Majalah Sunday

Friend Request: Rahasia Teman Virtual

Penulis: Salshabilla Febrian

Kita semua pasti tidak asing dengan konsep pertemanan— bahkan, kita semua pasti memiliki satu, dua, atau lebih orang yang kita anggap sebagai teman di setiap fase kehidupan kita. Dengan dasar sebagai seorang mahkluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, manusia butuh bersosialisasi dengan orang-orang yang ada di sekitar mereka dan membentuk hubungan yang baik dengan mereka. Lalu, hubungan baik yang terjalin antara manusia dengan manusia lainnya ini akan membentuk sebuah ikatan yang kita semua kenal sebagai “pertemanan”, yang mana dua pihak yang terlibat mengganggap yang lain sebagai teman atau bahkan sahabat.

Lalu, bagaimana jika teknologi mulai masuk dan mempengaruhi konsep pertemanan ini?

Apakah benar kamu bisa mempercayai teman virtul yang berada di balik layar ponsel kalian ataukah kalian salah satu korban dari tipuan mereka?

Sosial media. Kita semua tidak asing dengan keberadaannya di kehidupan kita sebagai masyarakat modern. Sosial media telah menjadi bagian dari identitas kita sebagai masyarakat, di mana kita selalu menggunakannya untuk membentuk identitas kita menjadi lebih baik juga membentuk identitas baru yang mungkin belum dikenal oleh orang lain di sekitar kita. Selain itu, sosial media juga memiliki konsep yang menarik perihal pembentukan identitas baru, di mana kita bisa menunjukkan diri kita sebagai orang lain tanpa wajah maupun identitas sah kepada semua pengguna internet. Hal itu disebut anonimitas, dan sosial media juga internet telah mendukung keberadaannya sejak lama. Karena dukungan besar atas konsep anonimitas ini, banyak masyarakat dari seluruh dunia yang mendukung keberadaan platform-platform sosial media dan situs yang ada, dan membentuk sebuah identitas baru yang bisa menjaga privasi mereka dari orang lain untuk menghindari kejadian buruk maupun hanya sekedar menghindari rasa cemas dan rasa malu dalam bersosialisasi dengan orang lain di internet.

Meskipun sangat baik dalam membuat masyarakat bisa mengekspresikan diri mereka sendiri, konsep anonimitas ini juga seringkali membawa banyak masalah bagi banyak pengguna internet di seluruh dunia.

"Kau bisa menjadi siapa saja di internet." - Anonymous

Kalimat tersebut merupakan kalimat yang sering diucapkan oleh banyak pengguna internet di seluruh dunia dalam berbagai bahasa. Namun, sepertinya seorang bocah berumur 13 tahun asal Amerika Serikat yang tidak sengaja bertemu dengan aplikasi sosial media Discord tidak mengetahui makna dalam dari kalimat tersebut.

Bermula dari keinginan untuk bertemu dan berbicara dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama untuk gim favoritnya, dia mengunduh aplikasi sosial media dan komunitas, Discord, karena banyak YouTuber favoritnya mengatakan bahwa mereka mengenal teman-teman satu tim mereka melalui Discord. Setelah mengunduh aplikasi tersebut, ia mencari keberadaan komunitas gaming di browsernya, dan bertemu dengan komunitas berisikan sepuluh ribu anggota aktif di dalamnya. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk masuk ke dalam komunitas tersebut. Banyak notifikasi mulai muncul di layar ponselnya hanya dalam waktu satu menit setelah memasuki komunitas itu. Banyak sekali orang yang berbicara, itulah pikirnya. Dengan perasaan gembira dan keinginan besar untuk membentuk koneksi baru dengan orang yang menarik, ia mulai mengenalkan dirinya kepada orang-orang dalam komunitas tersebut.

Ding!

Tidak lama setelah itu, terdapat notifikasi masuk di ponselnya, tertulis bahwa seseorang mengirimkannya pesan pribadi. Ia mengenalkan dirinya sebagai “John” kepada bocah polos itu dan juga mengatakan bahwa ia sangat tertarik dengan banyak gim ponsel dan komputer. Tentu saja, rasa girang memenuhi tubuh dan hati sang bocah, tanpa pikir panjang, ia membalas pesan John. Lambat-laun, semakin banyak hari mereka lewati bercengkrama berdua, hubungan mereka menjadi semakin dekat— sangat dekat hingga mereka bisa berbagi permasalahan pribadi mereka dengan satu sama lain tanpa adanya nasihat buruk. Akan tetapi, di suatu hari, John mulai bertingkah aneh, seakan-akan ada masalah yang menimpanya di dunia nyata— dan benar saja, ternyata John mengatakan bahwa ia sedang mengalami masalah yang sulit dan ia tidak bisa keluar dari masalah ini sampai bocah itu membantunya. Satu kalimat keluar dari John kepada Sang Bocah:

Kirimkan foto seksimu, dan aku pasti akan bisa keluar dari masalah rumit ini." Ketik Sang Teman Virtual

Panik dan penuh dengan keinginan untuk bisa membantu dan menjadi pahlawan teman baiknya ini, Sang Bocah mengirimkan apa yang diinginkan oleh John tanpa berpikir panjang. Tidak lama setelah itu, John mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja. Itu membuat Sang Bocah senang. Tentu saja. Tapi, tiba-tiba foto Sang Bocah mulai tersebar dimana-mana, khususnya komunitas licik berisi orang-orang dewasa berumur di atas delapan belas tahun yang menertawakan dan menyuruh John untuk mendapatkan lebih banyak foto lagi. John menyuruh teman-temannya untuk berhenti dan berhenti memanggilnya John karena itu bukan nama aslinya.

