Penulis: Naufal Fathurahman – Universitas Persada Indonesia Y.A.I
“Boy, sini duduk sebat dulu kita. Ha?! Laki gak ngerokok!!!” Sunners, ungkapan tadi adalah salah satu contoh dari toxic masculinity yang menekankan bahwa laki-laki harus kuat, tangguh, dan melakukan hal-hal tertentu. Sayangnya toxic masculinity juga memaksa laki-laki tidak menunjukkan emosi yang dianggap lemah, serta menghindari segala sesuatu yang dianggap feminin, seperti “Lu laki kok nangis?!”.
Toxic masculinity bukan tentang menjadi laki-laki atau maskulinitas secara umum, melainkan tentang bagaimana norma sosial tertentu mengharuskan laki-laki bertindak dalam cara-cara yang dianggap “jantan” tetapi justru merusak. Misalnya, laki-laki yang menunjukkan emosi seperti menangis dianggap lemah, atau mereka yang menunjukkan kasih sayang bisa dianggap tidak maskulin. Selain itu, norma ini juga sering kali mendorong kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik atau membuktikan diri.
Toxic masculinity menciptakan tekanan luar biasa bagi laki-laki untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis. Hal ini sering kali menyebabkan masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan bahkan bunuh diri, karena banyak laki-laki merasa tidak diperbolehkan untuk berbicara tentang perasaan mereka atau mencari bantuan. Bedasarkan jurnal : “Gender and Suicide: A Global Perspective” menyatakan bahwa meskipun perempuan lebih sering mengalami depresi, laki-laki lebih sering melakukan bunuh diri, sering kali karena stigma yang mengelilingi kesehatan mental.
( Toxic Masculunity: pic by. unsplash )
Toxic masculinity juga berdampak langsung pada perempuan. Konsep ini sering kali menciptakan ketidaksetaraan gender dan memperkuat gagasan bahwa laki-laki harus dominan sementara perempuan harus tunduk . Dalam hubungan pribadi, hal ini bisa menyebabkan adanya kontrol, dominasi, dan bahkan kekerasan terhadap perempuan. Perilaku ini dipicu oleh anggapan bahwa perempuan harus tunduk pada otoritas laki-laki, sementara laki-laki dianggap memiliki hak lebih besar dalam mengambil keputusan. Di tempat kerja, toxic masculinity berkontribusi pada budaya seksisme, di mana perempuan sering kali diabaikan atau dipandang tidak kompeten dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan dalam kesempatan karier, gaji, serta penghormatan terhadap kontribusi perempuan.
Anak-anak, terutama laki-laki, juga menjadi korban dari toxic masculinity sejak usia dini. Mereka diajarkan untuk menekan emosi, menghindari kegiatan yang dianggap “lembut”, dan menyesuaikan diri dengan norma-norma gender yang ada. Hal ini membatasi perkembangan emosi dan sosial mereka, serta menciptakan ketegangan dalam menjalani identitas mereka sendiri. Anak laki-laki yang memiliki minat tidak sesuai dengan norma maskulinitas sering kali diintimidasi. Anak perempuan juga terpengaruh, karena mereka tumbuh dalam lingkungan yang sering kali menganggap bahwa peran mereka lebih rendah daripada laki-laki. Mereka dihadapkan pada ekspektasi untuk menjadi “lemah lembut” atau “patuh”, yang pada akhirnya membatasi potensi mereka untuk berkembang.
Toxic masculinity merusak masyarakat dengan menciptakan budaya yang penuh dengan kekerasan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan. Ketika kekerasan dijadikan solusi yang sah dalam penyelesaian konflik, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap tindakan kriminal dan kekerasan. Selain itu, toxic masculinity juga menghambat upaya untuk mencapai kesetaraan gender, yang pada akhirnya berdampak pada kemajuan sosial dan ekonomi. Ketika laki-laki tidak diberi ruang untuk menunjukkan kerentanan, hal ini menghambat kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang sehat, baik dalam keluarga, pertemanan, maupun lingkungan profesional. Akibatnya, masyarakat kehilangan nilai-nilai empati, kerja sama, dan keterbukaan untuk menciptakan keharmonisan.
*****
Toxic masculinity bukan hanya masalah laki-laki, tetapi masalah yang memengaruhi semua orang. Stereotipe gender ini menciptakan berbagai dampak negatif, mulai dari tekanan emosional hingga ketidaksetaraan gender yang meluas. Untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan adil, kita perlu memberi ruang bagi laki-laki untuk menunjukkan diri mereka sendiri, dan menciptakan lingkungan di mana semua gender bisa berkembang tanpa batasan yang merugikan. Hanya dengan cara ini, kita bisa mengatasi dampak buruk toxic masculinity dan bergerak menuju masyarakat yang lebih setara.
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.