Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Aku sedang duduk di bangku taman SMA Suryakara, menikmati sisa jam istirahat. Angin lembut membawa aroma bunga melati dari kebun belakang di dekat lapangan. Sambil memeriksa catatan pelajaran, aku mendengar langkah kaki mendekat. Awalnya tak kupedulikan, sampai sebuah suara yang entah kenapa terasa akrab memanggil namaku.
“Dewa? Kamu beneran Dewa, kan?”
Aku menoleh dan hampir menjatuhkan buku di tanganku. Di sana, berdiri seorang gadis dengan senyum yang masih kuingat jelas meski sudah terkubur lebih dari satu dekade. Rambut hitam panjangnya tergerai lembut, dan matanya yang cerah seperti menampung seluruh cahaya di pagi ini.
“Luna?” tanyaku dengan kaget, nyaris tidak percaya.
Ia mengangguk sambil tertawa kecil, tawa yang dulu sering kudengar saat kami bermain petak umpet di gang kecil tempat kami tumbuh. “Akhirnya kita bisa ketemu lagi,” katanya, duduk di sebelahku tanpa basa-basi.
Luna—teman masa kecilku, sekaligus cinta pertamaku. Keluarganya pindah ke luar kota ketika kami baru kelas lima SD. Waktu itu, aku terlalu kecil untuk memahami apa arti kehilangan, tapi kepergiannya meninggalkan ruang kosong yang tak pernah benar-benar terisi.
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku, masih berusaha mengumpulkan kepingan kenyataan.
“Pindah sekolah,” jawabnya singkat. “Kebetulan ayahku dipindahin ke sini, jadi aku ikut deh. Nggak nyangka bakal ketemu kamu di sekolah ini. Dunia ini kecil, ya?” sambungnya sambil mengeluarkan tertawa kecil.
Kami berbicara panjang lebar, seperti tidak ada 12 tahun yang memisahkan. Tentang kehidupan, masa kecil, dan bagaimana ia mengingat semua hal kecil yang kupikir sudah lama terlupakan. Ia masih ingat permainan favoritku, bagaimana aku pernah menangis karena terjatuh dari sepeda, bahkan bagaimana aku yang selalu mengenakan kaos bergambar dinosaurus dulu.
Di balik percakapan kami, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Luna bukan lagi gadis kecil yang aku kenal. Ia tumbuh menjadi seseorang wanita yang cantik dan sangat menarik, lebih memikat, tapi tetap memiliki senyum hangat yang membuat segalanya terasa lebih baik.
“Dewa,” katanya, suaranya lebih pelan kali ini. “Aku senang banget bisa ketemu kamu lagi. Rasanya kayak kembali ke rumah.”
Kata-katanya membuat dadaku berdegup lebih kencang. Aku ingin mengatakan hal yang sama, tapi lidahku terasa mati seperti tersetrum. Aku hanya bisa menatapnya, berharap ia mengerti betapa kehadirannya sangat berarti.
Saat bel berbunyi, Kayla berdiri sambil merapikan rambutnya. “Kita masih punya banyak waktu buat cerita-cerita, kan? Aku nggak sabar deh.”
Aku mengangguk, mencoba menutupi senyum kikuk dan bodohku yang tak bisa kusembunyikan. Saat ia melangkah pergi, aku tahu—pertemuan ini bukan kebetulan. Ini adalah awal dari sesuatu yang selalu kusimpan dalam hati sejak kami berpisah dulu. Sesuatu yang sekarang akhirnya memiliki kesempatan untuk tumbuh lebih dalam, dan aku tak sabar melihat ke mana semua ini akan membawa kami.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.