Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Matahari siang bersinar redup, terhalang awan gelap yang menggantung di langit. Hari itu, kelas sepi karena teman-teman yang lain sedang mengikuti pelajaran olahraga di lapangan sekolah. Aku memilih untuk tetap di kelas, mencoba mengerjakan tugas yang menumpuk.
Suasana hening tiba-tiba membuat pikiranku melayang. Sejak lama, sekolah ini terkenal dengan cerita-cerita horornya. Konon, sekolah ini dulunya adalah lahan kuburan kolonial Jepang. Beberapa guru bahkan pernah bercerita bahwa terkadang terlihat sosok tak kasat mata di lorong atau mendengar langkah-langkah kaki serta rintihan-rintihan yang aneh di malam hari.
Tiba-tiba, telingaku menangkap suara pelan dari luar jendela kelas. Suara itu terdengar seperti langkah kaki yang diseret pelan di atas lantai yang retak-retak. Punggungku merinding seketika. Suara itu berhenti tepat di luar ruangan yang sedang kugunakan, sesaat… kelas kembali sunyi.
Aku menatap keluar jendela, berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya suara angin. Tapi, dari sudut mataku, aku menangkap bayangan hitam—sosok tinggi dengan seragam tua dan wajah pucat, berdiri di luar jendela, menatap lurus ke arahku. Matanya kosong, tapi wajahnya seperti menyiratkan kemarahan yang tertahan.
Aku ingin berteriak, tapi tenggorokanku terasa tercekat. Bayangan itu semakin mendekat, tangannya terulur ke arah kaca jendela, seperti hendak menembus masuk ke dalam kelas.
Tiba-tiba, bel sekolah berbunyi, memecah kesunyian. Sosok itu menghilang seketika. Dengan napas terengah, aku berdiri terguncang, menatap kosong ke luar jendela yang kini hanya memantulkan bayangan diriku sendiri.
Tapi saat aku berbalik, di papan tulis belakangku, samar-samar tertulis sesuatu dalam bahasa Jepang: “Aku akan kembali!”
Telingaku menangkap suara pelan dari ujung kelas. Aku menoleh, dan di ujung kelas, samar-samar terlihat jejak kaki basah yang muncul satu per satu di lantai, semakin mendekat ke arahku. Jejak itu berwarna gelap, meninggalkan bekas seperti lumpur. Kaki-kakiku terasa berat, seolah ditahan oleh sesuatu, sementara jejak-jejak itu terus maju, tanpa suara, tanpa henti.
Aku menahan napas, merasakan udara semakin dingin dan aroma tanah basah perlahan memenuhi ruangan. Dengan gemetar, aku melihat sekeliling, berharap ada teman atau guru yang muncul, tapi tak ada seorang pun. Hanya sunyi, sepi, dan suara langkah itu… semakin dekat.
Lalu, tiba-tiba saja, lampu di kelas berkedip-kedip. Dalam kegelapan yang muncul sesaat, aku menangkap bayangan wajah pucat itu lagi, kini tepat di belakangku, tersenyum samar dengan tatapan yang kosong. Aku membeku, terperangkap dalam tatapan kosongnya.
Bel berbunyi kembali, menandakan pelajaran usai. Ketika lampu menyala lagi, sosok itu sudah lenyap, dan jejak kaki pun menghilang begitu saja.
Aku berlari keluar dari kelas, mencoba membaur dengan kerumunan teman-teman yang kembali dari lapangan. Jantungku masih berdebar kencang, dan saat aku berpikir semuanya sudah berakhir, seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, berharap itu temanku, tapi yang kulihat…
Hanya sosok wajah pucat dengan senyum yang sama.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.