Majalah Sunday

Tetangga Baru

Penulis: Lidya Setia – Universitas Negeri Jakarta

Rumah besar di perempatan jalan yang lenggang selalu terlihat sepi, orang-orang sekitar sebenarnya tahu bahwa rumah itu tidak kosong, tinggal seorang wanita cantik yang jarang sekali terlihat – hampir tidak pernah. Seorang wanita berkulit putih, tinggi, manis dan angkuh, dia tidak pernah lupa menggosok giginya setiap pagi, membuat kopi hangat dengan roti selai stroberi, dan menamai setiap fotonya yang baru. Hari ini dia sengaja memotret seorang tukang sayur yang setiap pagi berjualan di depan rumahnya, gerobak sayurnya selalu menjadi spot idaman ibu-ibu gosip.

“Ja-ngan be-ri-sik,” nama yang berikannya pada foto abang sayur.

Hari ini tidak ada yang berbeda, hampir seperti hari-hari sebelumnya, hanya ada dirinya sendiri dalam rumah besar. Sambil menatap langit-langit rumahnya yang putih, dia membayangkan rasa bosan tiba-tiba hidup dan berbincang bersamanya di teras rumah, berbagi keluhan, bercerita mengenai abang sayur yang selalu membangunkannya setiap pagi, atau para tetangga yang hobi sekali mengobrol. Kemudian dia teringat rumah kosong yang persis berada di sebrang, rumah itu tidak besar tapi tidak juga kecil, rasanya cukup jika satu keluarga sederhana tinggal disana. Hanya ada seorang ayah, ibu, kakak laki-laki dan adik perempuan yang cantik.

“Ah, keluarga yang sangat menyukai kebersihan,” gumamnya.

Benaknya mulai bercerita, keluarga itu mengubah seluruh cat rumah dengan warna putih, setiap hari pekerjaan mereka hanya membersihkan rumah sampai mereka sendiri bingung pojok mana lagi yang harus mereka bersihkan. Mereka tidak suka menerima tamu karena takut rumahnya kotor dan banyak kuman. Kemudian dia bergegas mencari kamera analognya, memotret langit-langit rumahnya seolah sedang memotret satu keluarga yang menyukai kebersihan, tapi hasilnya sangat mengecewakan, karena ada sedikit noda di langit-langit rumahnya.

“Tidak, ini tidak bagus!”

tetangga baru, cerita pendek, cerpen

Kemudian tatapannya beralih pada kucing peliharaanya, dia menamai kucingnya albi, karena bulunya yang berwarna putih menyerupai albino. Benaknya kembali bercerita, bagaimana jika satu keluarga itu memelihara banyak sekali kucing, seluruh jenis kucing ada dalam rumah itu.

“Keluarga yang memelihara banyak kucing. Ya, itu akan menjadi keluarga yang sempurna.”

Setiap pagi dia akan melihat si ayah membawa satu kucing baru, ibu sibuk menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga dan kucing-kucing mereka. Kemudian setiap sore kakak laki-laki dan adik perempuannya akan bermain bersama kucing-kucing di halaman depan. Dia mengarahkan kamera analognya pada albi, memotret albi yang sedang tidur, tapi sayang di ruangan itu tidak ada kucing lain selain albi, kembali ia kecewa dengan hasil fotonya.

“Sepertinya aku perlu memelihara dua atau tiga kucing lagi!”

Kopinya kini terasa dingin, suara ibu-ibu bersama abang sayur masih terdengar di depan rumahnya, terdengar juga beberapa kali namanya disebut. Ah, bak selebriti dia membanggakan diri, karena tetangga sering membicarakan dia dan sifat angkuhnya. Dia tidak suka menerima tamu karena takut rumahnya kotor, dia tidak pernah menyapa tetangganya karena takut tertular virus yang belum tentu ada. Tapi sebenarnya rasa takut sendirilah yang membunuh dan membuatnya terpenjara. Tiba-tiba ibu-ibu gosip itu terdengar hening digantikan dengan suara asing yang tidak pernah ia dengar, sedikit penasaran dia mengintip dari jendela rumah, ada truk besar dengan berbagai perabotan dan satu van ukuran sedang.

“Tetangga baru?”

Dia menghitung berapa orang yang akan tinggal di rumah kosong itu; seorang ayah, ibu, kakak laki-laki, anak pempuan yang cantik, dan tiga ekor kucing. Seperti ada keajaiban yang datang padanya pagi itu, hal yang dia nantikan kini ada di sebrang rumahnya. Kemudian untuk pertama kali dia keluar rumah menyapa seseorang dan melambaikan tangannya dengan tersenyum. Kesan yang seharusnya ia tunjukan pada seluruh tetangga. Dia menghampiri keluarga baru itu, berkenalan, dan mengajak mereka untuk berkunjung ke rumahnya. Dengan berani dia juga menyapa abang sayur dan ibu-ibu gosip, mengajak seluruh tetangganya untuk berkunjung. Seperti sebuah puzzle yang sudah lama hilang, ia menemukan perasaan yang kini dapat menutupi kekosongan rumahnya.

“Aku sudah tidak memerlukan lagi kamera untuk mengisi rumah ini.”

*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 492
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?