Sunners, kalau berbicara soal ekonomi pasti gak akan cukup waktu semalam suntuk dan biasanya membutuhkan forum yang serius bukan? Apalagi kalau topik yang dibicarakan adalah keadaan dan solusi untuk ekonomi Indonesia di masa pandemi seperti sekarang ini. Nah, ada kabar baik dari tim Sunday nih!
BEM FEB Universitas Airlangga mengadakan acara Forum diskusi Bincang Santai Intelektual (BSI) 2: GIG ECONOMY: Peluang ataukah Ancaman Ketenagakerjaan Menuju Era Society 5.0. Acara tersebut diselenggarakan pada jam 19.00-21.00 WIB hari Sabtu (19/06). Acara ini menghadirkan tiga narasumber yaitu, Angga Erlando, SE., M.Ec.Dev., dosen dan peneliti Departemen Ilmu Ekonomi FEB UNAIR, serta kedua peneliti dari SMERU Research Institute, Muhammad Adi Rachman, MIDEC., dan Sylvia Andriyani Kusumandari, S.Sos.
Sesi diskusi dibuka oleh Bapak Angga Erlando yang mengangkat topik “GIG ECONOMY Abad 2021”. Bapak Angga Erlando memaparkan, secara fiskal ekonomi Indonesia berada di tengah-tengah dan kondisinya masih lebih baik ketimbang negara tetangga sesama anggota ASEAN. Beliau juga menambahkan, BPS (Badan Pusat Statistik) mendeteksi adanya tambahan pengangguran akibat dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan kondisi perekonomian di Indonesia kembali persis seperti tahun 2016.
Lagi beliau menuturkan, saat ini memiliki karir yang stabil menjadi pertimbangan untuk menghadapi situasi yang tidak menentu seperti sekarang karena pandemi yang melanda membuat tidak sedikit perusahaan merumahkan atau mengakhiri kontrak kerja para pekerjanya dalam jumlah tak sedikit demi mempertahakan kondisi perusahaan itu sendiri. Para pekerja tersebut beberapa diantaranya adalah gig workers (karyawan kontrak jangka pendek) atau freelancer (pekerja lepas).
Istilah gig workers muncul baru-baru dan bersamaan dengan istilah lainnya yaitu Gig economy. Jika gig workers diartikan sebagai pekerja kontrak jangka pendek, maka gig economy didefinisikan sebagai pasar tenaga kerja yang identik dengan karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer). Ada untung rugi dalam segala hal termasuk menjadi gig workers. Dilihat dari segi efisiensi dan kemudahan adanya gig workers membantu perusahaan atau pengusaha mencari karyawan secara cepat dan mendapat keuntungan karena beberapa hak yang dimiliki pekerja tetap biasanya tidak dimiliki oleh pekerja kontrak dan pekerja lepas. Namun, kestabilan finansial dan kemungkinan kontrak tidak berlanjut cukup merugikan bagi pekerja kontrak dan pekerja lepas.
Bapak Angga Erlando menutup sesi diskusi bersama dirinya dengan kesimpulan sebagai berikut:
“Perlu adanya keseimbangan dalam pemasukan, boleh saja menjadi gig worker akan tetapi dijadikan pekerjaan sambilan, disamping bekerja dengan gaji dan kontrak yang tetap.”
Sesi diskusi berikutknya disampaikan oleh Muhammad Adi Rahman dan Sylvia Andriani dari SMERU Research Institute dengan tema diskusi “Employment in the Era of GIG Economy”. Dalam diskusi yang kedua ini dikatakan bahwa Gig Economy hadir karena adanya revolusi industri 4.0. di manaberlangsungnya otomasi manufaktur tradisional dan praktek industri, menggunakan teknologi smart modern yaitu komunikasi mesin-ke-mesin (M2M) dan internet of things (IoT) yang kemudian disebut kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Lebih jelasnya, kedua pemateri pada sesi kedua ini mengatakan jika revolusi Industri 4.0 yang ditemukan oleh para ilmuwan di Jerman dikembangkan menjadi Revolusi Industri 5.0 oleh para ilmuwan di Jepang. Perkembangan ini terjadi demi adanya elaborasi antara teknologi dan manusia. Lalu, apa dampaknya terhadap gig economy ya, Sunners? Ke depannya diprediksi jumlah gig workers akan bertambah banyak, karena pertumbuhan pemakaian internet yang masif seperti di Indonesia mengakibatkan ekonomi digital Indonesia meningkat.
Sebenarnya, gig workers memiliki berbagai resiko tersendiri seperti, berpotensi menjadi korban diskriminasi dan kontrak terbatas dalam skala jangka pendek mengakibatkan minimnya keamanan kepastian kerja, hal ini diperparah dengan lemahnya kerangka hukum yang berlaku. Solusi yang mucul untuk mengatasi masalah ini ialah adanya klasifikasi pekerjaan seuai dengan kontrak yang berlaku, juga dibuatkannya payung hukum yang jelas bagi gig workers, serta dibentuknya serikat pekerja untuk mewadahi aspirasi gig workers.
Kalau menurut Sunners, apakah gig workers dan gig economy adalah hal yang menguntungkan atau justru merugikan untuk masyarakat yang mencari pekerjaan ke depannya?
oleh: Astrid Evangle dan Ery Farida, Mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