Majalah Sunday

Gerbong Kereta di Tengah Malam

Penulis: Pelangi Adelia Primadiani – Universitas Kristen Indonesia

Arleta berlari secepat mungkin melalui stasiun Manggarai, dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Jam sudah menunjukkan pukul 23:30 malam, dan satu-satunya kereta terakhir menuju Bekasi di peron 8 akan berangkat pada pukul 23:49. Arleta tahu betapa pentingnya untuk tidak melewatkan kereta ini, karena jika ia tertinggal, pilihan transportasinya untuk pulang ke rumah akan sangat terbatas, terutama pada malam hari seperti ini.

Sambil berlari, Arleta memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Ia merasa khawatir akan kehilangan kereta tersebut dan harus mencari alternatif transportasi yang mungkin memakan waktu lebih lama. Di tengah-tengah kegelapan stasiun yang sepi, ia berusaha untuk mempercepat langkahnya.

Dengan detik-detik yang semakin berkurang, Arleta akhirnya tiba di peron 8 dengan napas yang tersengal-sengal. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 23:47. Ia berharap bahwa kereta terakhir menuju Bekasi akan tiba tepat waktu.

Tak lama, terdengar suara rem kereta yang menggema di Stasiun Manggarai. Arleta yang telah mengejar waktu dengan wajah kelelahan, berbalik ke arah Bapak security yang berdiri tegak di samping rel kereta. Dalam kegelapan, cahaya lampu stasiun menyoroti wajahnya yang penuh keringat. Dengan nada tergesa-gesa, ia bertanya kepada petugas keamanan, “Ini kereta ke Bekasi ya, Pak?”

Petugas keamanan yang tampak tenang meskipun sudah tengah malam, mengangguk dan menjawab, “Iya, Kak. Kereta ini menuju ke Bekasi, dan ini kereta terakhir untuk malam ini.”

Dengan lega mendengar jawaban tersebut, Arleta berkata, “Baiklah,” seraya meloncat pelan untuk memasuki gerbong kereta yang kosong.

Gerbong kereta di tengah malam terlihat sepi. Arleta memilih kursi yang terletak di tengah gerbong agar tidak terlalu terkena hembusan angin dingin dari luar. Udara malam yang menusuk itu membuatnya merapatkan jaket jeansnya, mencoba untuk merasa hangat dalam perjalanan yang sebentar lagi akan dimulai.

Tak lama setelah kereta mulai bergerak, Arleta melihat ke sekelilingnya yang sepi kemudian ia memutuskan untuk menikmati momen yang tenang ini dengan memejamkan mata sejenak. Rasa lelah akhirnya mulai terasa menghampirinya. Sepanjang hari, Arleta sudah sibuk bekerja sebagai part-timer di salah satu cafe di daerah Tebet. Rasanya seperti semua tenaga dan semangatnya sudah habis menghilang entah kemana.

Ia bekerja dari mulai pukul 15:00 sore dan berakhir pada pukul 23:00 malam, yang biasanya berlangsung dari hari Senin hingga Minggu. Setelah selesai bekerja, Arleta biasanya pulang ke kosannya yang berlokasi di sekitar Cawang. Namun, pada Minggu malam ini, jadwalnya berbeda, ia berniat untuk pulang ke rumahnya yang ada di Bekasi. Ia ingin bertemu dengan keluarganya dan makan masakan mama nya yang sudah ia rindukan dari beberapa minggu yang lalu. Selain itu, karena Senin adalah hari libur, ia memanfaatkan kesempatan ini untuk berkumpul dengan keluarga dan menikmati waktu bersama.

gerbong kereta di tengah malam, cerpen, cerita pendek, horror

Malam ini, seharusnya Arleta bisa pulang tepat waktu setelah menyelesaikan tugasnya di cafe. Namun, takdir berkata lain karena sempat ada salah hitung omset hari ini. Jadi mau tidak mau, Arleta harus tetap berada di cafe lebih lama dari biasanya, sehingga ia terpaksa harus kejar-kejaran dengan jam kereta terakhir yang menuju ke rumahnya.

