Majalah Sunday

Senandung di Balik Pohon Beringin

Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta

Di kota P, tiga mahasiswa praktik kesehatan tinggal di kos sederhana milik Bu Siti yang strategis dekat Rumah Sakit Jiwa, tepat di depan pohon rambutan tua yang rimbun. Sore itu, di tengah gerimis yang menciptakan suasana kelam, aktivitas mereka berlangsung normal hingga terdengar senandung misterius seorang wanita dari arah jendela tertutup gorden. Kedua mahasiswi di ruangan membeku, menyadari suara itu bukan berasal dari mereka.

Senandung di Balik Pohon Beringin

Sudah hampir dua minggu kami menjalani praktik di Rumah Sakit Harapan Jiwa di kota P. Saya bersama Rina dan Dini memutuskan untuk mengambil kos terdekat dengan lokasi praktik. Pilihan kami jatuh pada sebuah rumah kos sederhana milik Bu Siti, yang hanya berjarak lima menit berjalan kaki dari rumah sakit.

Sore itu langit kelabu mengundang gerimis turun perlahan. Kami bertiga baru saja kembali dari warung Pak Mahmud, membeli bakso untuk makan malam. Di depan kamar kos kami yang menghadap timur, berdiri kokoh sebuah pohon rambutan tua. Daunnya begitu rimbun hingga menutupi sebagian besar jendela kamar. Bu Siti hanya memasang satu lampu 5 watt di dekat pohon itu, menciptakan bayangan-bayangan yang menari setiap kali angin bertiup.

“Setidaknya pohonnya berguna,” kata Rina suatu hari. “Siang hari melindungi dari panas, malam hari membantu mendinginkan kamar.” Kami setuju, mengingat kamar kami hanya dilengkapi sebuah kipas mini yang suaranya kadang lebih berisik dari hembusan anginnya.

Kamar kami adalah yang terluas di kos itu. Ada dua kasur – satu queen size yang kami tempati berdua, dan satu single bed untuk Dini. Dindingnya dicat putih pudar, dengan satu jendela besar menghadap ke pohon rambutan.

Pengalaman supernatural tiga mahasiswa praktik yang mendengar senandung misterius dari pohon rambutan dekat RSJ.
pict by AI.

Malam itu, setelah Maghrib, saya dan Rina memutuskan untuk mengerjakan laporan kasus pasien kami. Dini pamit ke kamar mandi untuk mencuci baju. Gerimis masih turun, menciptakan musik alam yang menenangkan. Kami sengaja tidak memutar musik dari ponsel, menikmati suara rintik hujan yang berpadu dengan hembusan angin di dedaunan rambutan.

Sekitar pukul tujuh malam, sayup-sayup terdengar senandung seorang wanita. Suaranya lembut namun jelas, seperti datang dari arah jendela yang tertutup gorden putih tipis. Saya pikir itu Dini – dia memang suka bersenandung saat mencuci baju. Namun ketika menoleh ke Rina untuk memastikan, saya melihat wajahnya pucat pasi. Matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka seperti hendak berteriak namun tertahan. Tubuhnya kaku, tangannya mencengkeram pulpen hingga buku-buku jarinya memutih.

Kami bertatapan dalam diam. Perlahan kesadaran menghantam – kami berdua mengira suara itu berasal dari yang lain. Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, kami membeku di tempat, tepat menghadap jendela berkorden yang bergerak pelan tertiup angin malam.

Senandung itu tiba-tiba berhenti. Dalam keheningan yang mencekam, kami berdua spontan berteriak dan berlari menjauhi jendela. Tepat saat itu, Dini keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melilit di kepalanya.

“Udah, jangan takut,” katanya tenang. Kami menatapnya curiga, mengira dia yang mungkin mengerjain kami. Tapi sebelum kami sempat menuduh, dia melanjutkan: “Aku juga denger kok. Dari kamar mandi kedengeran jelas banget.”

Keesokan paginya, kami memberanikan diri bertanya pada Bu Siti tentang pohon rambutan itu. Wajahnya berubah sendu. “Oh, pohon itu… Dulu ada pasien dari rumah sakit jiwa yang sering main di situ. Namanya Mbak Ratna. Tiap sore dia duduk di bawah pohon itu, nyanyi-nyanyi sendirian. Suaranya bagus, kadang saya suka dengerin dari dapur.” Bu Siti terdiam sejenak. “Sudah lima tahun sejak dia meninggal. Katanya dia terlalu lelah dengan semua obat-obatan yang harus dia minum. Tapi kadang-kadang, kalau hujan gerimis begini, saya masih suka dengar suaranya.”

Sejak malam itu, kami selalu menutup jendela rapat-rapat begitu senja tiba, tak peduli sepengap apapun kamar kami. Terkadang, di malam-malam bergerimis, senandung itu masih terdengar lebih samar, seperti mengundang kami membuka jendela dan bergabung dengannya di bawah rimbun pohon rambutan. Suara yang mungkin hanya ingin didengar, dikenang, dan tidak dilupakan.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 28
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?