Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Aku tak akan pernah lupa saat pertama kali melihatnya lagi. Di ruang rapat itu, ketika ia menoleh dan menatapku dengan mata yang sama—mata yang dulu sering kulihat menunduk karena rasa malu yang kuciptakan.
“Selamat pagi, Amara,” katanya, nada suaranya datar tapi sopan.
Jantungku seperti berhenti sesaat. Itu Bayu. Bayu yang dulu sering kubully di SMA. Aku nyaris tidak percaya bagaimana ia berubah. Tidak ada lagi Bayu yang kurus, lemah, dan penuh keraguan. Kini ia terlihat begitu percaya diri, dengan aura yang seakan menuntut penghormatan dari semua orang di ruangan itu.
Aku tahu wajahku memerah saat mengangguk canggung. Sepanjang rapat, aku hampir tak bisa fokus. Setiap kali ia berbicara, aku hanya bisa memikirkan bagaimana aku dulu memperlakukannya. Julukan “Bayu Si Cacing Tanah” yang kuberikan masih terngiang di telingaku, bersama tawa yang kugunakan untuk menutupi rasa insecure-ku sendiri.
Seusai rapat, aku tahu aku harus mengatakan sesuatu kepadanya. Aku mendekatinya di luar ruangan, mencoba mengumpulkan keberanianku.
“Bayu…” Aku memanggil namanya pelan.
Ia menoleh, wajahnya netral, tanpa amarah ataupun keramahan. “Ya?”
Aku menelan ludah, merasa kecil di hadapannya. “Aku tahu kamu siapa. Dan… aku tahu apa yang udah aku lakuin ke kamu dulu. Aku minta maaf ya. Dari lubuk hatiku yang paling dalam.”
Bayu menatapku lama sebelum akhirnya mengangguk. “Aku udah lama maafin kamu kok, Amara. Biarpun, aku nggak bisa ngelupain itu.”
Kata-katanya menusukku lebih dalam daripada apapun yang pernah kudengar. Tapi aku tahu, aku pantas mendapatkannya.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba menebus kesalahan. Bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Aku mulai melibatkan Bayu lebih sering dalam diskusi, mendengarkan ide-idenya, dan mencoba mengenalnya lebih jauh. Namun, semakin aku mengenalnya, semakin aku sadar betapa hebatnya dia sekarang.
Dia bukan lagi pria yang dulu kupandang rendah. Dia cerdas, tegas, dan penuh kedewasaan. Dan itu membuatku semakin terpesona.
Aku tak tahu kapan tepatnya perasaan itu berubah. Mungkin saat dia dengan sabar membantuku memperbaiki laporan yang berantakan. Atau mungkin saat aku melihatnya tersenyum, bukan karena ejekan seperti dulu, tapi karena kemenangan kecil yang benar-benar miliknya.
Suatu malam setelah lembur, aku memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang sudah lama ingin kutanyakan.
“Bay,” kataku pelan, sambil memegang cangkir kopi hangat di tangan. “Gimana kamu bisa begitu… kuat? Maksudku, setelah semua yang terjadi dulu?”
Dia menatapku lama, seperti menimbang apakah aku layak mendengar jawabannya. Akhirnya, dia berkata, “Karena aku tahu hidupku lebih besar daripada sekadar berpikir gimana orang lain perlakuin aku. Aku milih buat menjadi lebih baik, bukan lebih buruk.”
Kata-katanya membuat dadaku sesak. Aku merasa kecil di hadapannya, tapi juga terinspirasi. Dan di saat itu, aku tahu—aku telah jatuh cinta kepadanya.
“Bay,” kataku akhirnya. “Aku mau kamu tahu… aku benar-benar menyesali semuanya. Dan aku ingin kenal kamu lebih baik, bukan sebagai seseorang yang dulu kupandang rendah, tapi sebagai orang luar biasa yang sekarang ada di depanku.”
Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil—senyum pertama yang ditujukan padaku sejak kami bertemu lagi. “Kalau begitu,” katanya, mengulurkan tangannya, “Yuk kita mulai dari awal lagi. Halo, kenalin aku Bayu.”
Aku tersenyum, menyambut uluran tangannya. “Amara. Senang bertemu kamu, Bayu.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa pantas untuk memulai semuanya kembali.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.