Penulis: Afindi Ranika Dewi – UNJ
Malam itu, aku pulang dengan wajah dan pikiran kusut, serta seragam putih abu-abu yang sudah tidak serapi saat aku berangkat tadi pagi. Aku berjalan cepat masuk kamar, mengunci pintunya, dan lekas mengempaskan tubuh ke ranjang, membiarkan tasku tergeletak sembarangan di lantai. Lalu pelan-pelan, aku terisak.
Sore tadi, tepat setelah kegiatan sekolah usai, Dio memutuskan hubungan denganku. Bilang bosan, tidak sampai hati membuatku terus menunggu di hubungan yang tidak jelas ini. Aku sudah menduga hari ini akan datang, apalagi sejak cowok itu terus-terusan mengabaikan pesanku. Tapi sebaik apa pun aku menduga dan mempersiapkannya, ternyata rasanya tetap sakit, apalagi dengan serangkaian beban belajar dan UTS yang menghantuiku.
Lama sekali aku menangis. Sepertinya sudah lewat tengah malam, entahlah. Mataku tidak sanggup terbuka, tubuhku luar biasa lelah, tapi pagi nanti aku masih harus sekolah dan les seperti biasanya. Tanpa memedulikan seragam yang masih menempel, aku memejamkan mata, pelan-pelan tertidur. Kurasakan hangat menjalari punggungku sebelum sepenuhnya bermimpi, rasanya persis seperti pelukan ibu saat sedang menghiburku. Tapi, pintu kamarku kan terkunci, ibu jelas tidak bisa masuk. Lalu, rasa hangat dari mana ini?
Aku tertidur dengan rasa hangat di punggung, pict by freepik.com
Paginya, aku terbangun dan bersiap untuk sekolah seperti biasa. Teman semejaku, Alia, sudah ada di kursinya ketika aku menjejakkan kaki masuk kelas. Aku meringis melihat tatapan kasihannya saat menaruh tas. Alia memang sudah tahu mengenai kandasnya hubunganku dengan Dio kemarin, ditambah pagi ini aku tampil dengan mata yang masih setengah bengkak.
“Anggi, nggak apa-apa?” tanyanya dengan nada khawatir. Aku mengangguk sambil mengibaskan tangan, menyuruhnya berhenti mencemaskanku. Kami kemudian terlibat dalam percakapan panjang mengenai UTS, saat tiba-tiba aku teringat rasa hangat yang menjalari punggungku saat masih setengah tidur semalam.
“Eh Al, semalem aku nangis lama banget, sampai lewat tengah malem kayaknya. Terus habis capek nangis dan mau tidur, masih setengah pules nih, punggungku berasa hangat sampai ke bahu. Rasanya kayak dipeluk, kayak ada yang hibur,” kataku, bercerita sambil mengingat-ingat.
“Nggak tau juga ya, Nggi, baru kali ini denger ada yang begitu. Setan kali tuh, kasihan liat kamu nangis-nangis semaleman.” Alia terkikik saat lengannya kutepuk dengan keras. Karena takut, aku buru-buru mengganti topik dan kembali membicarakan UTS.
Hari itu, aku menuntaskan jam sekolah dan les dengan kurang fokus. Malam harinya, setelah pulang dan langsung mandi, makan, serta ibadah, aku berniat untuk belajar mandiri, mengulang pelajaran yang tadi beberapa kali kutinggal melamun karena masih sedih.
Aku belajar sampai tengah malam, pict by canva.com
Jam menunjukkan pukul 11 malam saat aku masih berkutat dengan fisika. Mata dan otakku mulai kehilangan konsentrasinya, belum lagi pikiran soal Dio semakin sering menginterupsi, membuatku menyerah dan akhirnya menelungkupkan kepala ke atas meja lalu mulai menangis. Segala ujian dan masalah Dio ini terasa semakin berat untuk ditangani bersamaan.
Saat itulah aku merasa punggungku kembali hangat, kali ini lebih jelas karena terjadi saat aku masih sepenuhnya sadar. Parahnya, hangat itu sekarang naik ke kepala, mengelus rambutku pelan-pelan, membuat tangisku makin pecah karena bingung dan takut teringat omongan Alia.
Semakin keras tangisku, hangatnya juga makin menguat, bahkan sudah menyebar ke seluruh punggung dan bahu. Usapan di rambutku juga belum berhenti, tapi aku masih menelungkupkan kepala di meja, mengumpulkan keberanian untuk menengok dan melihat siapa (atau apa) yang ada di dekatku sekarang. Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan menengok ke kiri, melihat satu sosok berbaju putih dan berambut panjang berantakan tengah memeluk dan mengelus rambutku. Baru kusadari sosok itu juga tengah menyenandungkan lagu yang tak kukenal. Baunya anyir sekali.
Tangisku seketika tersendat, tubuhku kaku. Aku hanya bisa menggerakkan kepala kembali ke posisi sebelumnya, berpura-pura terisak lagi agar suara senandung sosok itu tidak terlalu terdengar di telinga. Sambil membaca-baca doa, aku memejamkan mata, berharap pagi segera datang.
***
“Anggi, kok tidur di meja sih!”
Aku terlonjak mendengar suara ibu berteriak. Ternyata sudah pagi. Apa semalam hanya mimpi buruk? Tapi kemudian aku sadar, sisa bau anyirnya masih ada sampai pagi ini. Dengan bulu kuduk yang meremang, aku bergegas bangkit dan keluar kamar untuk bersiap sekolah.
Terima kasih untuk hiburannya, siapa pun kamu. Tapi sepertinya aku bersumpah tidak akan menangis sendirian lagi di tengah malam.
*****
Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.