Majalah Sunday

Pamali di Senja Hari

Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta

“Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan kering. Langit mulai memerah, menyuguhkan pemandangan yang begitu indah sekaligus mencekam. Di saat seperti ini, banyak orang memilih untuk berdiam diri, menghindari aktivitas yang dianggap pamali. Konon, senja menuju maghrib adalah waktu peralihan antara dunia nyata dan dunia gaib.”

Pamali di Senja Hari

Pamali di Senja Hari
Pict by Pinterest.

Senja mulai turun perlahan, membungkus kota dalam cahaya jingga yang samar. Di gang-gang sempit antara gedung-gedung tinggi, kehidupan terus berjalan, dengan suara kendaraan yang tak henti-hentinya berlalu lalang. Di tengah hiruk-pikuk itu, sebuah kamar kos kecil berada dalam keheningan kontras. Suasana kamar itu selalu temaram, dengan satu jendela menghadap ke gang yang nyaris tak memberi ruang bagi sinar matahari untuk masuk. Di sana, Nia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk, mengabaikan detak waktu yang menunjukkan pukul lima sore. Rasa lelah akibat kuliah, tugas, dan kesibukan organisasi seolah menariknya ke dalam keinginan kuat untuk istirahat, meski samar-samar terlintas nasihat orang tuanya yang selalu ia abaikan.

Sejak pindah ke kota untuk kuliah, nasihat-nasihat ibunya yang dulu sering terdengar perlahan mulai terlupakan oleh Nia. Di desa, sebelum ia merantau, ibunya selalu mengingatkan hal-hal yang berbau pamali, terutama menjelang maghrib. 

“Jangan tidur sebelum maghrib, Nia. Pamali!” 

Pesan itu tak jarang juga datang dari neneknya. Bukan hanya soal tidur, pintu rumah pun harus tertutup rapat, dan tak boleh ada yang keluar ketika matahari mulai tenggelam. Tapi di kota besar, semua larangan itu terasa jauh, seperti tak lagi berlaku di tengah kesibukan kota yang padat.

Saat itu, Nia hanya menganggapnya mitos. Bagi Nia, pamali seperti itu mungkin relevan di desa, tapi di kota besar? Rasanya terlalu kuno. Lagipula, dengan segala rutinitas yang padat, siapa yang punya waktu untuk memikirkan hal-hal mistis?

Namun, hari itu, Nia terlalu lelah untuk peduli. Mata kuliah pagi yang panjang, dilanjut rapat organisasi yang memakan waktu telah menyedot energinya. Ia memejamkan mata, berniat untuk tidur sebentar saja sebelum kembali mengerjakan tugas yang menumpuk. Perlahan, dunia luar mulai menghilang, dan Nia pun terlelap.

Entah berapa lama Nia tertidur, tapi ketika ia terbangun, suasana kamar kosnya terasa sangat aneh. Ia masih berbaring di tempat tidurnya, tapi segalanya tampak berbeda. Ruangan yang biasanya sempit kini terasa meluas, dan keheningan yang mengelilinginya terlalu mencekam. Saat mencoba menggerakkan tubuh, Nia menyadari bahwa ia tak bisa. Tubuhnya berat, seolah ada sesuatu yang tak kasatmata menekan seluruh tubuhnya, memaku dirinya di tempat.

Pamali di Senja Hari
Pict by Pinterest.

Kamar yang biasanya ramai dengan suara kendaraan kini hening, bahkan udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Dalam ketidakberdayaan itu, Nia merasakan kehadiran lain di dalam kamar. Ada sesuatu yang asing, dingin, dan menyeramkan. Matanya tidak bisa melihat dengan jelas, tetapi dari sudut matanya, ia menangkap bayangan gelap bergerak perlahan di pojok ruangan. Sosok itu merayap di sepanjang dinding, mendekat dengan gerakan yang lambat namun pasti. Nafas Nia tersengal-sengal, jantungnya berdegup kencang, tapi ia tetap tak bisa bergerak. Ingin berteriak, tapi tenggorokannya terasa terkunci.

Tiba-tiba, suasana berubah drastis. Nia mendapati dirinya tidak lagi terbaring di kasur, melainkan berdiri di jalan sempit yang panjang, gelap, dan tak berujung. Di kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki yang menggema, semakin lama semakin mendekat. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya seketika dipenuhi rasa panik. Ia tidak tahu siapa—atau apa—yang mendekat, tapi instingnya menyuruhnya berlari.

Nia mulai berlari sekuat tenaga. Jalan di depannya tampak seperti tak berujung, memanjang tanpa arah. Nafasnya tersengal, dan langkah kakinya terdengar makin cepat, namun suara langkah kaki yang mengikutinya terdengar lebih keras, semakin dekat. Ia menoleh sekilas dan melihat bayangan hitam itu, bentuknya tidak jelas, namun ia bisa merasakan kehadiran yang menakutkan itu semakin mendekat. Seperti makhluk tanpa wajah, sosok itu mengejarnya, tanpa suara, hanya dengan kehadiran yang memekikkan ketakutan dalam dirinya.

