Majalah Sunday

Sosok Misterius Di Lantai 3

Penulis: Pelangi Adelia Primadiani – Universitas Kristen Indonesia

Sabiru terbangun dari tidurnya, memicingkan mata dan melihat ke sekelilingnya. Suasana ruangan yang tenang dan harum obat-obatan membuatnya teringat kembali bahwa ia sedang berada di UKS. Seharian ini ia merasa tidak enak badan, sehingga ia harus beristirahat dan memulihkan diri. Ia melihat ke arah jendela dan tersadar bahwa hari sudah mau malam. Cahaya senja yang redup memancar masuk melalui jendela dan suasana sekolah terlihat sepi. Sepertinya pelajaran hari ini sudah berakhir dan siswa-siswa lain telah pulang. 

“Sial, gua ketiduran,” pikirnya. Dengan segera ia bangkit dan pergi menuju kelas untuk mengambil tasnya.

Berjalan melalui koridor yang sunyi, Sabiru mencoba mempercepat langkahnya. Pikirannya dipenuhi dengan rasa panik karena takut gerbang pintu sekolahnya sudah terkunci. Ia tidak mau berlama-lama berada di sekolah yang sudah sepi. Setelah membereskan barang-barang dan memasukan ke dalam tasnya, ia segera bergegas untuk pulang.

Dalam perjalanannya di koridor yang sunyi, Sabiru mencoba mengurangi rasa sepi dengan bersenandung pelan. Matanya melirik ke sekeliling sekolah dan tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya. Ia melihat seorang cewek sedang duduk di jendela kelas lantai 3, dengan ekspresi yang gelisah dan terlihat seperti ingin melompat ke bawah. Tubuhnya bergetar seketika, dan kekhawatiran melanda pikiran Sabiru. Dengan cepat, ia berlari menuju ruang kelas tempat cewek tersebut berada.

Dengan napas terengah-engah, Sabiru mencapai lantai 3 dan berdiri di depan kelas tempat cewek itu berada. Ia dengan hati-hati mencoba untuk berbicara padanya, “Lu mau ngapain di situ? Jangan lakuin yang enggak-enggak.”

“Gua udah gak kuat, dunia ini gak adil dan semua orang jahat sama gua,” jawab cewek tersebut sambil menangis dengan kencang.

“Gua tau lu lagi ngerasa kayak gitu, tapi gua ada di sini buat dengerin lu. Gak semuanya jahat, pasti ada banyak orang yang peduli sama lu, gua juga peduli.”

“Bohong! Semua orang selalu ninggalin gua, termasuk orang-orang yang dulu bilang peduli!” teriak cewek itu. “Gua udah gak tahan lagi.”

“Gua serius!” ucap Sabiru dengan tegas dan penuh perhatian. “Lu gak sendirian, gua ada di sini dan bakal bantuin lu. Kita hadapin bareng-bareng ya?”

Cewek tersebut menatap Sabiru dengan tatapan bingung di tengah tangisannya. “Bohong, bohong, bohong!” teriaknya.

Tiba-tiba, dalam sekejap, cewek itu melompat, sementara Sabiru segera berlari menuju jendela berusaha untuk mencegahnya. 

sosok misterius

Cewek itu melompat tanpa mendengarkan Sabiru, pict by canva.com

Saat ia tiba di jendela dan melihat ke bawah, kebingungan melanda. Tidak ada tanda-tanda keberadaan dari cewek tersebut. Sabiru memeriksa sekeliling dengan hati-hati, mencari jejak yang mungkin ada. Namun tetap aja nihil. Dengan hati yang masih berdegup kencang, Sabiru kemudian memutuskan turun ke bawah untuk memeriksanya secara langsung. Tanah di bawah terlihat kosong dan tidak ada tanda-tanda bekas orang jatuh. 

Rasanya cewek itu seakan lenyap begitu saja, meninggalkan Sabiru dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi,Sabiru merasa lega karena tidak ada yang terluka, namun di sisi lain, kebingungan menghantui pikirannya mengenai apa yang baru saja terjadi. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban berputar-putar dipikirannya, meninggalkan rasa bingung yang mendalam.

