Penulis: Wulan Nur Afrilia
Aku melarikan sepeda motorku secepat yang kumampu, kalut hatiku tidak tertolong, rasanya tersiksa sekali berkendara kali ini, menjemukan sekali menatap macet di saat aku sedang tergesa-gesa. Aku berusaha fokus pada jalan di depanku dan pada tujuanku yang sekiranya membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di sana. Sekitar 15 menit lalu, aku masih di kantor mengerjakan dokumen penting yang melelahkan ditemani secangkir kopi dan lagu-lagu westlife, lalu HP-ku berbunyi menandakan pesan masuk, setelah melihat pesan itu aku langsung meninggalkan kantor dan di sinilah aku, di kemacetan Jakarta yang tiada tanding untuk memastikan bahwa kabar dari pesan itu tidak benar adanya. Dalam perjalanan tak henti aku berdoa bahwa ini hanya mimpi dan aku akan segera terbangun.
Aku teringat 14 tahun lalu saat aku kelas 10. Pagi itu sangat cerah dan merupakan hari pertamaku dengan seragam putih abu. Aku tidak ikut MOS karena sedang operasi kala itu. Saat aku masuk kelas hanya tersisa satu bangku kosong dan sebelahnya sudah ditempati perempuan. Kala itu aku tidak percaya takdir sampai tahun demi tahun berganti. Perempuan itu bernama Lia, tidak ada yang spesial dari dia, dia tidak terlalu cantik, tidak juga populer di sekolah. Awalnya aku sangat tidak menyukainya karena sifatnya yang tertutup tapi lama-kelamaan kami mulai mengobrol, dia selalu membantuku saat aku mengalami kesulitan dalam belajar dan selalu mendengar ocehanku mengenai banyak hal. Itulah perkenalanku dengan Lia sampai pada lusa kuputuskan untuk membangun hubungan seumur hidup dengannya.
Setelah perjalanan yang menyiksa sampailah aku pada tujuanku. Tempat yang seharusnya kudatangi lusa pagi bukan hari ini. Sudah ada tenda megah di depan rumah itu, Jujur aku tidak kuat tapi kupaksa masuk dalam tenda itu, terus melangkah sampai terlihat pelaminan megah nan cantik tapi bukan itu yang mau kulihat. Kubelokkan langkah menuju pintu depan dan seketika aku terdiam di sana, aku semakin berharap ini hanya mimpi tapi tangan yang memelukku kini terasa begitu nyata, Iya… itu calon mertuaku, matanya sembab sekali, cukup lama kami terdiam sampai akhirnya calon mertuaku bersuara. “Ikhlaskan Lia ya nak. Kita tau ini sama-sama berat untuk kita, tapi ibu minta ikhlaskan Lia, biarkan dia pergi dengan tenang” kalimat pertama yang kudengar setelah perjalanan cukup panjang untuk sampai disini. Kalimat yang entah kapan bisa kuterima.
07.00 WIB teleponku berdering, kuangkat dan kupindahkan ke mode speaker.
“Pagi… sayang” suaranya masih serak. “Aku pergi sebentar ya hari ini.”
“Ke mana?” Aku menjawab sambil memasang dasi di depan cermin.
“Chika ajak aku pergi,” dia melanjutkan. Aku yakin sekali dia masih di dalam selimut, yang kutahu Lia tidak biasa bangun pagi kecuali terpaksa.
“Ke mana?”
“Aku gak tau nih tapi katanya sebentar doang, nemenin dia beli sepatu buat lusa”
“Yaudah… hati-hati”
“Oke… aku pergi ya. Bye sayang…”
Tut… tut… sambungan itu terputus.
Sambungan itu terputus. Rasa tak enak hati yang kutanyakan pagi ini terjawab. Ternyata pergi yang tadi pagi kamu sebut itu begini. Kalau saja waktu bisa kuulang atau aku tidak membiarkanmu ikut dengan Chika semua akan baik-baik saja, atau kenapa tidak Tuhan tukar saja takdirmu denganku atau biarkan kita pagi ini bersama, akan lebih mudah bagiku karena kita pergi berdua. Sungguh aku tidak mengerti cobaan macam apa lagi yang Tuhan timpakan padaku saat jalanku menuju lusa butuh penantian panjang namun dipatahkan dengan kabar yang sampai kapanpun akan kuingat membekas seperti luka.
Dalam geming tak kuasa aku menahan tangis. Tubuh yang terbujur kaku menulariku, mengecup keningmu terakhir kali merupakan mimpi buruk. Selamanya dalam penantian ajal tak akan kulepas duka ini. Akan kulabeli bahwa Tuhan menginginkanku begini. Meratap kala marawa diganti warna kuning saja.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.