Penulis: Fidya Damayanti – Universitas Negeri Jakarta
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Hembusan angin yang berasal dari laut mengibaskan dedaunan dari pohon yang berada di samping rumah panggung itu. Ujung dahan dan dedaunan saling bergesekan dengan atap rumah menimbulkan suara desiran aneh yang mengganggu. Seorang anak kecil melangkah gembira karena mendapatkan bingkisan nasi kucing dari rumah temannya.
Ia baru saja pulang setelah adzan magrib berkumandang. Perlahan ia mendaki tangga dari bebatuan yang tercampur tanah merah sambil bersiul untuk mencairkan suasana. Pepohonan yang mengerumuninya terlihat lebih menyeramkan malam itu. Lambat laut anak kecil itu mendengar suara asing yang bukan berasal dari gesekan dedaunan.
Ia menoleh ke kanan dan kekiri sambil mencari sumber suara itu, hingga akhirnya di sudut pepohonan yang berada di dekat tebing mata anak kecil itu menangkap sosok makhluk besar berbulu. Makhluk itu berjalan lambat dengan kaki yang terseret karena membawa beban dibadannya.
Awalnya anak kecil itu mengira makhluk tadi hanya seekor kera, tapi tiba-tiba saja ia mendengar suara rantai yang saling bertabrakan diantara bebatuan. Sangat keras dan nyaring bersamaan dengan geraman menakutkan dari makhluk itu. Kedua mata anak kecil itu terbelalak. Segera ia berlari ke atas bukit untuk mencari rumahnya. Ia berlari, lalu berteriak sampai menelan air matanya sendiri. Sejak malam itu banyak warga yang melarang anaknya keluar rumah di malam hari.
Hutan yang Menyeramkan di Kala Malam Hari, pict by canva.com
Suara klakson nyaring dari kapal terdengar lantang sampai ingin menghancurkan gendang telinga. Kelopak mata terangkat dan menatap langit-langit kamar yang hampir bisa disentuh. Tubuh lemas dengan kepala yang berat karena ombak laut membuat tidur Ian tak nyaman. Keramaian penumpang yang tengah membereskan alat mandi, tempat tidur, dan koper besar itu mengganggu pemandangan.
Akhirnya Ian memilih untuk keluar dengan susah payah menembus penumpang lain yang heboh di setiap lorong kapal. Saat itu Ian tak sengaja menabrak bahu seorang anak yang lebih muda dibandingkan usianya. Tatapan anak itu sinis dengan bibir yang menggerutu. Mungkin anak tadi mengumpat, tapi Ian hanya melengos pergi karena tak mengerti bahasanya.
Aroma khas laut menyegarkan tubuh Ian. Hembusan angin dan sinar mentari yang hangat rasanya seperti di tengah musim panas. Laut itu seperti lukisan di kamar tidur Ian, sangat biru dan jernih. Tatapan teralihkan dengan pelabuhan yang sudah ramai menanti kedatangan penumpang. Ian senang bisa tiba di kampung halaman karena ini pertama kali baginya.
Kampung ini berada di suatu pulau ditengah-tengah laut dan jauh dari daratan lainnya. Muncul kekhawatiran dibenak Ian. Apa ia akan baik-baik saja selama satu minggu? Memang tidak ada kegelisahan karena ia sendiri sedang liburan semester. Hanya saja Ian mulai mempertanyakan sinyal dan listrik di kampung itu. Maklum orang kota.
Setibanya di pelabuhan para penumpang tak sabar mengantri untuk turun, sedangkan Ian hanya asik dengan kamera ponselnya. Saat menyeret koper menuju tempat teduh seorang kenalan ayah Ian menghampirinya.
“Ian ya? Ayo sini saya anter ke rumah,” ucapnya.
Ian hanya mengangguk dan menerima bantuan bapak itu yang akan mengantarkannya ke rumah paman Ian. Ia menginap di rumah pamannya yang berbentuk panggung di atas perbukitan. Selama menanjak, Ian melirik pepohonan yang lebat di belakang rumah pamannya.
“Mungkin karena masih siang tempat itu tidak menyeramkan”, batin Ian.
