Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta
Pagi yang cerah menyelimuti Salatiga. Saya dan Eyang Putri bersiap untuk perjalanan panjang menuju Malang, sebuah kunjungan yang telah lama dinanti. Mobil sudah dipenuhi barang bawaan, dan playlist lagu K-pop kesukaan saya siap mengiringi perjalanan.
Perjalanan baru dimulai ketika Eyang melirik saya dengan tatapan tajam. Suara dari speaker mobil bergema dengan melodi ceria yang tidak sesuai dengan seleranya. Tak ada protes yang terucap, tetapi saya dapat merasakan ketidaksukaannya. Dengan sedikit enggan, saya memutar tombol frekuensi radio, mencari sesuatu yang lebih bisa diterima.
Frekuensi akhirnya berhenti di sebuah stasiun yang memutar gamelan Jawa. Suara sinden melantun lembut, menyatu dengan bunyi tabuhan yang perlahan menghipnotis. Atmosfer di dalam mobil berubah, dari riang menjadi tenang, hampir seperti terkurung dalam mantra.
Waktu berlalu, empat jam telah berjalan. Aneh, stasiun radio ini tetap utuh. Sinyalnya tidak pernah terganggu, meskipun kami melintasi berbagai daerah. Saya mulai merasa ada sesuatu yang tak wajar. Biasanya, radio lokal hanya bertahan sebentar sebelum digantikan suara statis atau siaran lain.
Eyang tetap diam, matanya memandang lurus ke jalan. Namun, di sudut bibirnya terbersit senyum samar yang sulit saya artikan. Apakah ia merasakan hal yang sama?
Jam-jam berlalu, dan suara sinden itu masih menemani kami hingga tiba di Malang. Ketika mesin mobil dimatikan, hening menyelimuti. Saya merasa lega sekaligus tertekan, seperti ada sesuatu yang tertinggal di dalam mobil, sesuatu yang tak kasatmata.
Esok harinya, rasa penasaran membakar. Saya menyalakan radio berharap mendengar siaran yang sama, namun kali ini, hanya suara pop masa kini yang muncul. Tidak ada jejak gamelan. Tidak ada sinden.
Pertanyaan mulai berputar di kepala saya. Apakah saya telah membayangkan semuanya? Ataukah frekuensi itu hanya terbuka untuk perjalanan kami yang kemarin? Saya mencoba memutar-mutar knob, berharap keajaiban kembali. Tapi sia-sia.
Dalam perjalanan menuju Surabaya, jalanan terasa lebih sunyi. Bahkan suara kendaraan lain seolah teredam. Sekali lagi, saya mencoba mencari frekuensi itu, tetapi nihil. Eyang menatap saya sekilas, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang terucap.
Hingga kami kembali ke Salatiga beberapa hari kemudian, frekuensi itu tidak pernah muncul lagi. Perasaan ganjil terus membayangi. Radio di mobil kini seperti benda mati, tidak lagi membawa suasana magis seperti sebelumnya.
Saya menatap perangkat itu untuk terakhir kalinya malam itu. Cahaya redup dari lampu mobil memantulkan bayangan saya sendiri di layar kecilnya. Dalam hati, saya berbisik, “Mungkin, suatu saat nanti, kau akan kembali.”
Dan hingga hari ini, setiap kali saya mendengar suara gamelan, dada saya terasa sesak, seperti menyentuh bayangan sesuatu yang pernah nyata atau mungkin, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada.
*****
Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.