Majalah Sunday

Di Balik Niatmu Tersimpan Tujuanmu

Banyak orang menyetujui bahwa cerita dengan “bestie” atau “sahabat” adalah cara terbaik untuk mendapat bantuan dalam menemukan jalan keluar. Awalnya, gue sangat percaya akan hal tersebut. Saking percayanya, semua perasaan yang pernah dan sedang gue alami, gue ceritakan kepada “bestie” dengan harapan dapat dimengerti, diberikan semangat, mendapat jawaban yang menenangkan hati, dan ada bantuan yang datang untuk menyelesaikan semua beban yang terjadi. Kenyataannya, gue terlalu menaruh ekspektasi yang sangat tinggi pada orang lain sehingga menimbulkan kekecewaan di batin sendiri.

Kekecewaan yang gue alami ini membuat gue lebih berhati-hati dalam memilih teman dan bercerita, terkhusus mengenai seseorang yang sedang gue sukai. Kejadian ini berawal saat gue resmi menjadi anggota basket di SMA Bakti Raya bersama sahabat gue yang bermana Clarissa atau sering dipanggil dengan Ica. Adanya predikat “bestie” untuk kami, semua orang terdekat kami selalu beranggapan “di mana ada gue di situlah ada Ica” begitu juga sebaliknya. Selain itu, ketika kami sedang tidak bersama pun orang-orang mengira gue dan Ica sedang bermusuhan yang pada kenyataannya kami baik-baik saja.

“Aduh Ica, gue takut gugup besok Sabtu pas ekskul basket. Gue gak bisa dan gak ngerti main basket ditambah ada Kak Farzan takut malu gue.” ucap gue.

“Tenang Olla, gue kan juga gak ngerti soal basket. Jadi pede aja dulu.” sahut Ica.

“Iya Ca lebih tenang kalau ada yang sama kayak gue (sambil tertawa). Terus rencana lo apa Ca yang berniat deketin gue sama Kak Farzan?” tanya gue.

“Emm.. palingan ngechat Kak Farzan dulu lewat WhatsApp si, kan gak mungkin blak-blakan ngomong langsung ke Kak Farzan, gue mau jadi comblang lo sama Kak Farzan.” jawab Ica.

Setelah gue dan Ica mengikuti ekskul basket selama dua bulan, gue mulai menemukan kejanggalan dari Ica. Dia pernah bilang gak ngerti soal basket tapi pas ekskul dimulai, Ica terlihat paham dan sangat jago dalam bermain ditambah Ica sering berdiskusi dengan Kak Farzan mengenai basket. Karena saat itu gue masih sangat percaya Ica, hal tersebut mudah gue lupakan.

“Olla pas kemarin gue chatting sama Kak Farzan, Kak Farzan itu malah seringnya cerita tentang dia sama lebih banyak nanya tentang kehidupan pribadi gue. Pernah nanya tentang lo cuman nanya apa gue sahabatan sama lo terus rumah lo dimana itu doang.” ucap Ica.

“Oiya sama gue pernah bilang juga kalo lo tuh suka sama dia tapi bagian ini lo jangan ngomong ke Kak Farzan lagi ya. Kalau denger ini jangan sakit hati ya, La.” lanjut Ica.

“Emang kenapa, Ca?” tanya gue dengan penasaran.

“Iya dia bilang kalo lo sama dia gak bisa bersatu soalnya kayak langit sama bumi. Dia terkenal di sekolah sedangkan lo gitu deh, La. Ini kata Kak Farzan ya La bukan kata gue. Nah, mendingan mulai sekarang lo coba deketin Kak Farzan langsung aja kayak ngobrol biasa, jangan menjauh. Siapa tau Kak Farzan bisa tau kalo lo itu baik. Sebenernya, Kak Farzan pernah ngajak gue jalan pas dia lagi ulang tahun, ceritanya mau traktir gue gitu tapi gue nolak itu semua La karena gue gak mau nyakitin perasaan lo.” jelas Ica.

Sebenarnya hati gue langsung tidak karuan antara bingung, kecewa, ingin marah, dan sakit hati setelah mendengar cerita Ica. Gue sempat bingung, apa benar Kak Farzan orangnya terlalu memandang fisik orang lain tapi gue percaya Ica udah bicara dengan jujur.

Memasuki bulan kelima mengikuti ekskul basket, Ica sudah sering tidak datang karena kecapaian sehingga orang tuanya melarang Ica ikut ekskul basket. Selama Ica tidak datang, gue menjadi lebih akrab dengan anggota lainnya termasuk Kak Farzan. 

“Kak Farzan, gue pernah liat lo jalan sama perempuan di mal daerah Tomang, siapa itu, Kak?” tanya Luna, adik kelas dengan nada menggoda.

“Oh, itu mah temennya Olla si Clarissa. Iya kan, La?” sahut Kak Farzan.

“Iya Clarissa itu Ica, Na.” jawab gue dengan penuh kebingungan.

“Owalah, lo pacaran Kak sama Kak Ica?” tanya Luna kepada Kak Farzan.

“Iya belum lama si udah sekitar tiga bulanan mungkin.” jawab Kak Farzan.

“Wih baru tau gue, Kak. Pasti banyak yang iri deh sama Kak Ica.” sahut Luna.

Gue diam seribu basa mendengar Luna dan Kak Farzan bercerita. Ingin rasanya saat itu gue marah dan segera menemui Ica untuk meminta penjelasan tapi gue mengurungkan niat. Luna dan Kak Farzan tidak mungkin mengarang cerita karena percakapannya pun secara tidak sengaja terjadi saat kami sedang istirahat. Gue tersadar selama ini orang yang sangat gue percaya, diam-diam menusuk gue dari belakang tanpa gue sadari. Di depan gue berusaha untuk meyakinkan dengan niatnya membuat gue lebih dekat dengan Kak Farzan tetapi kenyataannya niatnya itu adalah tujuannya untuk dekat dengan Kak Farzan lebih dulu dibandingkan gue. 

 

Sejak gue mendengar cerita yang membuat batin gue bercampur aduk, hati terasa sakit, dan merasa menjadi orang yang mudah dipengaruhi, hubungan pertemanan gue dan Ica menjadi sangat renggang karena gue yang memutuskan untuk menjauhinya perlahan-lahan dan membuat batas tembok yang besar untuk tidak mendekatinya lagi. Kami masih berhubungan dengan baik hanya saja kami berhubungan ketika ada keperluan. 

Selain itu, gue menjadi lebih selektif ketika bercerita mengenai perasaan dan hal-hal pribadi ke teman. Gue juga jadi lebih membatasi diri ke orang yang dekat dengan gue untuk tidak menaruh kepercayaan sepenuhnya seperti kesalahan yang pernah gue lakukan sebelumnya. Dari rasa sakit hati dan kecewa gue, gue bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, berteman dan percaya dengan orang lain itu sangat baik tetapi akan lebih baiknya ada batasan dalam hal-hal yang bersifat pribadi dan perasaan karena tidak semua orang mendukung apa yang kita inginkan, senang ketika kita mendapat kebahagiaan dan ikut sedih ketika kita mengalami masalah.

Siti Alfiati Majid-Universitas Negeri Jakarta 

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?