Kereta berhenti di salah satu stasiun, entah stasiun apa. Dalam keheningan gerbong, Arleta membuka mata saat merasakan ada orang lain yang masuk. Seorang laki-laki dengan wajah dingin dan tanpa ekspresi berjalan lambat masuk dan duduk di kursi seberang dari tempat Arleta duduk. Di belakang laki-laki itu, ada seorang perempuan yang ia tebak berusia sekitar 16 tahun, karena wajahnya terlihat jauh lebih muda darinya. Perempuan itu memegang seorang bayi di tangannya. Ketika mata mereka bertemu, perempuan itu tersenyum ramah padanya, dan Arleta dengan hangat membalas senyumannya. Perempuan tersebut dan bayinya duduk di sebelah laki-laki berwajah dingin tersebut.

Laki-laki itu tampak asyik dengan handphonenya, seolah-olah tidak menyadari keberadaan Arleta yang memperhatikan mereka. Kemudian Arleta memilih kembali mencoba untuk tidur, menyadari bahwa perjalanan ini masih jauh. Udara malam yang semakin menusuk membuat jaket jeansnya terasa kurang cukup untuk menahan dinginnya malam itu.

“Oeee.. Oeee…” Suara tangisan bayi memenuhi gerbong yang tadinya sepi. Arleta memicingkan matanya dan memperhatikan orang-orang yang ada di seberangnya. Perempuan tersebut sibuk menepuk-nepuk lembut tangan bayi yang terletak di pangkuan pahanya, berusaha keras untuk menenangkan bayi itu yang masih terus menangis dengan keras. Sedangkan laki-laki yang duduk di sebelahnya hanya diam, tampak tidak ingin membantu menenangkan bayi itu. Wajahnya masih dingin dan tidak menunjukkan reaksi apapun terhadap tangisan bayi itu.

Arleta berusaha keras untuk mengabaikan suara bayi yang berisik itu. Namun, ternyata tangisan bayi itu tidak juga berhenti, dan kebisingannya mulai mengganggu Arleta.

“Uh, berisik sekali, mau tidur jadi ga bisa,” gerutu Arleta pelan. Ia merasa frustrasi karena tidak bisa tidur nyenyak di dalam kereta yang semakin terasa dingin.

“Ehem,” karena semakin terganggu, Arleta pun dengan sengaja berdeham kencang, seolah ingin menegur laki-laki yang duduk di seberangnya yang tampak acuh terhadap situasi ini. Laki-laki itu melirik ke arah Arleta sebentar, tetapi kemudian kembali asik bermain dengan handphonenya.

Perilaku laki-laki tersebut membuat Arleta semakin gemas dan prihatin. Ia merasa kasihan pada perempuan itu yang tampak panik mencoba untuk meredakan tangisan bayi itu dengan penuh usaha, sedangkan laki-laki di sebelahnya malah tampak tidak peduli sama sekali. Arleta mencoba merenung tentang hubungan di antara mereka berdua, apakah mereka adalah pasangan suami istri atau ada hubungan lain yang membuat mereka berdua bersama di kereta ini.

Meskipun Arleta mencoba merenung dengan pikirannya sendiri, situasi di dalam gerbong tetap terasa tegang. Suara bayi yang menangis itu terus berlanjut, dan perempuan itu semakin panik.

“Eh, apa benar dia istrinya ya? Tapi kok aku sok tau sekali,” gumam Arleta dalam hati, berusaha mencari tahu. “Tapi kayaknya enggak deh, mungkin aja dia adiknya, karena kalo diliat dari wajah dan perawakannya, jelas-jelas umurnya jauh sekali dengan laki-laki itu.”

Ia melirik jam di tangannya, menunjukkan pukul 00.20. “Ini sudah dimana ya? Harusnya sih sudah mau sampai,” gumam Arleta dengan kebingungan. Ia menoleh ke arah luar kereta, tetapi suasana sangat gelap, dan Arleta kesulitan untuk menebak di mana mereka berada saat ini karena kereta terus berjalan dengan laju yang sangat kencang.

Bayi itu masih terus menangis, dan perempuan itu juga terlihat mulai menangis kecil karena keputusasaannya dalam menenangkan bayi itu. Arleta jadi merasa sangat kasihan melihatnya, ia ingin bertanya apakah bayi itu sakit atau ada masalah lain, tetapi ia cukup takut untuk bertanya karena wajah judes dan dingin dari laki-laki di sebelah mereka yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Katena tangisan bayi yang meyayat itu tak juga berhenti, alhasil Arleta tak bisa kembali tidur.

“Keep your own business, Leta,” Arleta mengingatkan dirinya sendiri supaya tidak terlalu kepo atau mencampuri urusan mereka.

