Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Senja itu, hujan turun perlahan, mengguyur trotoar kota yang sepi. Aku berlari kecil mencari tempat berteduh di bawah kanopi sebuah toko buku tua. Saat itu aku melihatnya—seorang perempuan dengan payung transparan, berdiri di ujung jalan, dia tampak kebingungan sambil memandang ke arah angkutan umum yang menumpuk di sudut trotoar.
Entah dorongan dari mana, aku menghampirinya. “Kamu perlu bantuan?” tanyaku. Dia menoleh, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. Matanya seperti menyimpan kehangatan yang mengusir dinginnya hujan kala senja itu.
“Aku baru di sini, dan sedang mencari alamat,” katanya, menunjukkan sebuah catatan kecil di ponselnya. Nama jalan itu sebenarnya tidak jauh dari situ, jadi aku menawarkan untuk menemani sampai ia menemukan tempatnya.
Kami berjalan berdua di bawah hujan. Sepanjang perjalanan, aku tahu namanya: Nathania. Dia baru saja pindah ke kota ini untuk sebuah pekerjaan. Dia bercerita dengan antusias, dengan mata berbinar yang membuatku lupa akan hujan yang sedang membasahi sepatuku.
Di persimpangan terakhir sebelum sampai, kami berhenti sejenak. Dia menatapku, matanya seperti menyimpan sesuatu yang tak terucap, dan dalam keremangan senja itu, aku merasa ada ikatan aneh, sesuatu yang dalam dan spontan, seolah kami telah lama saling mengenal.
“Aku harap kita bisa bertemu lagi,” ujarnya, setengah berbisik. Sebelum aku sempat menjawab, dia melangkah pergi, menghilang di balik gerbang apartemennya.
“Aku harap kita bisa bertemu lagi,” ujarnya, setengah berbisik. Sebelum aku sempat menjawab, dia melangkah pergi, menghilang di balik gerbang apartemennya.
Aku berdiri memandangnya sampai sosoknya benar-benar lenyap di balik pintu. Rasanya seperti mimpi singkat, tapi jejaknya masih terasa sangat nyata, tertinggal dalam senyum dan cara matanya menatapku.
Saat kembali berjalan, aku mendongak, melihat hujan masih menari pelan di bawah cahaya lampu jalan. Di hati, sebuah perasaan muncul, tak jelas apakah itu hanya ilusi sesaat atau sebuah awal yang akan mengubah hidupku.
Malam itu, aku sulit tidur. Bayangan senyum dan tatapan Nathania terus menghantui, mengisi pikiranku seperti adegan dari film yang ingin kuputar kembali terus-menerus. Rasanya aneh, seolah aku baru saja bertemu seseorang yang pernah kukenal dalam mimpi, seseorang yang membuatku merasa hangat meski hanya dalam sekejap pertemuan.
Esoknya, tanpa rencana, aku mendapati diriku berdiri lagi di depan toko buku tempat kami pertama kali bertemu. Mungkin ini gila, pikirku, tapi entah mengapa aku berharap akan bertemu dengannya lagi, sekadar melihat sosoknya di antara keramaian.
Lalu, tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang, “Kamu sering ke sini juga?”
Aku menoleh, dan di sana dia berdiri, dengan payung transparannya yang masih sama. Senyumnya tersipu, seperti seseorang yang sedang mencoba menahan tawa kecil.
“Aku… cuma lewat,” jawabku sambil tersenyum. Tapi di dalam hati, aku tahu ada hal yang ingin kuceritakan padanya—tentang perasaan yang muncul begitu saja, tentang hujan yang membawa kita bertemu, dan tentang harapan bahwa ini bukan hanya pertemuan singkat yang akan segera berlalu.
Di bawah hujan pagi yang ringan, kami kembali berjalan bersama, seolah semesta memberi kami kesempatan kedua untuk memulai sebuah kisah yang mungkin akan lebih dari sekadar kenangan.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.