*****

Keesokan harinya, Sabiru mencoba untuk bertanya pada teman-temannya. Ia memberikan ciri-ciri dari cewek tersebut, menjelaskan bagaimana penampilannya. Namun, sayangnya, tidak ada yang tahu siapa cewek tersebut. Ia juga bertanya apakah mereka masih berada di sekolah dan melihat kejadian aneh kemarin. Teman-temannya menggeleng, seolah-olah kejadian misterius kemarin seperti mimpi buruk yang hanya dialami oleh Sabiru sendiri.

Tetapi Sabiru tidak menyerah. Ia terus mencari informasi dan bertanya pada orang-orang lain di sekitarnya. Ia bertanya pada satpam yang menjaga gerbang sekolah, pada tukang kebun dan ibu-ibu kantin. Ia berharap ada yang bisa memberikan petunjuk atau jawaban atas cewek tersebut, namun sayangnya tetap tidak ada hasilnya. Sabiru merasa semakin frustasi dan bingung. 

Sampai sore hari tiba saat sedang ekskul basket, seorang kakak kelas menepuk pundak dan menepis lamunannya. 

“Woy, kusut banget itu muka,” ucap kakak kelasnya dengan ramah. “Gua dari jam istirahat liat lu mondar-mandir mulu. Lagi ada tugas wawancara apa gimana?”

“Gak ada tugas, Bang. Lagi mumet,” Sabiru menghela nafasnya.

“Kenapa tuh?”

Sabiru berpikir sejenak, kemudian menatap kakak kelasnya. “Bang, di sekolah pernah ada yang bunuh diri gak sih?”

Kakak kelasnya itu kaget dengan pertanyaannya, “Ada sih, tapi lu ngapa nanyain begituan?”

Kemudian Sabiru pun menjelaskan kejadian yang terjadi padanya kemarin. Kakak kelasnya itu terdiam cukup lama, seperti ia tahu sesuatu namun enggan mengatakannya. 

“Lu kenapa pengen nyari tau banget tentang cewek itu?” akhirnya kakak kelasnya bersuara.

Sabiru menundukkan kepalanya, “Sejak kejadian kemarin gua jadi gak bisa tidur tenang, Bang. Gak tau kenapa gua juga jadi ngerasa bersalah gitu karena gak bisa nolongin dia.”

Kakak kelasnya itu terdiam sambil menatap Sabiru, “Si cewe yang lu ceritain itu punya temen deket, temen kelas gua.”

Sabiru terkejut, “Kenapa gak ngasih tau dari tadi?” protesnya.

“Susah kalo mau ngedeketin dia. Semenjak kejadian bunuh diri itu, anaknya jadi suka menyendiri. Dia gak mau di deketin sama orang-orang, jadi gua pikir bakal percuma juga kalo ngasih tau lu,” jelas kakak kelasnya.

Sabiru merenung sebentar, “Anaknya biasa menyendiri di mana bang?”

“Di tangga deket toilet lantai 2,” jawab kakak kelasnya yang kemudian dibalas oleh anggukan dari Sabiru. 

Tak lama kemudian, mereka berdua pun dipanggil oleh teman ekskul mereka untuk segera berkumpul di lapangan. Namun, pikiran Sabiru masih terpaku pada informasi tentang teman dekat cewek misterius itu. Ia bertekad untuk menghampirinya besok.

Saat hari esok tiba, Sabiru langsung bergegas untuk pergi ke tempat yang diberitahu oleh kakak kelasnya. Di sana ia melihat seorang cewek sedang duduk, menyenderkan badannya ke tembok sambil melihat ke arah jendela. Dengan ragu-ragu Sabiru duduk di sampingnya. Sabiru merasa tegang, tapi mencoba dengan ramah menyapanya.

“Halo? maaf ganggu. Gua Sabiru.”

Cewek itu hanya melihatnya sekilas dan seperti tidak ada minat untuk membalas sapaannya.

“Nama kakak siapa?”

“Alana,” cewek itu akhirnya bersuara

“Maaf sebelumnya, Kak. Gua denger katanya temen lu ada yang bunuh diri?”

Alana langsung menoleh pada Sabiru. Wajahnya seperti tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Sabiru. “Pergi sana!” usir Alana.

“Kak, dua hari kemarin gua ngeliat kejadian aneh di sekolah dan itu ada hubungannya sama temen lu.”

“Gua gak peduli.”

“Kak, gua minta tolong. Gua bener-bener gak bisa tidur setelah kejadian itu,” Sabiru memohon padanya.

