Penulis: Aurellia Khansa Sujatmoko Putri – Universitas Udayana
Sunners! Kalian pernah denger gak tentang tradisi kawin tangkap? Ituloh tradisi yang terjado di wilayah Indonesia timur khususnya di Sumba dan hingga hari ini praktik tersebut masih dilakukan. Buat yang gak tau nih kawin tangkap itu mengacu pada sebuah ada di mana seorang laki-laki dapat istilahnya “menangkap” perempuan untuk dijadikan istrinya tanpa persetujuan atau kehendak perempuan tersebut, serem banget gak sih.
Tradisi kawin tangkap mesikpun diklaim sebagai bagian dari budaya lokal, tindakan ini sering kali bertentangan dengan hak asasi manusia dan hukum. Sebab, praktik ini sejatinya tidak mencerminkan keadilan terhadap manusia dan mengobjektifikasi perempuan sebagai benda yang dapat diambil begitu saja. Meskipun sebagian masyarakat lokal di Sumba menggap praktik ino sebagai bagian dari adat dan simbol maskulinitas serta kekuasaan, para korban justru menggap praktik ini sebagai peristiwa yang traumatis dan menimbulkan dampak psikologis yang mendalam.
Kelompok yang paling rentan akan praktik ini adalah perempuan muda yang sering kali berada di bawah umur. Para perempuan muda tersebut sering kali kehilangan hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri, karena budaya ini dapat merampas kebebasan serta potensi mereka untuk melanjutkan pendidikan atau kehidupan yang mereka inginkan.
Budaya kawin tangkap bertahan karena dukungan sosial dan budaya patriarki yang masih kuat di beberapa komunitas lokal. Masyarakat sering kali melihat tradisi ini sebagai “warisan leluhur” yang harus dipertahankan tanpa menyadari dampak negatifnya terhadap perempuan.
Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa praktik kawin tangkap masih sering terjadi di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia Timur. Namun, karena kawin tangkap ini dianggap sebagai bagian dari tradisi, banyak korban yang tidak melaporkan kejadian tersebut atau bahkan merasa tidak memiliki pilihan lain.
Praktik kawin tangkap tidak hanya bertentangan dengan kemanusiaan, namun juga melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pada Pasal 6 dari Undang-Undang ini secara jelas menyatakan bahwa “Perkawinan harus diulakukan atas persetujuan kedua belah pihak,” yang berarti setiap bentuk paksaan dalam perkawinan adalah ilegal. Tradisi kawin tangkap jelas melanggar prinsip ini karena perempuan yang menjadi korban dirampas hak nya untuk memiliki suara dalam tradisi ini.
Lebih dari itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang dirumuskan pada tahun 1070 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam konvensi tersebut menegaskan hak-hak perempuan untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, termasuk dalam perkawinan.
Potret Kawin Tangkap Karena Pemaksaan (sumber:freepik)
Tradisi kawin tangkap bukan hanya membahayakan kehidupan perempuan muda, tetapi juga melanggar hukum dan hak asasi manusia. Menghentikan praktik ini memerlukan kesadaran dari masyarakat, serta komitmen kuat dari pemerintah dan penegak hukum. Edukasi, serta pendampingan bagi korban harus terus diperkuat agar generasi mendatang bisa terbebas dari jerat tradisi yang merugikan ini.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.