Namun, tangisan bayi yang menyayat hati itu tidak juga berhenti, membuat Arleta kesulitan untuk mencoba kembali tidur.

“Main handphone aja deh,” pikirnya. Ia kemudian memutuskan untuk mencoba mengalihkan perhatiannya dengan bermain handphone, tetapi saat melihat baterainya yang hanya tinggal 10 persen, ia mengurungkan niatnya. Ia harus menghemat baterai handphonenya untuk memesan gojek setelah sampai di Stasiun Bekasi nanti.

Matanya kemudian kembali terfokus pada pemandangan di luar yang terlihat melalui jendela kereta. Di luar, terlihat gelap dengan sesekali lampu jalan atau rumah-rumah di pinggir rel yang berlalu cepat. Bayi itu masih terus menangis, dan Arleta merasa semakin tidak bisa mengabaikan suara yang menyayat hati itu.

“Mungkin bayinya kedinginan,” Arleta menghela nafas, ia tidak berani mengusik laki-laki itu lagi, jadi ia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya ke jendela kaca seberang tempat mereka duduk. Ia pikir akan lebih baik memperhatikan mereka lewat kaca jendela saja.

Namun, tiba-tiba,

“Drrg!” Jantung Arleta berdegup kencang, dan ia membuka matanya dengan cepat. Ia melihat kembali ke arah kaca jendela seberang, merasa ada yang tidak beres.

“Ada yang aneh!” desisnya dengan suara pelan, sambil memicingkan matanya untuk memastikan.

“Dug… Dug… Dug…” Jantungnya semakin berdegup kencang, dan keringat dingin secara refleks mulai keluar dari seluruh telapak tangannya.

Laki-laki itu muncul di tampilan kaca jendela kereta, tetapi perempuan yang menggendong bayi itu tidak ada di sana. Arleta, yang merasa semakin curiga, menolehkan kepala dengan cepat ke arah kursi tempat mereka sebelumnya duduk. Perempuan itu masih ada di kursi tersebut, masih menangis dengan sesugukan, sambil tangannya terus menepuk bayi yang menangis itu.

Arleta mengerjapkan matanya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Ada apa ini? Apakah aku bermimpi?” gumamnya.

Secara tiba-tiba, perempuan itu mendongakkan kepalanya dan otomatis bertatapan dengan Arleta yang masih memandang mereka dengan bingung. Tatapan perempuan itu seperti memiliki kekuatan yang bisa menghipnotisnya dalam beberapa saat. Rasanya seolah-olah tatapan itu menusuk kedalam hatinya dan memaksanya untuk memahami sesuatu. Saat itulah Arleta baru menyadari bahwa perempuan dan bayi itu adalah hantu, bukan manusia. Rasa takut dan ketakutan mendalam menyelinap dalam dirinya, menggigilkan tulang dan menggugah bulu kuduknya.

gerbong kereta di tengah malam, cerpen, cerita pendek, horror

Tiba-tiba terdengar suara di speaker kereta yang menyampaikan bahwa kereta telah sampai di Stasiun Bekasi. Arleta tersadar dari lamunannya dan segera mengalihkan pandangannya kembali ke luar. Suasana Stasiun Bekasi sudah mulai terasa, dan kereta mulai melambat ketika mendekati peron stasiun. Arleta merasa tegang, ia tidak berani menengok ke belakang, ke arah orang-orang di seberangnya.

Setelah kereta akhirnya berhenti, ia memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya, dan ia ingin memastikan apa yang telah ia lihat sebelumnya. Dengan hati-hati, ia mengalihkan pandangannya ke arah seberang jendela kursinya, namun perempuan dan bayi itu sudah tidak ada lagi. Hanya ada laki-laki itu yang juga sedang beranjak menuju pintu keluar kereta.

Dengan perasaan campur aduk, ia bergerak keluar dari gerbong kereta dan menuju pintu keluar, masih terbayang oleh pengalaman yang sangat aneh dan menakutkan di dalam kereta tadi.

Arleta sengaja berjalan dengan pelan, membiarkan laki-laki itu berjalan di depannya. Saat mereka tiba di pintu keluar, laki-laki itu bergegas menuruni tangga dan melangkah menuju parkiran motor, sedangkan Arleta hanya memandangi laki-laki itu dari atas tangga, masih terpikirkan oleh pengalaman misterius yang baru saja dialaminya.

