Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta
Di sebuah desa terpencil yang sepi, berdiri kokoh sebuah rumah tua yang sudah ditinggalkan selama puluhan tahun. Dinding-dindingnya yang mengelupas dan jendela-jendelanya yang pecah menyimpan ribuan cerita mistis yang membuat warga desa enggan mendekat. Namun bagi Anya, gadis remaja berusia 15 tahun dengan rambut hitam panjang dan mata yang selalu memancarkan rasa ingin tahu, rumah itu adalah magnet yang tak bisa ia tolak.
Setiap sore, tepat saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah menjadi kanvas jingga keunguan, Anya akan menyelinap keluar dari rumahnya. Mengabaikan peringatan ibunya, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dedaunan kering menuju rumah tua itu. Suara gemeretak ranting yang terinjak dan bisikan angin di antara pepohonan tua seolah menjadi musik pengiring petualangannya.
Suatu senja yang berbeda, ketika awan-awan hitam berarak lebih pekat dari biasanya, Anya merasakan sesuatu yang janggal. Udara terasa lebih berat, dan kesunyian yang menyelimuti rumah itu terasa lebih mencekam. Saat ia melangkah masuk melalui pintu depan yang selalu berderit, matanya menangkap sesuatu yang tak biasa – bayangannya di dinding bergerak tidak seirama dengan tubuhnya.
Jantungnya berdebar kencang, tetapi kakinya seolah terpaku di lantai berdebu itu. Bayangan itu menari-nari di dinding, membentuk sosok yang semakin lama semakin jelas. Tangannya yang gemetar menggenggam erat senter kecil pemberian ayahnya – satu-satunya sumber cahaya yang ia miliki.
“Siapapun di sana,” bisik Anya dengan suara bergetar, “tunjukkan dirimu.”
Bayangan itu seakan merespons. Ia bergerak perlahan, menuntun Anya menaiki tangga kayu yang rapuh menuju lantai dua. Setiap langkah Anya diiringi derit kayu yang memilukan dan hembusan angin dingin yang entah dari mana asalnya. Lorong gelap di lantai dua dipenuhi lukisan-lukisan tua yang seolah mengawasi setiap geraknya.
Di ujung lorong, sebuah pintu tua perlahan terbuka dengan sendirinya. Ruangan di baliknya dipenuhi furnitur antik yang tertutup kain putih berdebu. Namun yang paling menarik perhatian adalah sebuah cermin besar yang berdiri angkuh di sudut ruangan. Cermin itu seolah memancarkan cahaya redup dari dalam.
Saat Anya berdiri di hadapan cermin itu, bayangannya mulai berubah. Sosok dalam cermin bukanlah dirinya, melainkan seorang gadis seusianya dengan gaun putih lusuh dan rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Gadis itu tersenyum, senyum yang membuat tulang belakang Anya meremang.
Perlahan, jari pucat sosok dalam cermin itu terangkat, menulis di permukaan berdebu: ”Aku teman bayanganmu, selamanya di sini menemanimu. Sudah lama aku menunggu seseorang yang berani masuk ke duniaku.”
Anya terhuyung mundur, namun kakinya tersandung kain putih yang terjatuh dari furnitur. Ia jatuh terduduk, dan saat itulah ia melihat sosok dalam cermin melangkah keluar, menembus kaca seperti air, membawa serta aura dingin yang membekukan.
Sejak malam itu, Anya tidak pernah sendirian lagi. Di setiap sudut, di setiap bayangan, ia bisa merasakan kehadiran temannya yang baru. Kadang ia melihat sosok itu tersenyum dari pantulan jendela kelasnya, atau menari-nari di bayangan pohon saat ia berjalan pulang. Awalnya menakutkan, tetapi perlahan Anya mulai memahami bahwa persahabatan bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dari dunia yang berbeda.
*****
Anya mulai menulis jurnal tentang pengalamannya, mencatat setiap interaksi unik dengan teman bayangannya. Ia belajar bahwa ketakutan terbesar manusia seringkali berasal dari ketidakmampuan menerima hal-hal yang berbeda dari dirinya. Dan terkadang, justru dalam kegelapan yang paling pekat, kita bisa menemukan cahaya persahabatan yang tak terduga.
Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.