Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Setiap malam, Deva dan Nirvana kembali bertemu di Hearts of Luvenia. Dari hanya berpetualang mengalahkan monster hingga misi-misi khusus untuk mendapatkan item langka, mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Obrolan mereka semakin dalam, tidak lagi sekadar tentang taktik game, tetapi juga tentang hal-hal kecil dari kehidupan mereka. Deva mulai memahami bahwa Nirvana, di balik kepribadiannya yang pendiam, memiliki sisi lembut yang selama ini tersembunyi.
Pada suatu malam, di padang rumput penuh dengan bunga forget-me-nots berwarna biru yang disebut Azure Meadows, Deva dan Nirvana duduk bersama, menikmati keindahan alam maya yang nyaris seperti dunia nyata. Cahaya bulan buatan melukis bayangan samar pada karakter mereka yang duduk bersebelahan.
Dengan suara tenang, Deva menatap karakter Nirvana dan berkata. “Nir, kamu tahu nggak, setiap kali aku log out dari game, aku selalu berharap waktu di sini lebih panjang. Dunia nyata rasanya… beda.”
Nirvana terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku juga ngerasain hal yang sama, Dev. Aku… aku ngerasa bebas di sini. Dunia nyata kadang terlalu menekan, terlalu… menyalahkan.”
Sejenak, Deva hanya mendengarkan, membiarkan kesunyian mengisi ruang obrolan mereka. Malam itu, perasaan yang selama ini samar di hatinya mulai terasa jelas. Nirvana bukan sekadar teman dalam game, ia adalah seseorang yang membuat Deva merasa dipahami. Ada perasaan yang tak bisa ia sebutkan—perasaan yang bahkan lebih nyata dari game yang sedang mereka mainkan.
Di tengah percakapan, tiba-tiba sebuah notifikasi guild muncul di layar. Noir, ketua Mythical Fantasies, mengirim pesan:
Noir: “Dev, ingat besok ada raid guild. Kamu harus siap-siap, ini akan jadi salah satu raid tersulit buat level kita.”
Deva langsung merespons.
Deva: “Iya, Noir! Aku bakal siapin semua gear dan itemku.”
Nirvana membaca pesan itu dan tertawa kecil. “Kayaknya Mythical Fantasies benar-benar melakukan persiapan serius buat raid kali ini, ya? Tapi, jangan lupa Lovers Destiny juga ikut, loh.”
Deva tersenyum. Sejak mulai mengenal Nirvana, hubungan antara Mythical Fantasies dan Lovers Destiny semakin dekat. Mereka sudah bukan sekadar rival guild; kini mereka sering bekerja sama dalam misi-misi besar. Di sisi lain, hubungan Deva dan Nirvana menjadi pembicaraan hangat di kalangan guild mereka. Noir sering menggodanya, menanyakan kapan ia akan “mengajak Nirvana dalam misi pribadi.” Meski malu, Deva tak bisa menyangkal bahwa ia mulai merasakan perasaan yang semakin dalam kepada Nirvana.
Keesokan harinya, malam besar untuk raid akhirnya tiba. Deva, bersama dengan Noir, Hydra, Minny, dan Aigis, siap di ruang utama guild. Noir memimpin pertemuan persiapan dengan penuh semangat.
Noir langsung memulai kata-katanya dengan nada semangat. “Ingat, kita bakal kerja sama dengan Lovers Destiny. Dev, kamu sama Nirvana akan menjadi back-up di tengah. Hydra, kamu di garis depan dengan King dari guild mereka. Kayaknya ini jadi pertempuran yang cukup lama, jadi tetap fokus!”
Deva merasakan semangat sekaligus kecemasan. Di satu sisi, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya bersama Nirvana di depan kedua guild. Namun, ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan—sebuah rasa takut kehilangan sesuatu yang penting.
Saat raid dimulai, semua berjalan mulus. Bersama-sama, Mythical Fantasies dan Lovers Destiny berhasil menembus pertahanan musuh dan mendekati bos utama. Deva dan Nirvana bekerja sama, saling melindungi dan memberikan dukungan. Namun, ketika mereka hampir menang, tiba-tiba layar komputernya menjadi gelap.
Internetnya… mati.
Deva terkejut, panik. Dia mencoba berbagai cara untuk memperbaiki koneksi, tetapi tetap saja, ia tidak bisa kembali ke permainan. Pesan notifikasi dari grup media sosial guild mulai membanjiri ponselnya, memberitahukan bahwa mereka berhasil menaklukkan bos terakhir, tetapi yang lebih mengejutkan adalah pesan terakhir dari Noir:
Noir: “Dev, kamu ke mana? Nirvana nyariin kamu. Tadi dia nggak pergi sampai raid selesai, katanya mau bicara sama kamu secara langsung.”
Dengan hati berdebar, Deva hanya bisa menatap laptopnya, berharap koneksinya segera pulih dan dia bisa kembali. Malam itu, meski raid sukses, ada rasa kehilangan yang aneh di hatinya, seolah ia melewatkan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar kemenangan di dunia game. Di luar kamarnya, suara gaduh dari rumahnya mulai terdengar—alasan mengapa ia bersembunyi di dunia Hearts of Luvenia terasa kembali memenuhi pikirannya.
Di balik layar game, ada perasaan yang tak tuntas, perasaan yang menggantung antara dunia nyata dan dunia maya. Deva tahu, pertemuan berikutnya dengan Nirvana mungkin akan mengubah segalanya.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.