Majalah Sunday

Kata yang Sulit Terucap

Gema takbir menghiasi malam terakhir di bulan suci ramadan, menandakan hari kemenangan segera tiba. Setelah sebulan penuh berpuasa, tibalah saatnya menyambut hari kemenangan dan kembali kepada kesucian. Hari yang kunantikan yakni hari lebaran, karena di hari ini banyak sekali makanan yang dihidangkan oleh bunda. Ada ketupat, opor ayam kesukaanku, belum lagi berbagai macam kue-kue seperti nastar, wajik, biji ketapang, dan ketan uli yang tak kalah nikmat. Belum lagi minuman-minuman dingin yang segar seperti es buah dan soda gembira. Bunda menyiapkan banyak makanan dan minuman karena biasanya setelah salat Id akan ada banyak sanak saudara yang berkunjung ke rumah. 

Tapi ada satu hal yang membuatku merasa enggan bangun di pagi hari untuk menyambut lebaran tahun ini. Biasanya, di pagi hari sebelum kami sekeluarga berangkat salat id di masjid dekat rumah, kami akan bermaaf-maafan terlebih dahulu. Sebagai anak kedua sekaligus anak terakhir, selain meminta maaf kepada ayah dan bunda, aku juga harus meminta maaf kepada Kak Deri, kakak laki-lakiku. Memikirkannya saja membuatku tidak bersemangat.

“Nak, ayo bangun salat subuh” suara Ayah terdengar lembut di telingaku.

“Lima menit lagi, Yah” aku enggan menanggalkan selimutku dan bangun, rasanya mataku amat lengket.

“Loh kamu lupa ya hari ini lebaran? Ayo salat subuh dan bersiap-siap, Nak” ucap Ayah kembali membangunkanku dan meninggalkan kamar. 

Tentu saja aku ingat ini hari lebaran, namun gara-gara harus meminta maaf ke Kak Deri aku jadi enggan bangun dan bersiap menyambut lebaran. Tapi, daripada aku mendengar suara teriakan ibu saat subuh-subuh begini, akhirnya aku bangun dan bersiap-siap.

Selesai salat subuh berjamaah, kulihat ibu meminta maaf kepada ayah begitu pun sebaliknya, lalu giliranku meminta maaf kepada ayah lalu ibu. Aku enggan meminta maaf kepada Kak Deri dan langsung kembali ke kamarku untuk bersiap salat id di masjid dekat rumah. Selesai salat id adalah saat yang kutunggu-tunggu, aku tak sabar makan ketupat dan opor ayam yang telah dihidangkan oleh bunda.

“Rin, kamu lupa sesuatu ya?” ucap Bunda menghampiriku saat aku hendak mengambil piring.

“Nggak, Bu. Tadi kan Darin sudah minta maaf ke Ayah dan Bunda.” jawabku.

“Tuh kan kamu lupa, Nak. Kamu belum maaf-maafan sama kakakmu, kan?” selidik Bunda kepadaku.

Ternyata aku ketahuan oleh bunda, kukira bunda tidak menyadari kalau aku belum meminta maaf kepada Kak Deri.

“Nanti sajalah, Bun. Aku ga ada salah kok sama Kak Deri.” jawabku cuek.

“Nak, manusia itu manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Mungkin kamu tidak ingat apa saja kesalahanmu atau mungkin kamu pernah tanpa sengaja menyakiti perasaan kakakmu, begitupun sebaliknya.” ucap Bunda menasihatiku.

Tak ada yang salah dengan ucapan bunda, hanya saja aku merasa kata maaf terlalu sulit kuucapkan belum lagi biasanya aku memang bertengkar dengan Kak Deri, kalau aku minta maaf duluan pasti ia akan meledekku. Jarak usia aku dan Kak Deri enam tahun, ia berusia 22 tahun dan aku 16 tahun. Perbedaan yang tak begitu jauh membuatku kadang bertengkar dengan Kak Deri. Namun, ia memang menyebalkan.

Setelah makan ketupat dan opor ayam buatan bunda, aku kembali ke ruang tengah dan menonton tv. Tak lama Kak Deri menghampiriku.

“Dek, kakak minta maaf ya kalau selama ini suka nyebelin dan bikin kamu marah” ucapnya sambil menjulurkan tangan hendak berjabat tangan.

Aku kaget dan diam sejenak, pikirku tumben sekali kakakku mau meminta maaf duluan. Tapi karena ini lebaran jadi ku maafkan.

“Iya, aku maafin, Kak.” balasku sambil menjabat tangannya.

“Kamu ga mau minta maaf ke Kakak?” jawab Kak Deri.

“Iya, aku m-min-ta ma-ma-af, Kak..” ucapku terbata-bata.

“Dek, meminta maaf bukan berarti kita kalah. Memang kadang sulit diucapkan, namun di hari lebaran ini, selain sebulan penuh berpuasa, ibadah akan jauh lebih sempurna jika kita saling memaafkan sesama dan menjalin hubungan yang baik. Dengan saling memaafkan akan menghilangkan iri dan dengki di hati kita, maka itulah saatnya kita kembali pada kesucian. Jadi buang rasa gengsi, malu, dan takut untuk mengucapkan kata “maaf” karena tidak ada manusia yang sempurna, pasti kita pernah berbuat salah baik disengaja maupun tidak disengaja.” ucap Ayah menasihati.

Setelah kata maaf terucap, rasanya lega sekali. Aku merasa jauh lebih tenang. Benar kata ayah dan bunda. Maaf bukan berarti kita kalah, dengan maaf kita mampu menghilangkan keegoisan yang ada dalam hati dan menjauhkan kita dari rasa iri dan dengki. Kata maaf juga tidak hanya diucapkan saat lebaran saja, namun ketika kita berbuat salah juga harus kita akui dan mengucapkan maaf.

Setelah meminta maaf kepada Kak Deri, aku mengambil ponselku dan mulai mengirim pesan ucapan selamat hari lebaran dan permohonan maaf kepada teman-temanku. Senang rasanya menerima pesan balasan dari teman-temanku. Saling memaafkan terkadang memang sulit, namun indah rasanya jika sudah dilakukan. 

Oleh: Shela Oktaviani, Universitas Negeri Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?