Keadaan Hutan Lebat di Siang Hari, pict by canva.com
Di rumah sang paman, Ian berkenalan dengan keluarga jauhnya dan merapihkan pakaian yang menumpuk di dalam kopernya. Jam menunjukkan pukul dua siang dan Ian memilih untuk beristirahat sebelum pergi ke pantai. Selama tidur siang perasaan Ian tidak enak, bahkan ketika bangun pun badannya terasa berat.
Ia berfikir mungkin karena perjalanan yang panjang di kapal. Tanpa berfikir lebih jauh Ian pun pergi makan dan meminjam motor pamannya untuk pergi ke pantai bersama beberapa kenalan barunya. Sebelum pergi, pundak ian ditepuk tiga kali oleh sang paman sampai ia menoleh.
“Pulang sebelum magrib,” pesan sang paman.
Ian hanya mengangguk dan pergi bersama ke pantai yang terletak di pinggiran pulau. Jalanannya penuh bebatuan dan pasir kerikil yang membuat Ian kesulitan dalam mengendarai motornya. Usaha ia tak sia-sia ketika matanya bertemu dengan pemandangan pantai yang sudah lama ia idamkan. Rasanya Ian lepas dari segala beban dan masalah ketika menyentuh pasir pantai. Ia bermain air sampai membakar ikan bersama kenalannya.
“Udah mau magrib,” celetuk salah satu lelaki diantara mereka.
Tiba-tiba Ian teringat pesan pamannya untuk pulang sebelum magrib, tapi rasanya ia belum puas untuk menikmati sunset di pantai. Ide nakal terlintas begitu saja dibenaknya. Ian memilih untuk beristirahat lebih lama di pantai karena perutnya begah dan menyuruh mereka semua pulang lebih dulu. Raut wajah mereka semua berubah seakan ada kilatan gelap dari balik pupil mata.
“Awas nanti kau jumpe same si beruk berantai!” ucap mereka.
Langit sudah gelap dan Ian memilih untuk pulang karena ocehan sang paman melalui telepon tadi. Selama perjalanan Ian hanya bisa menggerutu karena tak biasanya ia dilarang bermain terlalu lama. Biasanya di kota Ian selalu pulang hampir tengah malam dan tak perduli dengan mitos atau pamali. Hidupnya sudah modern dan untuk apa mempercayai hal itu?
“Ini kampung masih percaya sama mitos kah? Jam segini udah sepi banget!” ucap Ian sambil mengendarai motornya.
Jalanan yang tadinya berpasir dan bebatuan kini sudah menjadi aspal. Ian mulai meningkatkan kecepatan motornya dan fokus menghadap lurus kedepan sampai tiba-tiba seekor kera muncul dari balik hutan dan dengan santainya menyebrang jalanan. Ian mendadak menginjak rem dan menatap kera hitam kecoklatan itu.
Tubuhnya dipenuhi luka dan rantai besi berukuran besar. Kakinya terlihat patah karena terlilit rantai. Setiap kera itu melangkah, bunyi rantai yang bergesekan dengan jalanan itu terdengar menakutkan. Ian terdiam cukup lama sampai ia menekan klakson motor agar kera itu bisa cepat pergi.
“Huss!! Huss!!! Pergi lo monyet!!” teriak Ian mencoba mengusir kera itu.
Bunyi dari rantai itu terhenti dan wajah dari kera itu perlahan menoleh ke arah Ian. Sangat pelan dan berbunyi seperti tulang yang remuk. Kedua matanya merah menyala dengan gigi yang terlihat seperti jeruji besi. Tak lama tubuhnya membesar dan rantai yang melilit di kaki kera itu pun ditarik, lalu diayunkan bak koboi. Suara tawa yang mengerikan membuat Ian keringat dingin dan ketakutan.
Sosok Beruk Digambarkan Dengan Tubuh yang Besar, pict by canva.com
Konon katanya, seekor makhluk seperti monyet atau kera yang selalu membawa rantai akan muncul setiap selesai adzan magrib. Penghuni kampung itu menyebutnya beruk berantai dan sering melintasi jalanan untuk mencari anak muda yang masih berkeliaran.
Sosok beruk berantai ini diceritakan langsung oleh ayah aku yang berasal dari kampung tersebut. Percaya atau tidak, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT kita harus menghargai satu sama lain dan menjaga iman dari godaan-godaan negatif.
Ingat! Jangan keluar setelah adzan magrib.
*****
Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.