Meski Nia terus berlari, jarak antara dirinya dan bayangan itu terasa semakin mengecil. Seolah jalan di depannya semakin sempit, langkah-langkahnya seakan melambat, sementara sosok itu terus mendekat dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Nafasnya makin sesak, dadanya terasa sakit, dan kakinya mulai melemah. Rasa takut menyergap seluruh tubuhnya. Ia ingin berlari lebih cepat, tapi tubuhnya tidak lagi mendengar perintahnya.

Sosok itu hampir mencapai Nia, dan ketika ia merasa tak ada lagi harapan, tiba-tiba kakinya tersandung. Ia terjatuh, dan saat membalikkan tubuhnya, sosok itu sudah berada di atasnya, melayang seperti bayangan kelam yang akan menelan seluruh dirinya.

Dengan jeritan yang tertahan di tenggorokannya, Nia tiba-tiba terbangun. Ia masih berada di tempat tidur, tapi kepalanya terasa berat dan pusing seperti dihantam sesuatu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Pandangannya kabur, dan ruangan terasa berputar. Ia berusaha mengatur napas, menyadari bahwa dirinya kembali di kamar kos, namun pusing yang berat membuatnya bingung.

Melirik ke jendela, Nia melihat cahaya terang seperti pagi hari. Ia mengecek ponselnya, dan jam menunjukkan pukul tujuh pagi. “Aku kesiangan,” gumamnya, buru-buru bangun untuk bersiap ke kampus. Namun, ketika ia melangkah keluar kamar, lorong kosan masih gelap dan hening. Saat memeriksa ponselnya lagi, rasa takut langsung menyergap: waktu yang tertera adalah pukul enam sore, setelah maghrib.

Pusing berat dan ketakutan bercampur dalam pikirannya. Bulu kuduknya meremang, dan suara langkah kendaraan di luar membawa Nia kembali ke kenyataan yang tak kalah mencekam, apakah ini benar-benar sudah berakhir, atau mimpi buruk itu masih membayangi dirinya?

Untuk pertama kalinya sejak pindah ke kota, Nia mulai memikirkan kembali kata-kata ibunya. Pamali. Ia tak pernah percaya sebelumnya. Baginya, semua itu hanyalah mitos yang tidak memiliki tempat di tengah modernitas kota. Namun, setelah kejadian tadi, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Meski ia tak sepenuhnya mempercayai pamali, ia merasa perlu untuk memahami alasan lebih rasional di balik nasihat itu.

Malam itu, Nia memutuskan untuk menelepon ibunya di desa. Suara ibunya di ujung telepon terdengar hangat, tapi ada kekhawatiran yang tersirat.

“Nia, kamu nggak tidur sore lagi kan?” tanya ibunya tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiran Nia dari jarak jauh.

Nia terdiam sejenak sebelum menjawab. “Iya, Bu. Aku tadi tidur sore…”

Suara ibunya terdengar semakin serius. “Ibu sudah bilang, jangan tidur sore. Bukan cuma karena pamali, tapi itu bisa bikin badan gampang sakit, lho. Tidur sore bikin kamu susah tidur malam, dan akhirnya kamu gampang terkena penyakit.”

Nia terkejut mendengar penjelasan itu. Selama ini ia hanya mengira bahwa nasihat ibunya terkait hal-hal mistis, tanpa tahu ada alasan kesehatan di baliknya.

“Ibu tahu, di desa orang-orang bilang tidur sore bisa bikin kita diganggu makhluk halus. Tapi, yang sebenarnya, tidur sore itu nggak bagus buat kesehatan. Kamu bisa insomnia nanti, dan kalau tubuh terus-terusan kecapekan tapi nggak punya pola tidur yang baik, kamu bisa gampang sakit,” lanjut ibunya.

Setelah menutup telepon, Nia duduk termenung. Pikirannya berputar-putar di antara kejadian yang baru saja ia alami dan nasihat ibunya. Rasa takutnya mulai beralih dari hal-hal mistis ke hal-hal yang lebih nyata: kesehatan tubuhnya. Nia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang bahaya tidur sore.

Hari-hari berikutnya, Nia tetap menjalani rutinitasnya di kampus, namun dengan perasaan yang berbeda. Ia tidak lagi menganggap remeh efek bahaya dari tidur sore menjelang maghirb. Setiap kali rasa lelah menyergap di sore hari, ia lebih memilih untuk membaca buku atau mencari kesibukan lain daripada tidur. Ia tidak ingin mengambil risiko mengalami mimpi buruk itu lagi atau sesuatu yang lebih menakutkan.

*****

Kisah yang dialami Nia mengingatkan kita akan pentingnya menghormati nasihat orang tua yang sering kali memiliki alasan di baliknya. Larangan tidur di sore hari, terutama menjelang maghrib, mungkin terdengar seperti mitos atau pamali, namun terdapat sisi ilmiah yang mendukung. Tidur sore terlalu lama dapat menyebabkan gangguan tidur seperti insomnia, memperburuk ritme sirkadian tubuh, dan berpotensi memicu masalah kesehatan seperti pikun dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Jadi, meskipun kehidupan modern seringkali membuat kita abai, ada baiknya untuk memperhatikan waktu istirahat kita, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan fisik dan mental.

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 12
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?