Alana menatap matanya, seperti merasa kasihan dengan Sabiru. Lalu ia mengangguk memberi tanda bahwa ia mau menanggapi rasa penasaran Sabiru.

“Temen lu kenapa bisa bunuh diri, Kak?” tanya Sabiru dengan hati-hati.

“Namanya Lyla. Terakhir dia ngomong sama gua, katanya dia hamil. Gua marah banget waktu itu.” Alana menghela nafas berat sebelum melanjutkan, “Katanya cowok yang ngehamilin dia ninggalin dia begitu tau dia hamil.”

Sabiru merasa terpukul mendengar cerita tersebut. Ia mengelus pundak Alana, berusaha untuk menenangkannya.

“Gua sibuk buat nyari cowok yang ngehamilin dia. Tapi kayaknya Lyla ngiranya gua ninggalin dia. Gua nyesel banget, harusnya waktu itu gua nemenin Lyla bukannya malah fokus sama hal-hal lain,” Alana menangis tersedu-sedu.

Sabiru mencoba memberikan dukungan lebih lanjut kepada Alana yang sedang menangis itu, “Jangan nyalahin diri sendiri, Kak. Niat kakak kan baik waktu itu. Kak Lyla beruntung banget bisa dapet temen kayak lu yang peduli sama dia gini, Kak.”

Cewek itu mengusap air matanya dan berkata, “Makasih Sabiru.”

Sabiru mengangguk, “Terus gimana kelanjutan sama cowok itu, Kak?” tanya Sabiru, ingin tahu lebih lanjut.

Alana menggeleng dengan ekspresi kecewa, “Sayangnya gua gak nemu informasi apa-apa soal itu,” jawabnya dengan suara rendah.

“Emang dia gak ninggalin apa-apa gitu, Kak? Kayak surat atau apa gitu?” tanya Sabiru lagi, berusaha membantu mencari jawaban.

Alana merenung sejenak, mencoba mengingat kembali. “Ah, sebelum kejadian bunuh diri itu, ada buku di meja gua. Buku ekonomi sih, jadi gua gak mikir yang aneh-aneh,” jelasnya.

“Boleh liat buku nya, Kak?” kata Sabiru dengan penuh antusiasme.

sosok misterius

Kira-kira apakah mereka akan menemukan sebuah petunjuk?, pict by canva.com

Kemudian mereka pergi ke kelas Alana. Sabiru menunggu di depan kelas itu sambil berharap. Semoga ia dapat menemukan petunjuk lain. Saat Alana menghampirinya, ia disodorkan buku ekonomi itu. Sabiru membukanya dan mencari-cari petunjuk yang mungkin tersembunyi di dalamnya.

“Sabiru, kayaknya gak ada yang aneh-aneh deh dari bukunya. Isinya cuma materi ekonomi aja,” kata Alana dengan sedikit kekecewaan.

Sabiru merasa kecewa juga, tapi ia tak ingin menyerah begitu saja. Ia melihat halaman-halaman buku dengan seksama, hingga akhirnya, di salah satu halaman belakang buku itu, ia menemukan tulisan yang agak samar. “Kak, liat!”

Alana pun menghampiri dan membaca tulisan yang ditemukan Sabiru. “Kayaknya ini tulisan tangan Lyla. Tapi gak terlalu jelas, ada beberapa huruf yang gak bisa dibaca,” kata Alana.

Sabiru mengambil foto tulisan itu dengan handphonenya dan mencoba memperjelasnya. Setelah beberapa saat, mereka akhirnya bisa membaca isi tulisan tersebut. “Di bawah kursi, belakang sekolah.”

Mereka menatap satu sama lain lalu dengan segera berlari menuju tempat yang ditulis di buku tersebut.  Hati mereka berdegup kencang karena rasa penasaran. Ketika tiba di sana, mereka tidak melihat apa-apa. Sabiru membaca ulang kata-kata dalam buku itu,

“Di bawah kursi,” gumamnya. Kemudian ia langsung mengecek kursi tersebut, namun tetap tidak menemukan apa-apa. Lalu tanpa pikir panjang, ia memindahkan kursi itu dan menggali tanah di bawahnya dengan hati-hati. Ternyata, di sana ada sebuah kotak kecil yang tersembunyi.

