Majalah Sunday

Tatapan Pelaku Gantung Diri di Malam Kelam

Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta

Gantung Diri di Malam Kelam

Malam itu gelap dan sunyi. Saya baru saja pulang dari Desa. Sepeda motor tua saya melintasi jalan setapak yang membelah hamparan sawah, kanan dan kiri dipagari pohon padi yang melambai tertiup angin malam. Udara dingin menusuk kulit, dan suara jangkrik serta kodok menjadi satu-satunya teman di perjalanan itu.

Dari kejauhan, saya melihat kerumunan orang di bawah rumpun bambu. Cahaya lampu petromak mereka seperti kunang-kunang raksasa, menyala redup di kegelapan. Ada yang memegang tangga bambu, ada yang berdiri canggung sambil mengarahkan cahaya. Entah kenapa, jantung saya mulai berdegup lebih cepat.

Saat saya mendekati kerumunan itu, seorang lelaki tiba-tiba berlari dari arah pematang sawah menuju mereka. Ia membawa sebilah arit, memantulkan cahaya lampu yang menari-nari di genggamannya. Saya menghentikan motor dan bertanya dengan suara gemetar, “Ada apa, Pak?”

Lelaki itu menjawab pendek, nafasnya terengah-engah. “Ada orang kendat…” katanya sambil menunjuk ke arah rumpun bambu. Saya mematung, mencoba mencerna kata-katanya.

“Orang kendat?” bisik saya pada diri sendiri, namun perasaan waswas semakin kuat.

pict by AI.

Dari jauh, saya melihat mayat itu diturunkan. Tali yang melilit lehernya dipotong dengan arit. Dua orang memegangnya dengan hati-hati, sementara satu lagi memikul lincak, sebuah dipan kecil dari bambu. Mereka berjalan melewati pematang sawah, dengan lampu petromak di depan untuk menerangi jalan.

Saya berdiri di pinggir jalan, menonton mereka mendekat. Namun, saat mereka sampai di hadapan saya, sesuatu yang mengerikan terjadi.

Wajah mayat itu hanya ditutupi dengan kaos salah satu warga. Sayangnya, angin malam tiba-tiba bertiup kencang, membuat kaos itu terbang jatuh ke tanah. Saya tak sengaja melihat wajahnya dengan mata melotot, lidah menjulur.

Yang membuat bulu kuduk saya benar-benar berdiri adalah saat mata mayat itu seolah-olah menatap langsung ke arah saya. Dalam hati, saya bergumam, Apa ini mimpi? Namun, semua terasa terlalu nyata.

“Cepat, kita pergi!” desak teman saya yang duduk di belakang motor. Suaranya memecah lamunanku. Namun, sebelum sempat bergerak, saya melihat sesuatu yang membuat tubuh saya kaku di tempat.

Tangan mayat itu, yang semula tertata rapi di atas lincak, jatuh bergantung. Dua kali. Setiap kali jatuh, salah satu dari warga yang menggotongnya membetulkan posisi tangan itu sambil bergumam lirih, “Iyo, Kang Rin… tak tulungi…”

Kata-kata itu terus terngiang di kepala saya, bahkan saat saya akhirnya memutar gas motor dan meninggalkan tempat itu. Jalan pulang terasa lebih panjang dari biasanya, dengan bayangan wajah mayat itu terus menghantui pikiran saya.

Sampai di rumah, saya tak bisa tidur. Saya membayangkan mata melototnya, lidahnya yang menjulur, dan tatapan itu, tatapan yang seolah berbicara, meski mulutnya sudah membisu selamanya. Saya pun bertanya dalam hati, Apa yang sebenarnya dia lihat sebelum gantung diri?

Dan malam itu, saya bersumpah tidak akan pernah melewati jalan itu lagi. Tidak peduli siang atau malam. Tidak peduli seberapa penting tujuan saya. Bayangan itu, kerumunan di bawah bambu, dan tatapan matanya yang melotot akan menjadi kenangan paling mencekam yang tak akan pernah hilang dari ingatan saya.

(terinspirasi dari kisah nyata)

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 104