Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Langit di atas kota itu berwarna kelabu, seperti menyimpan rahasia-rahasia yang enggan dibagi. Di sebuah halte yang sepi, aku dan dia duduk berdampingan, berpegangan tangan. Dingin angin sore merayap pelan, tetapi kehangatan jemarinya menulariku seperti api kecil yang tak mudah padam.
“Apa kamu pikir kita bisa, Dava?” tanyanya, menatap jalanan yang basah karena hujan tadi siang. “Kita ini kecil, terlalu kecil buat dunia yang sebesar ini.”
Aku menoleh, melihat matanya yang penuh keraguan. Aku mengenalnya terlalu baik untuk tidak merasakan gemuruh di dadanya. Dia selalu seperti itu—memikirkan segalanya terlalu jauh, takut melangkah karena takut jatuh.
“Pasti kita bisa, Fena,” jawabku dengan suara yang kubuat setenang mungkin. “Kita cuma harus percaya. Dunia memang besar, tapi kita juga nggak sekecil itu.”
Dia menghela napas, kepalanya terkulai di bahuku. “Kadang aku merasa waktu terlalu cepat berlari, sementara langkah kita begitu pendek. Kita mencoba mengejar, tapi rasanya selalu tertinggal.”
Aku mengeratkan genggaman tangan kami. “Mungkin langkah kita memang kecil. Tapi bukankah kita selalu bisa melangkah lagi? Setiap langkah kecil itu akan membawa kita lebih dekat ke tujuan.”
Dia tertawa kecil, getir. “Dan kerikil? Gimana dengan kerikil di jalan? Gimana kalau kita tersandung?”
“Kita bangkit lagi,” kataku, kali ini lebih tegas. “Dan kita melangkah lagi. Cuma karena tangan kita mungil, bukan berarti mimpi kita harus mengerdil, kan?”
Dia menatapku, lama sekali. Matanya seperti mencari-cari keyakinan dalam diriku, dan aku berharap ia menemukannya.
“Apa kamu pernah takut?” tanyanya pelan.
“Sering,” jawabku jujur. “Tapi aku nggak mau kalah sama rasa takut itu. Kalau aku menyerah, aku cuma membiarkan dunia ini menang. Dan aku nggak mau kalah. Kita nggak boleh kalah.”
Dia tersenyum tipis, senyum yang akhirnya mengusir awan gelap di wajahnya. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik.”
Aku hanya tertawa kecil. Dalam hatiku, aku tahu aku tidak selalu yakin. Kadang-kadang, aku juga merasa dunia terlalu besar, terlalu keras, dan terlalu kejam untuk kita berdua. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku percaya, selama kami saling menggenggam, kami bisa melangkah, sejauh apapun jaraknya.
“Tangan kita mungkin mungil,” kataku, melanjutkan. “Tapi lihat deh, sekarang dunia ada di sini.” Aku membuka tanganku yang masih menggenggam tangannya. “Di telapak tangan kita.”
Dia menatap tangan kami yang bersatu, lalu memejamkan matanya. “Aamiin,” katanya, hampir berbisik.
“Aamiin,” jawabku, membiarkan doa itu menggema di antara kami.
Langit mulai cerah, dan di kejauhan, mentari sore menerobos sela-sela awan, seolah mengucapkan selamat tinggal pada kegelisahan yang perlahan larut bersama angin.
*Cerpen ini terinspirasi dari puisi ‘Mega-Doa Mungil’ Karya Nathania Luvena Lais (https://medium.com/@nluvena9/mega-doa-mungil-3110d1f2515e)
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.