Penulis: Wulan Nur Afrilia
Telah terhenti kaki bak terpaku pada bumi
Kudekap diri lalu berjalan tertatih ke rumah Ilahi
Niscaya inilah hukuman-Nya
Hukumanku yang diberatkan berlipat-lipat
Menghadap Tuhanku berlutut meletakkan dahi pada lantai pualam
Janji yang kubuat sudah aku ingkar
Hina rasaku pendosa tak tahu dimalu
Bahwa kataku ‘tak akan aku mencinta hamba melebihi penciptanya’
Tapi apa?
Tuhan tanya pada beratnya nurani ikhlaskan kau pergi
Dan menangis pun semakin cela lalu kuputuskan untuk tidak bersuara
Berhari-hari sunyi menemani
Menyulam menjadi sangkar kian nyaman yang tak kuizinkan bayangmu bertandang
Maaf sayang,
Aku ingin namun jika kuteruskan bukan hanya aku melainkan kita yang akan diganjar
Maka dalam kata sayang yang berlebih-lebih
Tetapi tak melebihi rasaku pada-Nya
Aku berhenti
Kuserahkan pada-Nya dan padamu yang insyaallah aku ikhlas walau batin tersedu
Dalam dialog subuh yang bermaksud menyudahi
Atau paling tidak meringankan dengan tatap sesal
Dan kaki mulai pegal kesemutan
Bahkan saat bulir-bulir jatuh hinggap pada bulu mata
Tak pernah kuhapus agar aku tahu aku salah
Kau kata berusahalah saat pintu-Mu terbuka
Walau nyatanya hening dan kelam yang hanya tampak
Bahwa hasil hanya ada bagi yang mencoba
Lalu kubulatkan tekad tapi sekarang tiada guna
Iya hamba salah.
Dan rekaan adegan yang kuputar lagi dengan dialog kamu dan aku
Yang setengah hati pada ruang tertutup dan sempit berselimut sepi
Aku sudah katakan berkali-kali
Demi kamu dihati dan Tuhan di helaan nafas ini
Disambut gamang diperjelas ‘aku denganmu adalah bukan aku’
“Kau tak akan dapat jika tangan-Ku tidak ikut campur.
Jangan sombong hamba-Ku
Jangan sombong.”
Itu Tuhan.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.