Penulis: Husna Raharjo – Universitas Kristen Indonesia
What if they have been waiting for that Question?
For someone to finally ask them
What happened?
So that they could tell you
The things that had weight them down behind the scene
Yet, I hope you’re not putting expectations
Because…
“Seriusan ini anak kenapa sih?” batin Daffa. Daffa pun duduk di bangkunya dan membuka buku pelajaran.
—
Kelas praktek sudah dimulai sekitar beberapa menit yang lalu. Saat Daffa menggoreng bahan, ia dikejutkan dengan Arka yang tidak sengaja membakar wajan karena kegosongan. Sontak guru praktek menegurnya, dan Arka pun hanya terdiam menunduk.
Di hari-hari selanjutnya Arka sering tidak masuk, dan kalaupun masuk ia termenung tidak mau berbicara dengan temannya. Ketika Arka sedang tidak masuk sekolah, beberapa temannya menanyakan Daffa perihal hal tersebut.
“Arka gak masuk kenapa?” Tanya Ezra.
“Lah kok lo nanya gue?, gak tau gue… dichat gak dibales.” balas Daffa
“Lo kan rumahnya deketan, kenapa gak jenguk aja?” tanya Vino
“…” Daffa terdiam sejenak. “Gak mau”
“Kenapa?” tanya Ezra dan Vino
“…Gue udah lama banget gak ke rumah dia”
“Oh… dari kapan…?” Tanya Vino
“Udah, udah, personal. Nanti gue urus ya.”
—
Pict by Unsplash.com
Daffa sangat tidak menginginkan masa lalu itu kembali menghantuinya. Sebenarnya ia tidak membenci Arka, awalnya begitu. Beberapa tahun yang lalu, orang tua Daffa berpisah. Dia memilih ikut ayahnya karena Ibunya abusive secara verbal, meskipun demikian ia tetap menyayangi Ibunya. Tahun demi tahun berlalu, Ayah Daffa memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita lain yang juga punya anak. Wanita tersebut adalah wanita yang sangat cantik, baik dan santun. Dan pada saat itulah pertama kali Daffa bertemu dengan Arka. Tidak seperti Daffa, Arka menyambut Daffa dengan sangat ramah, bahkan ia tidak ragu untuk berbagi mainan dengan Daffa. Seiring berjalannya waktu, Daffa melihat ayahnya sangat perhatian kepada Arka karena prestasi-prestasi yang diraihnya.
“Wah Papa seneng banget rapormu bagus!”
“Kamu rajin banget ya bantuin bunda!”
Dan semenjak saat itu, Daffa tidak menyukai kehadiran Arka.
“Aku mau juga diperlakukan dengan baik,” batinnya saat itu.
Daffa berlari di bawah bayangan Arka. Namun nilai-nilainya cukup memprihatinkan, padahal dia sudah berusaha. Ketika ayahnya melihat, ia hanya tersenyum dan mengatakan, “Gak papa, kamu sudah berusaha kan? Itu yang penting, next time do better ya.” Daffa termenung mendengar hal itu. Sebenarnya ayahnya baik namun lambat laun, Daffa tetap tidak kuasa menahan dan ia memohon kepada ayahnya agar ia bisa kembali tinggal bersama ibunya. Setelah beberapa kali diskusi, akhirnya ayahnya mengizinkan.
Daffa pun kaget dengan kondisi ibunya yang sudah tidak karuan. Hal ini membuat Daffa mantap untuk tetap tinggal bersama Ibunya. Meninggalkan ayahnya dan juga Arka, meskipun harus bersabar menghadapi ucapan-ucapan ibunya.
Seiring waktu, meskipun nilai akademis Daffa tidak enak dilihat, ia menemukan daya tarik tersendiri pada keahlian memasak. Hal ini membuat ia memutuskan untuk masuk ke SMK jurusan Tata Boga. Akan tetapi di sana ia justru malah sekelas dengan Arka, di jurusan yang sama. Hanya saja, sikap Arka tidak sama seperti ketika ia pertama kali bertemu Daffa. Keduanya bersikap seperti orang asing dan memilih tempat duduk yang menjauh dari satu sama lain.
Daffa pun tersadar dari ingatan masa lalunya.
“Iya, ya. Gue udah lama gak ke rumah Papa, kira-kira apa yang terjadi sama Papa dan Arka?” batin Daffa.
Pict by Unsplash.com
—
Keesokan harinya di hari Sabtu, Daffa sudah sampai di depan gerbang rumah tersebut. Halaman rumah tersebut terlihat lebih sepi dari biasanya. Daffa ingat dahulu waktu masih tinggal di sana, ada banyak bunga dan tanaman. Dahulu Arka sering memetik bunga di sana untuk diberikan kepada Ibunya. Sekarang kebun halaman rumahnya gersang.
Daffa memencet bel. Pembantunya pun datang.
“Kak Daffa? Kok tumben kesini? Papa lagi gak ada di rumah, silahkan masuk,” ujar mang Asep.
“Gak papa nanti aku tunggu.”
—
Rumah ini memang besar dan luas. Jika bukan karena tekanan mental, Daffa tidak akan mau meninggalkan rumah ini. Ukirannya masih sama, beberapa ornamennya juga masih sama, tidak banyak yang berubah. Saat Daffa berjalan-jalan di rumah itu, ia tidak sengaja mendengar suara di balik sebuah pintu. Terdengar seperti dua orang laki-laki
“Saya melihatnya lagi, Dok,” ujar laki-laki itu.
“Seperti apa bentuknya?”
“Kabut hitam, gelap, gelap…”
Mendengar itu jantung Daffa berdegup kencang, dia pun langsung menyingkir ke ruangan lain karena dia tahu tidak boleh menguping pembicaraan orang lain.
“Dok? Apaan? dokter? Itu Arka kan? Dia ngomong sama dokter apa?” batin Daffa. Alih-alih Daffa lebih memilih untuk mengunjungi kamar pribadinya dahulu.
[Bersambung…]
Pict by Unsplash.com
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.