Begitulah kisah banyak anak-anak di bawah umur saat mereka memasuki sosial media untuk pertama kalinya— bertemu dengan orang asing yang mereka pikir adalah teman, tetapi teman tersebut hanya menginginkan sesuatu dari mereka dan menunggu hingga saat yang tepat untuk mendapatkannya. Tidak hanya foto vulgar yang orang-orang ini inginkan, tetapi informasi pribadi juga uang, atau bahkan memaksa korban melakukan tindakan asusila yang bisa membuat mereka ditindak pidana. Mereka memanfaatkan pikiran polos dan naif anak-anak di bawah umur untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan mereka tahu bahwa anak-anak ini tidak akan mudah untuk jatuh ke dalam pelukan hangat dan mudah dipercaya orang tua dan polisi karena mereka pasti lebih percaya orang yang “berteman” dengan mereka daripada orang lain yang ada di sekitar mereka, khususnya jika “teman” ini memiliki sesuatu yang mereka tidak ingin tunjukkan kepada orang-orang sekitar. Contoh korban nyata dari kasus ini adalah Evan McConey dan teman daringnya, Hunter Fox.

Selain memberikan tipu muslihat terhadap identitas seseorang dengan konsep anonimitasnya, orang yang menjadi teman daring atau online friend kita ini juga bisa merubah perspektif kita terhadap apa itu pertemanan yang baik dan buruk, bahkan merubah seluruh pemikiran kita yang baik menjadi buruk. Dengan keberadaan teman daring di hidup kita, kita akan selalu berpikir bahwa kita tidak perlu bersosialisasi di dunia nyata karena kita memiliki orang yang akan mendengarkan kita lebih baik dari orang yang ada di sekitar kita di dunia nyata. Kata-kata manis dan perhatian manis yang dibawakan oleh orang asing di internet ini menjadi berharga di mata kita daripada pujian dari teman sebaya kita di dunia nyata yang kita anggap palsu dan bermuka dua. Hal tersebut membuat kita semakin menjauh dari dunia nyata dan membentuk sebuah bolah perlindungan pribadi di dunia internet dengan “keluarga” dan “teman baru”. Dan banyak korban dari pemikiran ini adalah anak-anak di bawah umur dan remaja yang akan menginjak umur dua puluh tahun.

Meskipun kebanyakan korban dari kejahatan dan tipu muslihat konsep pertemanan daring ini adalah anak-anak dan remaja, tidak mungkin bagi orang dewasa untuk tidak jatuh ke dalam adiksi dan manipulasi seorang orang asing dari internet. Disinilah kisah seorang wanita Amerika Serikat dan teman daring berujung kekasihnya dimulai. Berawal dari kebosanan seorang wanita dan kecintaannya dengan salah satu serial TV Amerika Serikat, Stranger Things, ia bertemu dengan sosok yang mengaku bahwa dirinya adalah aktor yang bermain sebagai Steve, seorang pria maskulin dan menjadi tokoh favorit penggemar selama serial tersebut berjalan. Hubungan mereka berawal dengan manis, di mana mereka hanya mengobrol biasa dan saling mengabari layaknya teman pada umumnya. Namun, semakin lama mereka mengobrol, sepertinya hubungan mereka semakin dekat karena “Steve” mulai menyatakan cintanya kepada wanita malang ini. Tentu saja, Sang Wanita menerima. Hanya orang bodoh yang tidak mau menerima ungkapam kasih sayang dari Steve! Mereka menjalankan hubungan romansa yang baik. Mereka saling mengabari, bahkan saling mengungkapkan rasa sayang mereka. Namun, “Steve” menjadi aneh— selalu telat membalas pesannya, menghilang tiba-tiba, dan menolak ajakan untuk menelepon dengan alasan dari semua itu adalah “Sibuk”. Tapi, tidak lama setelah itu, “Steve” minta untuk dikirimkan uang, lagi dan lagi. Seringkali terjadi kejadian yang serupa di setiap percakapan mereka, tetapi Sang Wanita berpikir bahwa itu semua adalah bagian dari pekerjaannya sebagai seorang aktor. Hingga suatu saat, “Steve” menghilang sepenuhnya begitu juga uang yang ia kirimkan, juga hubungan baik antara dia dan keluarganya.

Dari sana wanita itu mengetahui fakta bahwa kalimat semua orang bisa menjadi siapa saja di internet bukanlah kalimat semata.

 

Apakah benar kamu bisa mempercayai teman virtul yang berada di balik layar ponsel kalian ataukah kalian salah satu korban dari tipuan mereka?

Kisah Sang Wanita dan Evan McConey merupaka salah satu dari segilintir kisah masyarakat mengenai buruknya mempercayai orang asing di internet. Lalu, setelah mendengar kisah mereka, apakah kalian yakin kalian bisa mempercayai orang yang ada di balik layar kalian? Benarkah kalian mengenal mereka sebaik itu, ataukah itu semua hanyalah bualan semata?

Ingat, semua orang bisa menjadi siapa saja di internet, termasuk aku, kalian, dan teman yang belum pernah kalian temui itu.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 8
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?