Penulis: Aurellia Khansa Sujatmoko Putri – Universitas Udayana
Sunners! Sudah pernah dengar tentang sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) belum? Selama ini, yang sering didengar adalah sunat bagi laki-laki. Namun, sunat perempuan sering kali tidak banyak diketahui oleh banyak orang, meskipun praktik ini masih dilakukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Menurut UNICEF, setidaknya 3,6 juta anak perempuan di seluruh dunia berisiko menjadi korban pemotongan alat genital setiap tahunnya.
Sunat perempuan, juga dikenal sebagai Female Genital Mutilation (FGM), merupakan praktik pemotongan sebagian atau seluruh bagian klitoris tanpa alasan medis. Praktik ini umumnya dilakukan pada anak perempuan berusia empat hingga empat belas tahun sebagai bagian dari upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF), terdapat sekitar 230 juta perempuan di dunia yang telah menjadi korban praktik ini.
Di berbagai belahan dunia, praktik ini lazim dilakukan, terutama di negara-negara Afrika seperti Somalia, Guinea, dan Mali. Di benua Afrika sendiri terdapat 144 juta kasus sunat perempuan, diikuti oleh Asia dengan 80 juta kasus, serta negara-negara Timur Tengah dengan 6 juta kasus.
Di Indonesia, sunat perempuan telah menjadi budaya yang mengakar bagi sebagian masyarakat. Penelitian UNICEF pada tahun 2016 menemukan bahwa 49% anak perempuan di bawah usia sebelas tahun telah menjalani praktik ini, dan 8 dari 10 kasus sunat perempuan direkomendasikan oleh orang tua.
Praktik ini masih tetap dilakukan, terutama karena alasan budaya atau tradisi yang telah dijalankan secara turun-temurun di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, masyarakat Bugis mengenal praktik ini sebagai Makkatte. Mereka percaya bahwa jika anak perempuan disunat, maka kelak ia tidak akan menjadi perempuan yang nakal saat dewasa.
Bagi masyarakat Gorontalo, praktik ini dikenal dengan istilah Mongubingo. Berbeda dari masyarakat Bugis yang melakukannya pada anak perempuan berusia empat hingga tujuh tahun, masyarakat Gorontalo melakukannya pada anak perempuan berusia satu hingga tiga tahun.
Dilansir dari kanal YouTube CNN Indonesia dalam “Sunat Perempuan: Dilema Tradisi dan Bahaya,” Dr. Muhammad Fadli, Sp.OG, menyatakan bahwa sunat perempuan sebaiknya tidak dilakukan. Efek samping dari praktik ini diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Pertama, immediate effect atau efek langsung yang terjadi saat praktik tersebut dilakukan, seperti pendarahan dan infeksi saluran kemih. Lebih parahnya lagi, hal ini dapat menyebabkan syok hingga kematian. Kedua, long-term effect atau efek jangka panjang, termasuk pembentukan keloid atau bekas luka, serta nyeri kronis pada organ vital perempuan. Ketiga, sexual effect atau efek seksual, di mana keloid atau bekas luka dapat mempengaruhi kehidupan seksual anak perempuan di masa depan, menyebabkan dispareunia atau nyeri saat berhubungan badan.
Meskipun praktik ini masih berlangsung hingga saat ini, pemerintah Indonesia telah mengatur dengan tegas terkait pelaksanaan praktik pemotongan alat genital perempuan. Hal ini diatur dalam Pasal 102A Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan Reproduksi, yang menyatakan penghapusan praktik sunat perempuan.
Selain itu, praktik Female Genital Mutilation (FGM) juga dibahas dalam Resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun 2008, di mana WHO mendukung negara anggotanya untuk menghentikan praktik ini.
Dalam hal ini, diperlukan peran dari seluruh sektor pemerintahan dan berbagai elemen masyarakat untuk menghentikan praktik sunat perempuan. Terlebih lagi, orang tua yang memegang peran krusial dalam tumbuh kembang anak-anak sepatutnya memiliki edukasi yang lebih luas terkait praktik ini. Sudah sepatutnya praktik ini dihapuskan, karena sunat perempuan tidak memberikan dampak positif bagi kesehatan organ genital anak perempuan. Sebaliknya, praktik ini justru menimbulkan berbagai komplikasi kesehatan bagi anak perempuan itu sendiri.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.