Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Senja merekah, mewarnai langit dengan oranye keemasan saat aku tiba di tepi danau yang sepi. Udara dingin menggigit, membuatku mengeratkan jaketku, Di sisi lain, pemandangan saat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Aku duduk di bangku kayu tua yang tampak hampir rapuh oleh usia.
Sesaat setelah pandanganku menyapu danau, aku melihatnya—seorang wanita berdiri di tepi air, mengenakan gaun putih panjang yang melambai diterpa angin. Rambutnya hitam legam, tergerai hingga punggung, dan kulitnya seolah bersinar lembut di bawah cahaya senja. Ia memandang lurus ke air, seolah terpesona oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Indah, bukan?” tanyaku, mencoba memecah keheningan.
Ia menoleh perlahan, dan aku terhenyak. Wajahnya terlalu sempurna, seolah-olah ia adalah lukisan hidup. Matanya, hitam pekat seperti danau di malam hari, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Iya, indah sekali,” jawabnya lembut, hampir berbisik. Suaranya seperti melodi yang tak asing, meskipun aku yakin baru kali ini kami bertemu.
Kami berbicara sedikit, tentang hal-hal sederhana—cuaca, danau, dan keindahan senja. Namanya, katanya, adalah Serina. Namun, setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti teka-teki. Ketika aku bertanya apa yang membuatnya datang ke danau ini, ia hanya tersenyum samar dan berkata, “Aku sudah lama di sini.”
Semakin lama kami berbicara, semakin aneh rasanya. Tidak ada satu pun orang lain di sekitar, dan hawa dingin semakin menusuk meskipun malam belum sepenuhnya turun. Serina, bagaimanapun, tampak tak terpengaruh.
Akhirnya, ia berdiri dan berkata, “Kau sebaiknya pulang sebelum malam tiba. Danau ini… tak selalu bersahabat.”
Aku tertawa kecil, mencoba meredakan suasana yang entah mengapa terasa mencekam. “Aku baik-baik saja. Kau sendiri, bagaimana? Perlu kuantar pulang?”
Ia hanya menggeleng dan tersenyum tipis. “Aku tak pernah benar-benar pergi.”
Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, ia melangkah ke tepi danau. Dan saat aku berkedip, ia sudah tidak ada. Tak ada riak di air, tak ada jejak langkah di tanah basah. Aku berdiri, memanggil namanya, tapi hanya keheningan yang menjawab.
Lalu aku melihatnya. Sebuah ukiran kecil di bangku tempatku duduk tadi: Serina, 1905-1927. Hawa dingin mendadak menyergap lebih tajam. Kutatap danau itu sekali lagi, dan untuk pertama kalinya, aku merasa tempat ini bukan hanya indah—tapi juga menyimpan rahasia yang tidak ingin kuungkap.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.