“Kenapa, Neng? Kok bengong?” Tiba-tiba, seorang petugas keamanan stasiun sudah berdiri di sampingnya, dan ia melihat wajah pucat Arleta. Petugas tersebut langsung panik, “Eh, kenapa, Neng? Gak kecopetan atau habis kena hipnotis kan?” Tanya bapak itu dengan khawatir, mencoba memastikan bahwa Arleta dalam kondisi yang baik-baik saja.

“Eh enggak pak, cuma kaget aja soalnya tadi di kereta kayak liat sesuatu,” Arleta menjawab dengan ragu, berusaha menjelaskan kejadian yang baru saja ia alami.

“Dimana? Di gerbongnya, Neng? Liat apaan? Hantu tanpa kepala atau hantu perempuan gendong bayi?” petugas keamanan itu bertanya dengan rasa penasaran.

Mata Arleta terbelalak, “Eh bener Pak, saya liat itu.”

“Itu yang mana, Neng?” Petugas keamanan itu bertanya lagi.

“Yang hantu perempuan bawa bayi, masih muda kan perempuannya, Pak?”

“Oh iya, itu kayaknya hantu baru deh,” Petugas keamanan itu berjalan menuruni tangga, Arleta kemudian menngikutinya dengan cepat karena ingin memdengar kelanjutan dari ceritanya.

“Hantu baru, Pak? Maksudnya?”

“Iya, kayaknya itu perempuan yang sebulan lalu lompat ke rel waktu kereta lagi lewat, dia bunuh diri sambil gendong bayinya yang baru berusia 2 bulan.”

“Ya Tuhaan…” Arleta menahan airmatanya, selintas teringat wajah perempuan itu yang menangis mencoba menenangkan bayi tadi saat di kereta. 

“Kata orang-orang kampung tempat perempuan itu bunuh diri, perempuan itu umurnya masih 15 atau 16 tahun gitu, putus sekolah karena keluarganya gak mampu terus nikah sama tetangganya sendiri. Nah abis lahiran, mungkin dia nya stres, capek, kalo kata orang-orang sekitar mah bilangnya blues blues gitu.” Jelas petugas keamanan itu.

“Oh baby blues,” Arleta mencoba membenarkan ucapan petugas keamanan itu.

“Nah eta,”Jawab si petugas keamanan dengan logat sunda campur betawi.  “Kan kata orang-orang kalo ibu-ibu baru lahiran pasti bakal kena baby blues, yang bisa bikin jadi depresi terus ada keinginan buat bunuh diri, mana suaminya juga katanya cuek pisan euy, gak mau bantuin ngurus bayinya, jadi stres ceunah.” 

“Iya sih, Pak. Apalagi dia masih umur segitu, kasihan.”

“Iya kasihan ibu sama bayinya. Yah kita doain aja lah neng semoga arwahnya bisa pelan-pelan tenang terus gak nampakin diri di gerbong buat ngikutin suaminya kalo lagi di kereta,” Ujar petugas keamanan itu dengan tulus.

“Oh, jadi banyak juga dong yang liat penampakan ibu muda ini dan bayinya waktu di gerbong?” Arleta bertanya dengan penasaran.

Petugas keamanan itu mengangguk, “Iya, ada beberapa orang yang liat sih, Neng. Terus cerita ke sana kemari, ya bapak jadi tau. Bapak tuh gak pernah liat, semoga sih gak bakal liat deh.”

Arleta tersenyum masam. 

“Ya udah bapak duluan ya, Neng, jadwal shift bapak udah habis soalnya.” Lalu petugas keamanan itu pun pergi meninggalkannya. 

Arleta menghela nafas berat, sambil memesan gojek di handphonenya. Saat itu, ia kembali mengingat wajah perempuan itu, terutama tatapan yang menusuk dan meminta tolong. Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi. Ia segera mengarahkan pandangannya ke sekeliling, mencari sumber suara tersebut, namun tidak ada bayi atau anak kecil di sekitar parkiran stasiun.

Arleta merasa cemas dan cepat-cepat meninggalkan area stasiun menuju area yang lebih ramai. Ia berharap bahwa minggu depan atau pada minggu-minggu berikutnya saat jadwalnya pulang ke rumah pada malam minggu, ia tidak akan bertemu lagi dengan laki-laki itu bersama perempuan dan bayinya. Tubuhnya masih merinding seraya meninggalkan stasiun yang sudah hampir tengah malam. Ia berharap agar dapat melupakan pengalaman yang menyeramkan di kereta dan Stasiun Bekasi ini.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 229
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?