Sabiru langsung memberikan kotak itu pada Alana agar dapat ia buka. Alana dengan gemetar membuka kotak itu, dan di dalamnya terdapat sejumlah surat. Alana terkejut membaca isi surat tersebut. Wajahnya penuh dengan perasaan campur-aduk, dari kebingungan hingga amarah. Ia kemudian menunjukkan surat tersebut pada Sabiru, yang juga terkejut melihat isinya.

“Guru ekonomi?” gumam Sabiru dengan rasa tidak percaya.

Di dalam surat itu, dijelaskan bahwa cowok yang menghamili Lyla adalah guru ekonomi mereka. Alana merasa dunianya hancur dan perasaan campur-aduk melanda hatinya. Lyla selalu menjadi teman dekatnya, dan guru ekonomi itu seharusnya bertanggung jawab atas perbuatannya.

Dengan tangan gemetar, Alana melanjutkan membaca surat-surat yang lain. Di sana, Lyla menceritakan betapa sulitnya menghadapi situasi itu seorang diri dan bagaimana guru ekonomi itu mengancamnya agar tetap diam tentang kejadian tersebut. Lyla meminta maaf kepada Alana karena tidak pernah bercerita tentang hal ini sebelumnya. Ia juga memberitahu bahwa dalam kotak itu ada sebuah USB yang berisi bukti-bukti kejahatan dari guru ekonomi itu. 

Alana tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia ingin melaporkan guru ekonomi itu ke pihak sekolah atau bahkan ke polisi, namun ia juga merasa takut akan dampaknya terhadap dirinya. Perasaan bersalah pun menyelimuti hatinya, merasa bahwa kalau dulu ia lebih peka dan perhatian terhadap Lyla, pasti situasi seperti ini tidak akan terjadi.

Sabiru menatap Alana, ia tahu kalau Alana pasti takut. Sejujurnya ia juga, namun ia tidak mau merasa bersalah lagi, seperti yang ia rasakan dua hari lalu saat kejadian Lyla melompat dari jendela di depan matanya. Meskipun itu mimpi atau penglihatan sekalipun, ia tetap terpukul dan merasa bertanggung jawab. Kejadian itu meninggalkan bekas yang mendalam di pikirannya.

Dengan tegas, Sabiru mendekati Alana. Matanya memancarkan keberanian meskipun hatinya gelisah. “Kita harus laporin, Kak,” ucap Sabiru dengan lembut namun mantap.

Alana menatap Sabiru dengan cemas, “Gua takut,” ucap Alana pelan.

Sabiru menggenggam tangan Alana dengan erat, memberikan dukungan yang tulus. “Kak, lu gak sendirian, ada gua kan? Dulu kita gak bisa nolongin kak Lyla, tapi sekarang kita dikasih kesempatan buat nolongin dia. Jadi kita gak boleh ngecewain dia, Kak.”

Setelah lama memikirkannya, Alana akhirnya mengangguk, setuju dengan pernyataan Sabiru. Dengan langkah berani, mereka pergi ke ruangan kepala sekolah untuk memberikan bukti-bukti yang ada. Ketika sampai di ruangan kepala sekolah, mereka diberi kesempatan untuk menjelaskan seluruh situasi.

Alana menunjukkan buku ekonomi yang berisi pesan tersembunyi yang mereka temukan, sementara Sabiru memberikan USB yang berisi bukti-bukti lainnya. Kepala sekolah mendengarkan dengan serius dan mengapresiasi tindakan mereka. Ia berjanji akan segera menindaklanjuti masalah ini dengan serius dan melibatkan pihak yang berwenang.

Setelah beberapa bulan, sebuah kabar datang. Guru ekonomi itu dinyatakan bersalah atas tindakannya dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sabiru dan Alana merasa lega, karena upaya mereka bersama akhirnya berbuah hasil. Keadilan akhirnya ditegakkan. Keberanian mereka telah membawa keadilan bagi Lyla.

Di atas sana, Sabiru yakin bahwa Lyla pasti saat ini sedang merasa bangga dan bahagia melihat mereka berdua yang telah membawa keadilan untuknya. Sabiru merasa bahwa Lyla selalu berada di samping mereka, menyemangati dan mendukung setiap langkah perjuangan yang mereka lakukan. Meskipun Lyla telah pergi dari dunia ini, namun Sabiru dapat merasakan kehangatan yang mengingatkannya untuk terus berani dan tidak menyerah dalam mencari keadilan dan kebenaran.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 404
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?