Majalah Sunday

Where They Used To Be

Penulis: Husna Raharjo – Universitas Kristen Indonesia

Long time ago, this is where they used to be

Place of memories

That they wish to bury

Forever…

Where They Used To Be

Where they used to be, Majalah Sunday

Pict by Unsplash.com

Hari itu telah tiba, Bagas dan orang tuanya telah sampai di rumah baru mereka pada  siang hari. Sebuah rumah dengan desain yang indah. Hanya saja rumah tersebut sudah lama tidak dihuni. Ada perasaan yang cukup sulit diungkapkan ketika Bagas melihat kondisi rumah tersebut. Beberapa ruangannya berantakan, sebagian rusak dan plafonnya butuh diperbaiki. Bagas yang biasa hidup bagaikan anak bawang yang bersih dari debu di apartemen kota metropolitan mengerutkan keningnya melihat rumah tua ini. Bagas pun menghampiri ibunya yang sedang menyingkirkan barang. 

“Rumahnya luas sih, tapi banyak ruangan rusak nanti kita tidur dimana?” ucap Bagas.

“Di ruang tamu…” sahut ayahnya Bagas yang sedang membersihkan kamar mandi dari kejauhan, Ibunya pun tertawa mendengar itu sedangkan Bagas menghela nafas. 

“Yaps, kita tidur diruang tamu, gak papa kan?.” ucap Ibunya.

“Tapi kan…”

“Udah makanya bantuin beresin sini…” Lanjut Ibunya yang kemudian tertawa lagi sambil memberikan sebuah sapu dan pengki kepada Bagas. Mata Bagas menyipit ketika ia menerima sapu dan pengki tersebut.

Sambil membawa sapu dan pengki, Bagas melihat-lihat ruangan yang ada. Ia pun tertarik dengan ruang kerja yang ada di rumah itu. Meskipun ruangannya berantakan, kusam dan tidak terurus, ada banyak benda-benda antik dan foto-foto polaroid yang sangat estetik. Sapu dan pengki yang dibawa pun diletakkan dan dia lupa tujuan pertamanya datang ke ruangan tersebut. 

“Bukannya kalo orang jual rumah tuh harusnya barang-barang kayak gini dibawa ya? ini ngapain ditinggal?” ungkap Bagas. 

 

Bagas pun membuka lemari dan laci-laci yang ada di rumah itu. Dia menemukan kamera polaroid tua. 

“Wih lumayan banget. Bisa diperbaiki gak ya?” batin Bagas.

Ketika Bagas berjalan sambil senyum-senyum sendiri karena polaroid yang dia temukan, ia mendadak membeku di tempat. Matanya melebar dan senyumnya memudar. Ia melihat darah yang terlihat sudah sangat lama membekas di lantai kayu ruangan tersebut.

“Apa yang dulunya terjadi di rumah ini?” gumam Bagas. Bagas pun bergegas pergi dari ruangan tersebut dan segera menuju ayah dan ibunya. 

Sesampainya di ruang tamu, ia melihat ibu dan ayahnya sedang menghidangkan makanan. Ia pun duduk di sofa sambil menghela nafas.

“Kenapa kamu?” tanya ayahnya.

“Anu… ayah…, tadi aku lihat darah”

“Dimana?” tanya ayahnya.

“Di ruang kerja yang ada di rumah ini…” balas Bagas. Diluar ekspektasi, ayahnya tersenyum mendengar hal tersebut. Ibunya menghela nafas. 

Sambil membawa secangkir kopi, ayah Bagas duduk di samping Bagas. 

“Mungkin kamu belum tahu, tapi di rumah ini dulunya memang ada sebuah kejadian, tapi aku gak mau kasih tahu kamu kejadian apa. Ayah gak mau kamu parno.” ungkap ayahnya dengan senyum santai. 

“Terus kenapa beli rumah disini? kalo angker gimana?” balas Bagas mengernyitkan dahinya. 

“Nak, manusia itu makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan. Kok kamu mau aja takut sama yang begituan?” ungkap ayahnya, Bagas bungkam mendengar hal tersebut. Ayahnya memperhatikan Bagas dan ia mengangguk paham akan kondisi anaknya.

“Terlepas apapun yang terjadi sama rumah ini dulunya, masa lalu adalah masa lalu. Tugas kita adalah berusaha untuk memperbaiki rumah ini dan juga diri kita agar lebih baik kedepannya.” ucap Ayahnya Bagas. “Ada banyak kemunduran yang terjadi pada beberapa pihak disebabkan rasa takut mereka. Ayah gak mau kita seperti itu.” Mendengar hal ini, Bagas menundukkan pandangannya ke arah lain sambil tersenyum. 

“Kalau begitu, barang-barang yang ada di ruang kerja boleh buat aku gak?.” ucap Bagas.

“Boleh dong…, pemilik rumah ini memang menjual rumah dan seisinya juga, mereka udah bilang. Jadi kalo kamu nemu barang personal dan sekiranya masih bagus, ya pake aja.” ungkap ayahnya “katanya mereka gak mau inget masa lalu, makanya barang-barangnya gak dibawa” lanjut ayahnya. 

“Kalau begitu, aku mau minta tolong ayah boleh?”

“Minta tolong apa?” tanya ayahnya.

“Minta tolong ayah buat perbaiki kamera polaroid ini, hehe.” ungkap Bagas.

“Wih ini kamera polaroid tahun 90 an. Oke nanti ayah usahain ya…” balas ayahnya.

“Sip, sip, hahaha.” Bagas pun tertawa bersama Ayahnya, sedangkan Ibunya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. 

Ini paragraf kesimpulan atau penutup
Tidak harus ada keyphrase di dalamnya!

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 296
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?