinambela | Universitas Kristen Indonesia