Majalah Sunday

Tempat Keramat: Mimpi Buruk yang Tak Terlupakan

Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta

Beberapa minggu sebelum Bude meninggal, hidupku mulai dihantui oleh mimpi-mimpi aneh. Mimpi yang selalu sama jalanan lengang di malam pekat, suara angin mendesir seperti bisikan, kuburan tua yang samar terlihat, dan sosok-sosok yang tak bisa kujelaskan. Salah satunya adalah makhluk berkepala gundul. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan matanya cekung dalam seperti dua lubang hitam.

Di salah satu mimpi, aku berdiri di kuburan tua. Udara di sekeliling terasa dingin menusuk. Tiba-tiba, sosok itu muncul dari balik batu nisan. “Kamu datang lagi?” suaranya serak, nyaris seperti desisan ular. Anehnya, meskipun menakutkan, ia tidak menyerangku. Justru, sosok itu duduk di atas nisan dan mulai tertawa kecil. Tawanya seperti gemerisik ranting kering yang diinjak. Aku hanya berdiri membeku, ingin berlari tapi kaki seakan dipaku.

Tempat Keramat: Mimpi Buruk yang Tak Terlupakan

Kisah tentang kutukan tempat keramat yang membayangi kehidupan seorang tokoh setelah melanggar larangan leluhur di pemakaman.
picy by pinterest.

Aku terbangun dengan keringat dingin dan napas tersengal. “Hanya mimpi, hanya mimpi,” gumamku sambil meneguk air putih di meja samping tempat tidur.

Namun, malam demi malam, mimpi itu datang lagi.

Pagi itu, aku mendapat kabar bahwa Bude meninggal. Tubuhku terasa lemas seketika, seakan semua mimpi itu memang memberi pertanda. Aku ikut meronce bunga untuk jenazah, tapi tanganku gemetar. Waktu semakin sore dan pemakaman tertunda. Malam mulai merayap saat jenazah Bude masih disemayamkan di ruang tengah.

Aku memilih duduk di pojok meja makan belakang bersama beberapa kerabat. Kepalaku masih pening dan pikiranku kosong. Mereka berbincang pelan, tapi suaranya terdengar seperti dengung lebah di telingaku. Tatapanku melayang tak sengaja ke kamar tante di sebelah. Gelap. Satu-satunya cahaya hanya datang dari lampu kecil di ujung ruangan.

Entah kenapa, pandanganku tertarik ke kolong tempat tidur. Awalnya tidak ada apa-apa, hanya bayangan gelap. Tapi ketika aku menatap lebih lama, sesuatu muncul. Perlahan.

Sepasang mata. Mataku membelalak. Aku ingin berpaling, tapi tubuhku kaku.

“Mbak? Mbak kenapa?” suara sepupu kecilku terdengar samar, tapi aku tak bisa menjawab.

Bayangan itu bergerak maju. Keluar dari kolong. Wujudnya familiar: kulit pucat kebiruan, kepala gundul, dan senyum lebar yang awalnya tampak biasa. Namun, semakin lama kutatap, senyum itu retak. Bibirnya seperti sobek, memperlihatkan gigi-gigi tajam. Kulit di wajahnya mulai memerah, urat-uratnya menonjol seperti akar pohon, dan darah menetes dari sudut mulutnya.

Aku ingin menjerit, tapi suara itu tercekat di tenggorokan. Seketika pandanganku gelap.

Ketika aku sadar, tubuhku menggigil hebat. Aku berbaring di lantai ruang tengah. Bapak berjongkok di sebelahku, tangannya memegang keningku sambil membacakan sesuatu dengan suara lirih. Kerabat lain berkumpul di sekeliling, wajah mereka penuh kekhawatiran.

“Dia kenapa, Pak?” tanya seorang tante panik.

Bapak menarik napas dalam. “Mungkin karena kemarin waktu di makam, dia melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Tempat seperti itu bukan untuk bercanda.”

Aku terdiam. Ingatanku melayang ke hari sebelum Bude meninggal. Saat itu, aku dan sepupu-sepupu bermain di dekat kuburan lama yang dianggap keramat. Aku ingat, dengan iseng aku menendang batu nisan kecil yang setengah terkubur di tanah sambil tertawa.

“Awas, nanti kamu kena kutuk!” kata salah satu sepupu menegurku.

Aku hanya mencibir waktu itu. “Ah, mana mungkin begitu-begituan.”

Tapi sekarang, semuanya terasa jelas. Bapak menatapku dengan wajah serius. “Tempat keramat itu ada penunggunya. Kalau kita tidak sopan, mereka akan marah. Mungkin ini sebabnya kamu diikuti.” Aku menggigil mendengarnya. Bayangan sosok gundul itu kembali terlintas dalam pikiranku.

Bapak akhirnya membawaku ke seorang ustadz untuk dirukiah. Di ruangan kecil yang diterangi lampu minyak, ustadz itu menatapku lama. Matanya tajam, seolah bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata.

“Dia tidak sengaja mengganggu sesuatu yang tidak boleh diganggu,” kata ustadz sambil menghela napas.

Aku menelan ludah. “Apa yang harus saya lakukan?”

Ustadz mulai membacakan doa-doa sambil menyentuh kepalaku. Perlahan, tubuhku mulai bergetar. Telingaku mendengar bisikan-bisikan, suara yang sama seperti dalam mimpiku. Rasanya panas, dingin, dan berat. Aku menjerit. Aku merasa seperti ada yang mencengkeram bahuku kuat-kuat, lalu menarik sesuatu dari dalam tubuhku. Dalam sekejap, semuanya sunyi.

Aku tersungkur di lantai, napas tersengal-sengal. Ustadz menatapku dengan wajah tenang. “Ingat, Nak. Jangan sekali-kali bersikap tidak sopan di tempat seperti itu. Mereka bisa marah, dan kamu yang akan menanggung akibatnya.”

Sejak hari itu, mimpi burukku perlahan menghilang. Tapi bayangan si gundul itu kadang masih muncul di ujung pandanganku. Diam. Tersenyum.

Aku tak pernah lagi berani bermain-main di tempat sakral, dan aku tak pernah lagi melihat ke kolong tempat tidur.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 2
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?