Penulis: Jemima Chloe – SMK Santa Maria
“Kamu keliatan panik, apa baru kali ini ke dokter?” tanya seorang laki-laki yang kurasa seumuran denganku.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan, karena aku baru sekali ini ke dokter dan aku merasa bingung dengan perasaanku.
“Aku Renzo. Aku sudah beberapa kali harus ke dokter sejak awal tahun. Jangan takut ya.”
Dia pun memberikan uluran tangan seolah mau mengajak berkenalan. Aku pun menyambutnya.
“Terima kasih. Aku Agatha. Salam kenal.”
Masa kecil Agatha dan Renzo tak bisa dibilang biasa. Meskipun keduanya bukan saudara, takdir telah mempertemukan mereka dalam sebuah rumah sakit sejak kecil. Keadaan serupa sering sakit-sakitan, membuat keduanya tak hanya dekat sebagai teman tapi juga sebagai sahabat yang saling memahami.
Setiap harinya, ketika salah satu dari mereka harus dirawat, yang lainnya pasti akan datang menghibur. Mereka berdua selalu saling mendukung, bercerita, dan menghibur satu sama lain. Kisah mereka adalah simbol dari cinta dan persahabatan yang tulus.
Tapi, takdir tak berpihak pada mereka. Ketika mereka memasuki masa remaja SMA, Agatha mengalami serangan yang membuatnya terbaring koma.
***
Dalam kegelapan yang tiada henti, Agatha sesekali merasa ada kehadiran Renzo di sisinya. Suara-suara sayup dari luar kenyataan menghampirinya, terutama suara Renzo yang selalu memintanya untuk kembali.
Suatu hari, kesadaran seakan mulai kembali pada dirinya. Agatha bisa mendengar suara dokter dan suster yang terdengar panik. “Bzzt… Bzzt… Bzzt,” suara itu terus menggema di telinganya.
Saat Agatha akhirnya benar-benar terbangun, entah berapa lama kemudian, ia mendapati dirinya di sebuah ruangan putih dengan sinar lampu putih yang menusuk matanya. “Sudah berapa lama aku tidur?” gumam Agatha. Namun, yang mencuri perhatiannya adalah sosok laki-laki di pintu ruangan, dengan raut muka yang gelisah dan mata yang merah. Sosok itu terasa familair tapi juga agak asing. Ada sesuatu yang berbeda. “Apakah itu Renzo?” gumamnya perlahan, sebelum kembali hilang kesadaran.
***
Ketika kembali tersadar, Agatha mendapati dirinya sudah kembali berada di kamar rawat biasa. Keluarganya tampak mengelilinginya dengan senyum lebar – mereka tampak sangat bahagia, tapi juga lelah. Agatha bisa melihat lingkaran hitam di bawah mata mereka. “Syukurlah! Kamu sudah benar-benar sadar,” sang ibu dengan suara serak memeluknya.
Tak lama, seorang pemuda didorong masuk dengan kursi roda. Pemuda yang pertama kali dilihat Agatha tersadar beberapa waktu lalu. “Apakah kamu Renzo?”
Pemuda itu mengangguk, tampak lebih lemah dari sebelumnya.
Renzo menatap Agatha dengan air mata yang menetes. “Kamu sudah benar-benar bangun,” bisik Renzo dengan suaranya yang parau. Agatha mengulurkan tangannya, dan Renzo meraihnya. Kehangatan menjalar di hati mereka berdua.
Lalu datanglah seorang dokter yang menghampiri Agatha dan Renzo, “Selamat pagi, Agatha. Kondisimu setelah operasi sangat baik. Untuk Renzo, yang sudah mendonorkan ginjalnya, jangan lupa untuk mematuhi semua hal yang saya sudah katakan sebelumnya ya. Jaga dirimu baik-baik, karena kondisi tubuhmu sendiri juga tidak terlalu kondusif.” Dokter pun pergi meninggalkan mereka berdua, meninggalkan Agatha yang terkejut.
Lalu Agatha pun menangis dan mengatakan “Kenapa kamu melalukan itu? Kamu kan juga berjuang dengan sakitmu sendiri, kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Aku gak mau kehilangan kamu!” Sambil menangis tersedu-sedu. Renzo meraih tangan Agatha yang gemetar dan memandangnya dengan penuh cinta. Dia menjawab dengan lembut, “Keluargamu terdekatmu sudah dites semua, tidak ada yang cocok. Ternyata, pada saat itu, ginjalku cocok dan kondisiku sedang cukup fit untuk mendonorkannya. Memang, setelah operasi itu, ada beberapa komplikasi yang aku alami, tapi tenang saja. Jangan pikirkan itu.”
Orang tua Agatha mendekati Renzo dan merangkulnya. “Mulai hari ini, anggap saja kami orang tuamu juga ya. Kami selamanya bersyukur atas pengorbananmu,” ujar ayah Agatha dengan suara gemetar.
“Om, aku melakukan ini karena peduli pada Agatha. Aku tidak bisa berpikir tentang hidupku tanpanya, dan aku tidak tahan melihat Agatha menderita.”
Agatha masih menangis, tapi senyum samar mulai merona di wajahnya. “Apa yang akan aku lakukan tanpamu, Renzo?” gumamnya dengan suara yang penuh emosi.
Renzo mengusap air matanya dan menjawab, “Kita akan menghadapi ini bersama-sama. Kamu tidak akan pernah sendirian. Aku akan selalu ada di sampingmu, sekarang dan selamanya.”
“Yakin selamanya?” Renzo terkekeh. Agatha langsung memelototi Renzo.
“Setidaknya, janji dulu, lulus SMA bareng ya? Banyak banget nih pelajaran yang harus kita kejar.”
“Siapa takut! Yuk, kita belajar bareng ya.”
***
Hari kelulusan pun tiba, pict by canva.com
Hari itu hari kelulusan SMA Nusa Bangsa. Semua siswa sedang berkumpul di lapangan sekolah sambil saling mencoret baju atau bertukar tanda tangan di Year Book. Tawa membahana dan keceriaan mengisi udara. Namun ada satu siswi yang tidak hadir di tengah keceriaan itu.
Agatha memilih menghabiskan hari kelulusannya di depan sebuah makam. Dua ijazah ia pegang, miliknya dan Renzo. Namun sungguh nestapa, Renzo tidak hadir secara fisik untuk menikmati hari kelulusan itu. Seminggu setelah ujian akhir, Renzo yang berjuang melawan penyakit bawaannya dari kecil, akhirnya harus menyerahkah nyawanya.
Hari ini, Agatha hanya bisa berdiri di depan batu nisan Renzo. “Hanya satu tahun ternyata kita bisa bersama; mungkin di kehidupan lain, kita bisa bersama sampai tua” ucap Agatha dengan suara yang lirih sambil meneteskan air mata.
Meskipun Renzo telah tiada, kenangan dan cinta mereka tetap abadi di hati Agatha. Dan Agatha telah berjanji pula di depan orang tua Renzo untuk melanjutkan hidupnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan kesempatan kedua yang sudah Renzo berikan. Ia akan menjadi sosok yang Renzo bisa banggakan, bahkan meskipun raganya sudah tidak di dunia ini.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.